Dari artikel saya yang berjudul Covid-19 adalah Rahmah rupanya banyak mendapatkan tanggapan. Dari beberapa tanggapan tersebut sangat membangun dan perlu disikapi secara matang agar kajian keislaman tidak mandeg di tengah pageblug seperti sekarang. Salah satunya, datang dari guru saya sendiri, al-mukaram Dr. Nur Kholis. Beliau adalah Imam Besar Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan.
Saya yakin beliau sangat memahami permasalahan ini. Sebenarnya beliau tidak mengajukan pertanyaan, lebih tepatnya menyarankan agar kajian musibah yang saya tulis juga dikaitkan dengan beberapa term yang mirip, yakni bala dan fitnah.
Saya melihat ada satu term lagi yang mirip, yaitu azab. Jadi tulisan ini akan membahas tiga hal tersebut. Namun dikarenakan keterbatasan ruang, maka penulis membaginya menjadi tiga artikel yang berbeda, tetapi satu kesatuan, dan tulisan yang ada dihadapan pembaca sekarang fokus pada permasalahan “bala”. Mudah-mudahan tulisan ini mendapat respons yang positif.
baca juga: Agar Tidak Ekstrim Jabariyah dan Ekstrim Qodariyah dalam Menghadapi Corona
Agar pembaca tidak a historis, maka perlu penulis sampaikan kesimpulan pada tulisan saya sebelumnya, Covid-19 adalah Rahmah yang diterbitkan di IBtimes.id. Kesimpulan tersebut adalah bahwa musibah yang menimpa manusia disebabkan karena ulahnya sendiri. Musibah yang terjadi atas ketentuan Allah, dan hal tersebut tidak menunjukkan bahwa Tuhan memberikan keburukan terhadap hambanya.
Analogi yang penulis gunakan sebagai berikut. Api adalah ciptaan Allah. Ketika api membakar rumah, lalu ada seorang yang masuk ke dalam rumah tersebut, kemudian dia terbakar, apakah Tuhan telah menyiksa orang tersebut. Inilah yang dimaksud ketentuan Allah, dan itulah yang dimaksud dengan musibah.
Pengertian Bala dalam Al-Qur’an
Kata (masdar) balaa’ sendiri berasal dari kata baliya-yablaa yang artinya lusuh, usang, rapuh, dan sedih. Dalam kamus Al-Muhith, kata balaa’ dapat menjadi anugerah (minhatan) dan ujian (mihnatan). Artinya, kata bala tidak selalu menunjukkan makna yang buruk. Abdullah Yusuf Ali karyanya The Holy Qur’an: English Translation and the Meanings and Commentary menjelaskan ujian itu baik dan buruknya tergantung cara menyikapinya.
Kata kerja turunan dari balaa’ lainnya adalah ablaa-yabluu yang artinya menguji. Jika ada kata ablaa Allahu ‘ibaadahu, maka artinya Allah menguji hamba-hambanya. Dalam Surah Al-Maidah (5): 48 kata ini digunakan dalam bentuk present tense, liyabluwakum fii maa ataakum, fastabiqul khairaat, (Allah) ingin menguji kamu atas apa-apa yang telah diberikannya padamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan.
Begitu juga dalam Surah Al-Mulk (67): 2, alladzii khalaqa mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa, (dialah Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji di antara kalian siapa yang terbaik amalnya.
Begitu juga yang terdapat dalam Surah Al-An’am (6): 165, dan Huud (11): 7. Hal penting yang perlu dipahami dari dua ayat ini adalah bahwa ujian adalah sebuah fase (tahapan), jika manusia mampu melewatinya dengan baik, maka yang didapat adalah kenikmatan (minhatan), tapi apabila gagal, maka yang didapat adalah penderitaan (mihnatan) (Lihat Surah Al-Anbiya (21): 35).
baca juga: Fatwa Mencelakakan dari Akal Cekak
Kata balaa’ (Indonesia: bala) disebut sebanyak 5 kali di dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Baqarah (2): 49, Al-A’raf (7): 141, Al-Nafaal (8): 17, Ibrahim (14): 6, dan Ad-Dhuhan (44): 33. Dari lima ayat yang memuat kata balaa’ di atas, tiga ayat menunjukkan makna ujian dan dua ayat lainnya menunjukkan makna positif, yakni kemenangan dan kenikmatan.
Bala sebagai Ujian
Pertama, bala sebagai ujian terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2): 49, Al-A’raf (7): 141, dan Ibrahim (14): 6. Tiga ayat ini memiliki konteks yang sama, yakni ujian berat (balaa’un adziimun) yang dialami Bani Israil akibat kekejaman Fir’aun. Di dalam ayat dijelaskan bahwa siksaan Fir’aun menggunakan kata suu’a al-azaab, artinya siksaan tersebut sangat biadab, keji sekali. Semua anak laki-laki dibunuh, sementara anak perempuan dibiarkan hidup. Penentang Fir’aun pasti disiksa.
Bani Israil dijadikan budak oleh Fir’aun. Mereka ditindas tanpa belas kasih. Mereka diminta untuk meninggalkan keyakinan agama Ibrahim, monoteisme (ajaran Tauhid), dengan meyakini bahwa Fir’aun adalah tuhan.
Pelaku kejahatan dalam peristiwa tersebut adalah Fir’aun, tetapi di dalam ayat dijelaskan bahwa yang demikian itu balaa’un min rabbikum ‘adziim, ujian berat dari Tuhanmu. Pertanyaannya, apakah Tuhan menyiksa Bani Israil? Tentu saja jawabannya tidak. Sifat Rahman Tuhan, tidak mungkin menyebabkan manusia menderita.
Perlu ‘kehati-hatian’ untuk menyandarkan bala berasal dari Tuhan. Bala yang dialami Bani Israil hanya merupakan fase dalam kehidupan, karena mereka berada dalam kekuasaan seorang raja yang zalim dan biadab. Apakah Tuhan berdiam diri melihat hambanya disiksa? Jawabnya juga tidak. Pada saat itulah kemudian Tuhan mengutus seorang Rasul yang bernama Musa ‘alaihi salam untuk menyelamatkan mereka. Akhir dari kisah ini, Bani Israil akan mendapatkan kenikmatan seperti yang terdapat dalam Surah Ad-Dhuhan (44): 33.
Bala sebagai Nikmat dan Kemenangan
Kedua, bala sebagai kenikmatan terdapat dalam Surah Ad-Dhuhan (44): 33 dan sebagai kemenangan terdapat dalam Surah Al-Nafaal (8): 17. Dalam Surah Ad-Dhuhan (44): 33, dijelaskan “dan Kami telah memberikan kepada mereka (Bani Israil) di antara tanda-tanda kekuasaan (Kami) sesuatu yang di dalamnya terdapat balaa’un mubiinan.”
Ayat ini konteksnya tentang pembebasan Bani Israil yang dilakukan Musa alaihi salam dari kekejaman Fir’aun (dari ayat 17 hingga ayat 42). Setelah menjalani berbagai ujian dan melihat bukti-bukti kebesaran Tuhan melalui mukjizat Musa alaihi salam, akhirnya mereka mendapatkan balaa’un mubiin.
Menurut Al-Lusiy dalam Ruhul Ma’ani kata balaa’un mubiin bermakna ni’matun dzaahiratun aw ikhtibarun dzaahirun linadzri kaifa ya’maluun, nikmat yang nyata, atau pelajaran nyata sebagai konsekuensi dari usaha mereka. Zamakhsari dalam Al-Kasyaf menyatakan hal yang sama. Dia menambahkan, hal itu disebabkan karena ujian dari Tuhan dapat berupa nikmat dan kesusahan. Terkait kisah di atas berakhir dengan kenikmatan yang nyata.
Penderitaan Sumber Kenikmatan
Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib juga menjelaskan bahwa ujian yang diberikan Allah berupa penderitaan (mihnah) dan juga kenikmatan. Terkait ayat tersebut, Bani Israil mendapatkan kenikmatan karena menjadi pewaris kaum sebelumnya yang durhaka. Hamka dalam Al-Azhar menjelaskan bahwa Bani Israil kemudian menempati tanah Kanaan yang dijanjikan. Di sana mereka hidup damai bersama raja Dawud as dan Sulaiman as sebagai penerusnya.
Konteks yang berbeda terdapat dalam Surah Al-Anfaal (8): 17. Dalam ayat dijelaskan, “Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian) untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (balaa’un hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ada hal yang menarik dari ayat ini. Secara bahasa (zahiriyah) dijelaskan di dalam ayat, “Bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, bukan kamu yang melempar mereka, melainkan Allah yang melempar mereka”. Di sini ditegaskan bahwa Allah melakukan kekejaman. Apakah benar seperti itu? Dalam kalimat selanjutnya dijelaskan, “yang demikian itu dilakukan Allah, untuk memberikan kepada orang beriman kemenangan yang baik (balaa’an hasanan)”.
Ayat di atas menurut Thabari dalam Jaami’ul Bayan fii Ta’wili al-Qur’an konteksnya adalah pada saat perang Badar. Perang adalah bentuk ujian (balaa’) yang harus dilalui umat Islam. Oleh karena itu dalam peperangan jangan mundur ke belakang. Karena Allah pasti akan membantu orang-orang beriman.
Larangan Bersikap Sombong Atas Kemenangan
Namun, Allah tidak turun langsung, melainkan melalui perantara malaikat-malaikat yang diutus untuk membantu orang-orang beriman. Dijelaskan oleh Thabari dalam kitabnya, bahwa Nabi saw bermunajat kepada Allah; “Ya Allah jika pasukan ini kalah (maksudnya kaum Muslimin), maka tidak ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini”.
Lalu Jibril datang dan mengatakan kepada Beliau. “Ambillah krikil, lalu lemparkan kepada mereka”. Setelah dilempar, orang-orang kafir Quraish tersebut tidak dapat melihat apapun sehingga mudah dibunuh.
Oleh karena itu orang-orang beriman jangan merasa besar kepala, jika berhasil membunuh lawan, ataupun melempar lawan hingga modar. Semua itu, atas kuasa Tuhan, atas bantuan Tuhan. Sebagai akibat dari perbuatan mereka (orang-orang zalim) yang melampaui batas.
Pesan moralnya adalah jangan sombong atas kemenangan yang diraih, sebab di belakang kemenangan ada invisible hand, peran Tuhan di sana. Sikap tawakal, yakin bahwa Tuhan membersamai orang beriman dalam segala tindakannya akan memberikan dampak ketawadu’an (rendah diri).
Menderita Karena Menentang
Ayat ini tidak dapat menjadi justifikasi bahwa Tuhan bertindak kejam. Ayat ini justru menunjukkan sebuah ketentuan Tuhan, bahwa siapapun jika menolak kebenaran, keadilan, kebaikan, pasti akan mendapatkan penderitaan. Dalam Surah Al-Israa (17): 81, ditegaskan innal baathila kaana zahuuqo, sungguh kebatilan pasti lenyap.
Jika para pelaku zalim tersebut, terbunuh, kalah dalam peperangan, begitu juga dengan Fir’aun bersama bala tentaranya yang mati tenggelam. Apakah dapat dikatakan hal tersebut sebagai bentuk kekejaman Tuhan? Padahal semua peristiwa tersebut untuk membela orang-orang beriman sebagai bentuk kasih sayang-Nya.
Baik kafir Quraish dan Fir’aun beserta para pengikutnya sudah diperingatkan, telah didatangkan kepada mereka seorang rasul, tetapi mereka malah menantang, ngeyel, dan mencemooh kebenaran yang datang. Tuhan hanya menjalankan ketentuan yang telah Dia tetapkan. Jadi orang-orang zalim dan kafir (ingkar pada kebenaran) yang sebenarnya menginginkan penderitaan yang telah ditetapkan Allah tersebut.
baca juga: Hikmah dan Resep Mengisi Waktu Ketika “di Rumah Aja”
Kalimat terakhir ayat ini menjelaskan bahwa kata balaa’ selain bermakna ujian juga bermakna kemenangan. Disebut di dalam ayat balaa’un hasanan, kemenangan yang besar. Ath-Thabari menjelaskan yang dimaksud balaa’un hasanan adalah kemenangan melawan orang-orang kafir Quraish.
Beberapa Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting; Pertama, bahwa kata bala di dalam Al-Qur’an tidak menunjukan bentuk siksaan Tuhan kepada hambanya. Kata bala di dalam Al-Qur’an lebih tepat jika dimaknai sebagai ujian yang merupakan tahapan yang harus dilalui manusia. Jika manusia mampu melewatinya dengan baik (sukses) maka yang didapat adalah kenikmatan dan kemenangan.
Kedua, Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya menderita ketika melalui ujian tersebut. Dalam setiap ujian tersebut Tuhan selalu hadir melalui utusan-utusan-Nya (invisible hand) yang tidak nampak. Oleh karena itu setiap orang yang beriman harus terus berprasangka baik kepada Tuhan, meyakini bahwa Tuhan hadir di setiap usaha yang dilakukan (ikhtiar).
Ketiga, salah satu bentuk prasangka buruk kepada Allah adalah dengan menyatakan bahwa Covid-19 yang mewabah seperti sekarang sebagai azab (siksa) dari Tuhan. Wabah ini hanyalah ujian (bala) tentang berbagai hal, mulai dari keimanan, ilmu pengetahuan, kesehatan, ekonomi, politik dan sebagainya, yang disebabkan ulah manusia sendiri.
Pasca kejadian ini pasti ada kemenangan dan kenikmatan besar yang didapatkan oleh individu, keluarga, masyarakat, negara, bahkan semua penduduk dunia. Kalau ada yang menganggap kejadian ini sebagai hukuman, maka ada salah persepsi dalam memahami Tuhan. Wallahu’alam bishawab.