Oleh: M. Khusnul Khuluq
Bagaimana relasi agama dan negara adalah pertanyaan yang cukup menjengkelkan. Terutama bagi negara yang tidak secara tegas memposisikan dirinya. Apakah sebagai negara teokrasi seutuhnya atau sekuler sepenuhnya.
Akhir-akhir ini, Muhammadiyah sedang menata posisinya dalam konteks bernegara. Termasuk juga untuk menjawab pertanyaan bagaimana relasi antara agama dan negara. Kemudian, ide Dar al-Ahdi wa al-Syahadah menjadi salah alternatif yang menurut Muhammadiyah punya kemungkinan paling baik.
Apakah Bisa Diterima Semua Kalangan?
Dari segi peristilahan, cukup baik penerimaannya. Termasuk di kalangan akar rumput. Bukan istilah ilmiah yang susah dipahami. Mungkin karena memakai diksi berbahasa arab. Namun, apakah dari segi substansial dapat diterima semua kalangan? Mungkin.
Dar al-Ahd wa al-Syahadah artinya negara kesepakatan dan persaksian. Disebut kesepakatan karena negara ini adalah buah tangan dari kesepakatan para tokoh republik awal. Kemudian, disebut persaksian karena mendorong umat muslim turut serta dalam pembangunannya dan menyaksikan segala kemajuannya.
Baca Juga: Negara Pancasila, Negara Perjanjian dan Kesaksian (Darul Ahdi dan Darus Syahadah)
Persaksian bisa juga dimaknai sebagai ladang untuk berjuang. Bagaimana Kita ikut andil dalam pembangunan negeri ini adalah salah satu bentuk jihad. Dalam hal ini, jihad tidak hanya dimaknai perang dengan pedang, tapi juga memperbaiki kondisi republik ini adalah jihad.
Sebagai Strategi Politik Akomodatif
Saya bisa pahami mengapa organisasi akbar sekelas Muhammadiyah mengusung konsep Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Selain untuk menentukan sikapnya dalam bernegara, konsep Dar al-Ahdi wa al-Syahadah juga sebagai sebuah strategi politik akomodatif.
Kita mesti mengakui bahwa republik ini tidak sepenuhnya teokrasi. Juga tidak seutuhnya sekuler. Tapi berdiri antara keduanya. Republik ini adalah “sawah” yang sangat subur untuk segala benih. Baik teokrasi ataupun sekularisme mampu tumbuh subur. Keduanya punya basis yang kuat dari banyak kalangan. Itu yang membuat keduanya tumbuh subur.
Memang, negara ini tidak mengambil bentuk negara teokrasi. Namun, semangat teokrasi sangat kuat. Selain itu, tidak dipilihnya teokrasi juga memberi ruang bagi banyak orang untuk merasa memiliki dan selanjutnya juga ikut andil dalam pembangunan republik ini.
Karena itu, Dar al-Ahdi wa al-Syahadah sebagai alternatif yang dipilih oleh Muhammadiyah adalah bentuk strategi politik akomodatif. Yakni bagaimana mengakomodasi kemajuan-kemajuan negara sekuler. Juga mengakomodasi keunggulan-keunggulan negara teokrasi.
Potensi Konsep Dar al-Ahdi wa al-Syahadah
Sejauh mana potensi konsep Dar al-Ahd wa al-Syahadah dalam membangun peradaban global? Potensi penuh konsep Dar al-Ahd wa al-Syahadah adalah membuat republik ini kuat dan sejahtera. Dengan dimotori oleh orang-orang Muhammadiyah tentunya. Juga umat muslim pada umumnya.
Artinya, dalam konteks peradaban global, konsep ini masih sangat kurang memadai. Karena konsep Dar al-Ahdi wa al-Syahadah hanya bergerak pada wilayah domestik. Belum melangkah ke level global.
Karena itu, betul jika dikatakan bawa konsep ini adalah konsep yang cukup baik. Namun, ide itu belum cukup untuk membangun peradaban pada level global.
Baca Juga: Coronavirus Mengajarkan Bahwa Bumi adalah Masjid
Dalam konteks peradaban global, Muhammadiyah masih perlu membangun ide-ide seperti Dar al-Ahdi wa al-Syahadah dan sejenisnya. Yang dapat dijadikan jargon untuk naik ke level global. Untuk ikut andil dalam membangun peradaban global.
Penulis adalah aktivis dalam Human Right Defender.