Munculnya wabah COVID-19 atau lebih dikenal dengan virus Corona dewasa ini semakin meresahkan semua lapisan. Munculnya berbagai sikap dan Pandangan dalam menyikapinya juga banyak memunculkan pro dan kontra. Baik di tataran pemerintahan hingga dalam lingkup grass root.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, umat Islam selaku pemangku kedudukan mayoritas penduduk memainkan peranannya. Tentu dalam keikutsertaan memandang, menyikapi, dan mengusahakan penyelesaian kasus Corona yang oleh pemerintah telah dijadikan sebagai isu dan bencana Nasional.
Dampak virus Corona yang cukup masif pada aktifitas kepemerintahan, sosial maupun dalam ranah privat peribadatan. Sangat berimplikasi semakin meruncingkan perbincangan hingga perdebatan yang cukup serius tentang wabah ini.
Gerakan-gerakan sekala internasional dalam meminimalisir dan menghalau kasus ini mulai banyak digalakkan. Mulai dari gerakan mencuci tangan, cek suhu badan, gerakan memakai masker, mengurangi intensitas interaksi antar individu. Maupun lock down yang dimaklumatkan oleh pemerintah masing-masing negara mulai bermunculan.
Munculnya wabah Covid-19 menstimulus para ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama mengeluarkan himbauan bagi para masyarakatnya bahkan hingga dikeluarkanya fatwa-fatwa serius. Tidak ketinggalan para muslim taat bahkan hingga muslim “abangan” atau bahkan “Islam KTP” ikut bersuara ketika merasa kebebasan dan kenyamanan beribadahnya terusik.
Dua Golongan Varian Islam
Dalam menyikapi virus COVID-19, setidaknya mampu menampakkan beberapa paradigma muslim Indonesia yang dewasa ini muncul kepermukaan. Di satu sisi ada golongan yang menyikapi wabah ini dengan hanya berpasrah pada Allah tanpa ada upaya apapun. Kira-kira pungkasnya: “Allah adalah pencipta segalanya, bahkan COVID-19 adalah ciptaannya. Tidak perlu risau. Kita mempunyai Allah yang maha perkasa yang menguasai seantero alam semesta beserta isinya, semuanya takluk pada-Nya”.
Golongan kedua adalah golongan yang sibuk bekerja keras melakukan riset guna menemukan vaksin penawar virus Corona. Melakukan gerakan-gerakan preventif, hingga mengisolasikan diri masing-masing guna mengurangi intensitas interaksi antar individu. Dengan tidak meninggalkan aspek transendental pada Sang Penguasa alam semesta.
Baca Juga: Melebarkan Jarak Shaf Shalat Jamaah Saat Corona itu Bid’ah atau Darurat?
Faham golongan pertama sekilas tampak bersahaja dan menyejukkan, tetapi jika ditelaah lebih dalam, konsep tersebut sangat bertentangan dengan konsep Al-quran sebagai rujukan utama umat muslim. Dalam Al-quran surat Ar-Ra’ad ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka maumengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”. Berangkat dari ayat tersebut dapat disimpukan bahwa kehendak Allah tidak jauh dari seberapa besar upaya ikhtiar kita dalam mencapai suatu hal.
Fathurrahman Kamal, Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah bersuara menyikapi hal ini, ia mengorelasikannya dengan paham teologis Jabariyah. “Jauhilah teologi Neo-Jabariyah yang menyerukan takut pada Allah bukan takut pada virus Corona. Pernyataan yang sekilas benar, namun ditunjukkan pada suatu kebatilan (qawlu haqqin ur’ida bihi al-bathil). Sebab teologi ini sesat dalam meletakkan dalil dan keliru memahami makna secara komperhensif. Di samping fragmentatif dan miskin wawasan realitas dan buta maqasid syariah” pungkasnya.
Preventif adalah Tawakal
Faham kelompok kedua, mereka adalah golongan orang-orang yang berupaya berikhtiar melakukan gerakan preventif dalam menyikapi virus Corona. Dengan tidak meninggalkan keyakinannya atas kuasa dan kebesaran Allah. Dalam Al-quran surat An-Naml ayat 18: “Di saat semut merasakan adanya bahaya yang mengancam penduduknya, berkatalah seekor semut menasehati dan memperingatkan semut yang lainya: wahai semut, masuklah kedalam rumah-rumah kalian”.
Kita dapat mengambil suatu makna yang begitu dalam dalam kisah semut yang dikisahkan dalam surat An-Naml ini. Suatu nilai yang dapat kita ambil, yaitu upaya ikhtiar sebagai makhluk. Menasehati, memperingatkan dan upaya memasuki rumah-rumah mereka adalah upaya ikhtiar yang dilakukan semut dalam menghindari marabahaya. Kemudian Allah lah yang memutuskan semut tersebut selamat ataukah tersiksa dan mati tertimpa bahaya.
Kisah semut dalam ayat tersebut sangatlah inspiratif dan sarat makna. Kisah tersebut sangat erat kaitanya dengan kondisi manusia saat ini. Manusia bagaikan semut kecil yang sama sekali tidak dapat berbuat banyak terhadap virus Corona yang mewabah. Gerakan-gerakan preventif mulai digalakkan, mulai dari seruan pemakaian masker, mengurangi intensitas interaksi. Hingga lockdown adalah bentuk ikhtiar manusia dalam menyikapi wabah Corona yang dirasa bagaikan monster raksasa.
Jihad itu Bukan Pasrah
Hamim Ilyas Wakil Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bersuara dengan kaitannya wabah Corona. “Tidak ada mati syahid tanpa berjihad. Hadis tentang mati syahidnya orang yang mati karena wabah tidak untuk membuat umat pasrah tanpa usaha. Tetapi untuk mendorong mereka berjihad menghadapinya. Menemukan vaksin, tidak berkerumun, dan tidak panik adalah jihad menghadapi pandemi Covid-19 sekarang”.
Umat harus segera sadar sejak dari diri sendiri. Hal tersebut adalah suatu bentuk persatuan umat yang memiliki dampak masif pada seluruh makhluk. Meminjam istilah Prof. Amin Abdullah, “Fresh Jihad”. Arti jihad pada saat ini harus segera kita perbarui dan kita selaraskan dengan konteks realitas dan zaman dengan orientasi kebutuhan seluruh makhluk.
Baca Juga: Pandemi Covid-19: Menimbang Ulang Keputusan Lock down
Umat harus mampu menfilter berita yang masuk, umat dituntut cerdas memilih dan memilah berita-berita yang bertebaran di era digital ini. Tidak panik, tenang, dan tetap waspada, dengarkan seruan-seruan para ahli, dan lakukan upaya-upaya pencegahan adalah bentuk jihad yang wajib dilakukap setiap kalangan tanpa terkecuali.
Segala kekuatan upaya tersebut adalah bentuk kongkrit jihad melawan Covid-19. Yang terakhir, meminjam istilah Kuntowijoyo, “transendensi”, umat harus mampu menanamkan tauhid. Keyakinan yang begitu dalam pada Allah bahwa upaya yang besar akan membuahkan hasil yang maksimal.
Allahlah sebagai penentu semuanya sesudah ikhtiar manusia. Dengan Allah, karna Allah, dan untuk Allah kita bertindak. Sekali lagi, hal tersebut tetap harus bergandengan erat dengan upaya ikhtiar kita sebagai makhluk. “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”(Ar-Ra’ad: 11). Bersatu melawan Corona!
Sumber Ilustrasi: voa.islam.com