Rabu, Januari 20, 2021
Kalimahsawa.ID
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
Kalimahsawa.ID
No Result
View All Result

Adab Salam Terhadap Pemeluk Agama Lain

RedaksiKS by RedaksiKS
November 30, 2019
in Ulûm ad-Dîn
0
Adab Salam Terhadap Pemeluk Agama Lain
147
SHARES
863
VIEWS

Oleh: Muhamad Ali

Mengucapkan salam, selamat (greeting, atau tahiyyah), merupakan salah satu karakteristik hidup bermasyarakat di semua negeri dari dulu hingga sekarang. Namun, bagi banyak komunitas Muslim pengikut Nabi Muhammad, masih belum selesai boleh tidaknya mengucapkan selamat kepada mereka yang dianggap non-Muslim, apakah ahlul kitab, kafir, atau musyrik.

TulisanTerkait

Muhammad Iqbal: Filsafat dan Agama itu Selaras!

Ibadah Itu untuk Menumbuhkan Akhlak Dan Rasa Cinta

Makmum Tidak Mengikuti Cara Duduk Tasyahud Imam

Ketika banyak umat beragama dan non-agama menganggap ucapan selamat sebagai masalah etika, atau bahkan etiket sopan santun, banyak ulama dan komunitas Muslim berkeyakinan ucapan selamat adalah masalah keyakinan dan ritual agama (“aqidah” dan “ibadah”), bukan sekedar etika hubungan sosial atau mu’amalah.

Fatwa MUI Jawa Timur

Fenomena terakhir, taushiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur terkait dengan Fenomena Pengucapan Salam Lintas Agama dalam Sambutan-sambutan di Acara Resmi, ditandatangani KH Abdusshomad Buchori dan H. Ainul Yaqin, S.Si, M.Si. Apt. tanggal 8 November 2019.

Di dalam himbauan itu, MUI ingin menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, tanpa “merusak kemurnian ajaran agama”. Menurut mereka, pengucapan salam pembuka bukan sekedar basa basi tapi do’a, dan do’a merupakan aqidah dan ibadah yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya. Prinsip toleransi bukan menggabungkan, menyeragamkan, atau menyamakan yang berbeda.

Himbauan ini mengutip ayat-ayat Al-Qur’an tentang tidak adanya paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256); “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun: 6); interaksi dan berbuat baik dalam mu’amalah (Al-Mumtahanah:8); dan berlaku adil kepada siapapun (Al-Ma’idah: 8).

baca juga Humanisme Indonesia

 

Poin selanjutnya, ucapan Assalamu’alaikum merupakan do’a kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Salam dalam agama Budha, “Namo Buddaya”, Terpujilah Sang Buddha, terkait erat dengan keyakinan mereka tentang Sidarta Gautama. Om Swastiastu, dalam agama Hindu, ditujukan kepada Sang Yang Widhi (“Semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan keberkahan”). MUI berfatwa, mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari. Oleh karena itu, umat Islam cukup mengucapkan kalimat “Assalamu’alaikum Wr. Wb.”

Tulisan singkat berikut ini tidak untuk mengatakan bahwa fatwa MUI di atas adalah pasti salah dan karena itu ditolak siapapun, tapi untuk menawarkan pemahaman alternatif, karena ternyata ada cukup banyak pendapat dan fatwa di kalangan ulama dan masyarakat Muslim sendiri, dan kita bisa cari pandangan yang lebih kuat secara dalil dan argumen.

Makna Ucapan Salam: Ibadah, atau Etika?

Mengucapkan salam memiliki makna yang berbeda bukan hanya bagi umat yang berbeda agama, tapi juga bagi umat yang seagama. Tidak ada satu makna ketika seseorang Muslim mengucapkan selamat baik kepada sesama muslim yang lain, dan dalam banyak kasus kepada non-Muslim juga. Masalah aqidah, ibadah, atau mu’amalah, seringkali tidak bisa dipisahkan bagi banyak orang.

Bagi banyak Muslim, setiap ucapan dan perilaku adalah ibadah. Tapi bagi Muslim yang lain, mengucapkan selamat lebih masuk kategori etika, akhlak, adab, atau bahkan etiket sopan santun yang bersifat situasional, tergantung tempat, waktu, dan di kalangan siapa.  Adab atau etiket ini bagi mereka bisa menjadi bagian dari ibadah jika niat baik dan maslahat kebaikan, dan bisa jadi mengurangi nilai ibadah jika niat buruk (seperti riya ingin dilihat dan dipuji orang) dan mudharat yang didapat.

Makna sebuah ucapan pun berbeda antara yang mengucapkan dan yang menerima ucapan. Misalnya, assalamu’alaikum kepada seorang presiden atau pejabat, dan assalamu’alaikum kepada teman atau tetangga biasa, bisa punya makna dan dampak yang berbeda.

 baca juga Islam dan Era Digital

Niat dan maksud sang pengucap pun bisa berbeda dengan maksud pembalas ucapan meskipun lafaznya sama. Seorang Nasrani dalam suatu majlis ketika ada seorang Muslim mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatulahi wabarakatuh, bisa saja merasa risih dan bingung bagaimana menjawabnya.

Seorang Muslim yang mengucapkan Selamat Natal kepada kawan Kristiani biasanya dijawab dengan Terima Kasih, Semoga Damai di Bumi, dan jawaban lain yang diharapkan tidak membuat jangkal sang Muslim dalam menanggapi.

Salam Belum Tentu Ibadah dan Akidah

Tidak semua ucapan selamat hari raya diyakini seorang Muslim sebagai aqidah atau ibadah, bahwa ia berarti pasti menerima dan mengakui keyakinan Kristen tentang Yesus Anak Tuhan. Ia mengucapkan Selamat Natal dengan tulus untuk ikut merasakan kebahagiaan lahirnya Yesus bagi umat Kristiani, tanpa harus meyakini Yesus adalah anak  Tuhan (keyakinan mana banyak Kristiani pun berbeda pendapat tentang arti dan perwujudannya).

Dan khusus tentang Yesus Kristus ini, Muslims pun memiliki kesamaan-kesamaan keyakinan dan penghormatan agung terhadapnya yang di-Arabkan menjadi Isa Al-Masih, dan keluarbiasaan kelahiran, kematian, dan kebangkitan kembali Yesus, dan keluarbiasaan Maryam dan ruh qudus, yang diakui Al-Quran (Maryam: 15 dan 33).

Pertanyaan boleh atau tidak (lebih khusus lagi: wajib, mandub/sunnah, mubah, makruh, atau haram) seorang Muslim mengucapkan Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Sejahtera, atau Selamat Natal kepada para penganut agama lain, memang kompleks dan memiliki banyak dimensi, tekstual, dan kontekstual, keagamaan dan bukan keagamaan.

Begitu kompleks juga pertanyaan, bolehkah seorang Muslim menjawab ucapan selamat hari raya Waisyak Umat Buddha atau Natal umat Kristiani. Pertanyaan boleh tidak seringkali lebih bersifat fiqih yang bersifat lahiriyah, meskipun perkaranya diyakini sebagai masalah aqidah bagi sebagian Muslim.

Ada dimensi-dimensi lain: spiritual, moral, kultural, sosial, politik, bahkan ekonomi bagi sebagian lainnya. Misalnya, banyak kalangan yang menganggap ucapan dan perayaan natal adalah lebih bersifat kultural yang dirayakan bukan hanya Kristian yang taat, tapi juga semua Kristen, banyak orang Yahudi, juga Muslim, Hindu, Buddhist, dan bahkan ateis di negeri-negeri Barat.

baca juga Generasi Produktif dan Berwawasan Kebangsaan 

 

Jika demikian maka soal aqidah versus mu’amalah menjadi samar dan tidak jelas batas-batasnya. Itulah salah satu sebab mengapa ucapan selamat Natal dan ucapan selamat di acara-acara dimana masyarakatnya sangat majemuk dan sudah terbiasa, tidak menjadi sekontroversial di kalangan sebagian Muslim yang hidup sebagai minoritas dan ataupun sebagai mayoritas.

Mari bahas teks-teks agama Islam, yang sering dikutip dalam kontroversi ucapan selamat ini. Tidak ada ayat Al-Quran dan hadis (katakanlah menurut jalur Sunni) yang secara eksplisit melarang seorang beriman dari mengucapkan selamat dan berdo’a untuk dan kepada siapapun. Malahan, ada beberapa ayat yang bisa dipahami membolehkan salam kepada penganut agama lain.

Salam kepada Nabi Isa

Surat Maryam ayat 15 dan 33, menunjukkan Allah mengucapkan salaam kepada Isa Al-Masih pada hari kelahirannya, wafatnya, dan kebangkitannya kembali. Dua ayat terkait ini dipahami sebagian ulama, termasuk Muhammad Quraish Shihab di Indonesia, kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani, dalam pengertian seperti yang dipahami dari ayat-ayat di atas.

Artinya, seperti saya sebut sebelumnya, Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim yang memahami ayat di atas bahwa Isa adalah Nabi Allah, bisa memiliki makna yang agak berbeda dengan Selamat Natal yang diucapkan seorang Kristiani yang meyakini Yesus sebagai Anak Tuhan, dan bagian dari Trinitas. Namun, ada kesamaan keyakinan yang fundamental antara Muslim dan Kristen tentang figur Yesus ini: bahwa Yesus bukan manusia biasa, bahwa ia memiliki pengikut yang taat pada ajarannya, bahwa diantara para pengikut Yesus itu adalah orang-orang yang “paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman, dan mereka berkata,”Sesungguhnya kami ini Nashrani. Yang demikian itu karena di antara mereka terhadap pendeta-pendeta dan Rahib-rahib, yang tunduk dan tidak sombong” (Al-Maidah: 82).

Al-Qur’an pun menyatakan, Isa Al-Masih sebagai ayat (tanda) bagi semua manusia dan rahmat dari Allah (Maryam: 21). Bagi sebagian Muslim, pemahaman seperti ini sama sekali tidak mendangkalkan keyakinan tauhid Islam dan tidak pula mencampuradukkan dua agama, seperti yang dianggap sebagian ulama dan Muslim lain yang melarangnya.  Mengucapkan “Salam Sejahtera kepada kita Semua” kepada sebagian umat Kristen para pengikut Isa, yang hadir misalnya, bukanlah bid’ah yang buruk.

baca juga Ethos Kerja Adalah Irodah 

 

Dar Al-Ifta Al-Mishriyah, tidak hanya membolehkan tapi juga menganggap bagian dari mengikuti perintah Allah, “Berkata baiklah kepada semua manusia” (Al-Baqarah: 83) dan menuruti perintah Allah untuk berbuat adil dan berbuat baik (Al-Nahl:90), dan mengikuti perintah Rasulullah yang diutus “untuk memperbaiki akhlak manusia”. Para ulama Mesir ini, juga mengutip Nabi SAW yang menerima hadiat dari Raja Kristen Mesir Al-Muqawqis, dan Kaiser dan raja lain. Nabi juga memberi hadiah kepada non-Muslim, mengutip Shar Al-Siyar Al-Kabir (vol.1, hal.96).

Dalam Kitab Fath Al-Ali Al-Malik (vol.2, hal. 349), Syeikh ‘Illish, berfatwa,”mengucapkan selamat kepada non-Muslim dengan mendo’akannya panjang umur tidak membuat murtad atau kafir karena ucapan selamat itu tidak berarti menerima kekafirannya.” Syaikh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb, kita tahu, juga mengucapkan Selamat Natal kepada Umat Kristiani, khususnya komunitas Orthodoks Koptik di Mesir yang merayakan kelahiran Yesus pada 7 Januari.

Selainnya, Guru Besar Perbandingan Mazhab Al-Azhar, Saad Al-Helaly, bahkan menganjurkan Muslim dan non-Muslim untuk memupuk persaudaraan, dan membolehkan merayakan hari raya keagamaan tanpa perlu mengikuti aspek ritual spesifik masing-masing agama.

Setidaknya di sini para ulama ini membolehkan, bahkan justru menjadi bagian dari ibadah menurut Al-Quran dan Sunnah. Dalam konteks pertanyaan kita di atas, bolehlah mengucapkan salam umat agama lain dalam acara-acara apapun, termasuk dalam kaitannya dengan hari raya agama.

Salam oleh Nabi Ibrahim

Selain Isa Al-Masih dan Selamat Kelahirannya, Al-Quran memuat kisah pendek Nabi Ibrahim yang mengucapkan salam kepada ayahnya yang ‘kafir’: “Salam untuk Ayah! Dan aku memintakan ampunan kepada Tuhanku untukmu; sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47).

Mufassir Al-Qurthubi, seperti yang dikutip lengkap dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, yang diterbitkan tahun 2000, menafsirkan ayat ini sebagai berikut: Sebagian ulama menyatakan salam Ibrahim sebagai salam perpisahan. Mereka juga membenarkan menjawab dan mendahului orang kafir dengan salam. Pernah ditanyakan kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah (w.198/813M),”Bolehkah mengucapkan salam kepada orang kafir?” Dia menjawab,”Ya. Allah Yang Maha Tinggi berfirman, ‘Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu; sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).

 baca juga Buletin Kalimatun Sawa’: Forum komunikasi dan Pertemuan Pandangan Serta Gagasan

Allah juga berfirman, ‘Sesungguhnya terdapat suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim.’ Dan Ibrahim itu mengucapkan salam kepada ayahnya.” (Al-Qurthubi, XI: 111-2, dalam Tafsir Tematik, hal.74-75). Dalam ayat lain, “Ingatlah ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam. Ibrahim membalas, salam juga untuk kalian, meskipun kalian adalah orang-orang asing yang kami tidak kenal. (Al-Dzariat: 25). 

Di sini kita baca Al-Qurthubi menafsirkan ucapan selamat kepada non-Muslim sebagai wujud dari berlaku adil kepada siapa saja, suatu penafsiran yang berbeda dengan fatwa MUI di atas yang memisahkan ‘berlaku adil’ sebagai mu’amalah semata dan ‘ucapan salam agama lain’ sebagai bagian ibadah yang harus bersifat eksklusif.

Salah satu sifat hamba-hamba Allah adalah bersikap rendah hati dan selalu menebar salam kepada siapa saja. Surat Al-Furqan ayat 63, mengingatkan kita,”Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang, adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan ketika orang-orang yang jahil (tidak tahu) mengajak bicara, mereka menyampaikan salam.”

Mufassir Ibnu Katsir menulis,”Jika mereka yang jahil (tidak tahu) itu menyakiti mereka dengan kata-kata buruk, mereka tidak membalasnya, tapi mereka justru memaafkan atau membiarkan. Mereka tidak mengatakan apa-apa kecuali kata-kata yang baik. Itulah yang Rasululllah lakukan.” Jadi, bukankah mengucapkan salam umat agama lain, bisa menjadi wujud kata-kata baik kepada mereka, apalagi mereka bukanlah orang-orang jahil itu?

Bagaimana dengan Adab Salam?

  1. Jawablah dengan yang lebih baik atau setara

Dalil selanjutnya Surat Al-Nisa Ayat 86: “Dan apabila kalian diberi salam, maka balaslah dengan ucapan salam yang lebih baik, atau setidaknya sama…” Rasyid Rida dan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, menafsirkan ayat ini cukup panjang lebar.

Berikut ringkasan saya: Rida mengutip Qatadah dan Ibnu Zayd bahwa menjawab ucapan salam dengan lebih baik itu kepada Muslim yang lain, sedang menjawab yang serupa, itu kepada Ahlul Kitab, atau non-Muslim pada umumnya. Tapi, Rida menambahkan, tidak ada dalil Al-Quran dan Sunnah yang memisahkan Muslim dan Ahlul Kitab. Ibnu Abbas, menceritakan, jika ada makhluk Allah siapapun mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah walaupun ia orang Majusi, karena Allah berfirman ayat ini.

baca juga Citizenship dan Ummah: Kesetaraan dan Kesamaan Hak Kewarganegaraan 

Rida berpendapat, konteks ayat ini dalam hukum peperangan dan damai, dan orang-orang Arab ketika itu memiliki akhlak yang sudah mengakar. Perintah menjawab salam itu, menurut Muhammad Abduh, sebagai jalan menciptakan kehidupan damai (wasa’il al-salam). Nah, ketika lafaz salam menjadi lafaz umat Islam, maka ucapan itu menjadi tanda keislaman, dengan mengutip ayat lain, ”Jangan katakan kepada orang yang menyatakan salam kepada kamu, Anda bukan orang beriman.” (Al-Nisa: 94).

Rasyid Rida melanjutkan, sebagian umat Islam tidak menyukai (makruh) mengucapkan salam kepada non-Muslim karena berpendapat bahwa tidak boleh membalas salam non-Muslim; seorang non-Muslim tidak boleh mengikuti adab umat Islam. Akan tetapi, salah satu karakter seorang Muslim adalah lemah lembut, dan seperti firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk rumah orang lain sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat (Surat Al-Nur: 27).

Rida bertanya,” apakah salam ini berlaku umum, termasuk umat Islam, atau khusus hanya umat Islam?. Ia menjawab, “sesungguhnya Islam adalah agama yang umum dan salah satu tujuannya menyebarkan adab-adabnya dan keutamaan-keutamaannya kepada semua manusia, meskipun secara bertahap sehingga menarik sebagian mereka dan semua manusia menjadi bersaudara. Dan diantara adab Islam yang menguat di zaman Nabi adalah usaha menyebarkan salam kepada semua, kecuali mereka yang memerangi.

  1. Membalas Salam

Orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi dan Nabi membalas salam mereka hingga ada orang jahil di antara mereka yang mengganti kata al-“salam” dengan al-“saam”, yang artinya celaka, atau mati. Dalam konteks permusuhan sebagian Yahudi inilah, jawaban salam Nabi, “wa alaikum” (“dan begitu juga kepada kalian”) perlu dipahami.

Konteks sebab hadis tidak boleh memulai itu adalah karena permusuhan sebagian Yahudi waktu itu, khususnya Banu Quraizhah. Ibnu ‘Abbas menceritakan bahwa para sahabat mengucapkan Salam kepada ahlul kitab dhimmi. Dan dari Sya’bi bahwa sebagian Salaf mengucapkan salam kepada orang Nashrani dengan “Dan bagi kamu Salam dan Rahmat Allah Ta’ala.” Ada yang bertanya, “Kenapa menjawab salam mereka?”, ia menjawab,”Bukankah dia juga hidup dalam rahmat Allah?”  Begitu pula, perintah Nabi untuk “menyebarkan salam kepada yang kamu kenal dan kamu tidak kenal.”

Itulah kalangan Salaf. Nah di kalangan Khalaf, Rasyid Rida melanjutkan, mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memulai salam kepada non-Muslim. Sebagian tidak membolehkan memulai kecuali ada keperluan. Namun menjawab salam non-Muslim adalah sama wajibnya dengan menjawab salam Muslim. Sebagian berpendapat, itu sunah saja. “Jika ada orang Yahudi, Nashrani, Majusi, mengucapkan salam kepadamu, maka bolehlah kamu jawab.”

Seperti disinggung di atas, hadis Nabi (dalam Sunan Ibnu Majah): “Aku berkendara untuk bertemu orang-orang Yahudi maka janganlah mulai memberi salam dan jika mereka memberi salam, maka jawablah, “dan juga bagi kalian”, memiliki konteks khusus dan tidak menjadi norma umum dalam setiap kondisi. Mengucapkan salam berarti memberikan rasa aman kepada mereka, dan jika tidak ada rasa aman, maka tidak ada makna memulai salam itu.

Rasyid Rida menulis, memulai salam adalah sunnah yang utama menurut pendapat mayoritas ulama, bahkan ada pendapat itu wajib, sedangkan menjawab salam, mayoritas berpendapat wajib, seperti maksud tekstual ayat di atas.

Sesama Muslim, ada adab dalam hadis-hadis untuk tidak menjawab salam ketika dalam kamar kecil, kepada orang yang lagi mabuk, atau ketika sedang sholat. Ia bisa menjawab setelah selesai. Namun, adab-adab lain cukup rinci dalam hadis-hadis lain. “Orang yang berkendaraan mengucap salam kepada orang yang berdiri, orang yang berdiri kepada orang yang duduk, kelompok yang kecil kepada kelompok yang lebih besar.” Nabi juga mengucapkan salam kepada perempuan-perempuan dan anak kecil.

Adab Memberi Salam menurut Hadis

Ketika Nabi ditanya tentang sebaik-baiknya keislaman? Nabi menjawab, “memberi makan orang dan mengucapkan salam kepada orang yang kalian kenal dan tidak kalian kenal.”  Nabi juga bersabda, ”Sebarkan salam, maka kalian akan selamat.” Ada juga, “Sebarkan salam sehingga kalian saling menyayangi.” Hadis-hadis ini ada dalam Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.

Dalam Kitab Al-Adab al-Mufrad, dari Abdullah, dari Jabir berkata, “Apabila Anda masuk rumah, maka berilah salam dari sisi Allah berupa keberkahan dan kebaikan…”. Di sini dipahami rumah Muslim yang lain, tapi tidak selalu demikian. Abu Usman Al-Nahdi berkata, “Abu Musa menulis kepada bangsawan Persia dan menyatakan salam kepadanya dalam suratnya itu. Dia ditanya,”Mengapa Anda sampaikan salam padahal dia kafir. Dia menjawab,”Dia menyampaikan salam kepadaku maka akupun menjawab salamnya.”

Selain dalam tulisan, ada adab menyatakan salam dengan suara yang terdengar. Tsabit Ibnu Ubay berkata, “Aku mendatangi kerumuman orang, termasuk Abdullah Ibnu Umar yang berkata, ’Jika kalian mengucapkan salam, maka ucapkanlah hingga terdengar, karena itu dari Allah mengandung keberkahan dan kebaikan.”

Di ceritakan Abu Hurairah, ”Siapa yang bertemu saudaranya, dia harus mengucapkan salam. Jika ada pohon atau tembok yang menghalangi, dia tetap harus melewatinya dan mengucapkan salam.” Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Orang yang paling pelit adalah yang paling pelit mengucapkan salam, dan orang yang paling tidak mampu adalah orang yang tidak mampu menyampaikan do’a kepada orang lain.”

Juga dalam Al-Adab Al-Mufrad, Abu Bakar berkata, ”Apakah kalian tahu bahwa ketika orang-orang terdahulu memberi salam, mereka mendapatkan pahala? Karena itu, sampaikan salam kepada mereka sebelum mereka duluan, dan kalianpun akan mendapatkan pahala.”

 baca juga Radikalisasi Pancasila: Sumbangsih Kuntowijoyo Bagi Kembalinya Ruh Pancasila

Dalam Sirah Ibnu Ishaq, ada kisah Nabi didatangi tamu sekitar enam belas pendeta Nasrani dari Najran, dan Nabi menerima mereka di dalam masjid. Setelah berdialog tentang aspek-aspek keyakinan, semua pendeta itu tidak menerima pemahaman Nabi. Lalu Nabi mempersilahkan mereka beribadah sesuai dengan agama mereka di masjid Nabi itu. 

Dalam kisah ini tidak disebutkan bagaimana Nabi dan delegasi Nashrani ini memberi dan menerima salam. Tapi setidaknya, akan sangat janggal jika tidak ada ucapan salam, dan juga akan janggal jika ucapan salamnya ucapan keburukan.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda,” Janganlah memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani, dan jika kalian bertemu dengan mereka di jalan, maka persempitlah jalan mereka (HR Muslim). Dalam Tafsir Tematik Majelis Tarjih dikutip dalam tulisan saya sebelumnya, ada penjelasan, ”Nabi Muhammad di dalam Al-Qur’an jelas dilukiskan sebagai seorang yang berakhlak luhur (68:4), dan menyatakan orang paling baik adalah orang yang paling baik akhlaknya serta memerintahkan supaya memperlakukan orang lain seperti kita senang diperlakukan demikian.

Oleh karena itu tidaklah mungkin kandungan hadis di atas menjadi norma umum dalam menghadapi orang lain agama. Hadis tersebut harus diartikan sebagai berlaku dalam kondisi dimana Nabi saw sendiri diperlakukan tidak baik. Jadi ringkasnya, dapat disimpulkan bahwa tidak dilarang di dalam hukum Islam untuk menjawab salam Islam yang diucapkan oleh non-Muslim kepada Muslim. Hal ini sesuai dengan keumuman ayat yang ditafsirkan di atas (4: 86).” Majelis Tarjih PP Muhammadiyah juga menyimpulkan, “Begitu pula halnya mengucapkan salam kepada non-Muslim. Hadis-hadis yang melarang mendahului mengucapkan salam kepada non-Muslim itu harus diartikan sebagai menyangkut kasus khusus dan bukan merupakan norma umum…”.

Lebih lanjut, ada pemahaman lain terhadap hadis diatas. Yang dimaksud “janganlah membuka jalan pada orang kafir”, adalah justru dalam rangka menghormati mereka. Demikia menurut Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (6: 501).

Lalu Bagaimana menggunakan salam umat agama lain?

Selain Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang membolehkan mengucapkan salam kepada non-Muslim, Bahstul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur tentang Hukum Salam Lintas Agama, yang ditandatangani KH Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I dan K. Ahmad Muntaha Am, S.Pd, tanggal 12 November 2019, juga membolehkan salam lintas agama.

 baca juga Meniti Jembatan Rawan

NU  membahas masalah ini dari perspektif fiqh atas ayat-ayat dan hadis-hadis, serta kitab-kitab Bariqah Muhammadiyah, Al-Asybah Wa Al-Nazhair, ‘Ianatul Thalibin, Zad Al-Ma’aad, Majmu’ah Sab’ah, dan Fatawa Al-Syaikh Izzudin. Dalam keputusan ini, diawali Islam sebagai agama kerahmatan, yang mengutip Surat Maryam ayat 47, yang menunjukkan Nabi Ibrahim yang mengucapkan salam kepada ayahnya yang masih belum bertauhid.

Hadis Bukhari dan Muslim, juga dikutip: “… Nabi Saw melewati suatu majelis yang di dalamnya berkumpul kaum muslimin, kaum musyrikin penyembah berhala, dan kaum Yahudi yang didalamnya terdapat Abdullah bin Ubay. Di majelis itu juga ada Abdullah bin Rawahah. Kemudian ketika debu telapak hewan kendaraan menyebar ke majelis, Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendangnya, lalu berkata:”Jangan kenai debu kami.” Kemudian Nabi saw mengucapkan salam kepada mereka.”

Demikian pula, keputusan NU ini menambahkan, sebagian sahabat dan tabiin setelahnya, seperti Abu Usamah, Ibnu Mas’ud, dan selainnya membolehkan dan melakukannya. Keputusannya ditutup sebagai berikut: “Dalam hal ini, bagi pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan semisalnya. Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.”

Dari dalil-dalil nash dan konteks di atas, tampaknya belum ada rujukan Nabi atau kaum salaf yang menggunakan salam Nashrani, salam Yahudi, salam Majusi, dalam konteks negeri Madinah atau zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, atau di kalangan Syiah awal. Hal ini tidak berarti, bahwa salam umat agama lain menjadi bid’ah yang dilarang dan dimurka Allah.

Fatwa MUI di atas adalah himbauan dan bentuk kehati-hatian, tapi kita bisa memahami betapa luasnya Rahmat Allah Swt kepada semua manusia, semua makhluk-Nya, baik yang Muslim maupun non-Muslim, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.  Fatwa MUI Jawa Timur tersebut bukanlah satu-satunya pendapat atau fatwa mengenal masalah ini. Majelis Tarjih PP Muhammadiyah membolehkan salam untuk non-Muslim dan Bahstul Masail NU Jawa Timur, membolehkan salam lintas agama demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketiadaan dalil tekstual yang menyuruh atau membolehkan seorang Muslim menggunakan salam umat agama lain secara khusus, tidak berarti keharamannya. Adanya beberapa dalil Quran dan hadis yang tidak melarang menjawab salam dan mengucapkan salam kepada umat agama lain, menunjukkan ketidakharaman mengucapkan salam yang mengandung makna kebaikan.

Salam-salam dalam tradisi Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain, ada banyak, dan memiliki makna yang berbeda-beda dan khas agama masing-masing. Tidak semua mereka pun mengucapkan salam yang sama. Namun demikian, ada nilai kesamaan yang cukup universal: mendo’akan kebaikan dan keselamatan kepada orang lain, siapapun mereka.  Tidak ada alasan dan bukti yang kuat untuk membuat praduga bahwa seorang Muslim yang mengucapkan salam umat agama lain berarti ia dangkal keyakinan dan keagamaannya. Tidak ada juga bukti bahwa ia menerima semua aspek dari ajaran agama lain.

Dengan mengucapkan salam pembuka di suatu acara, tidak ada bukti bahwa mereka menyamakan dan mencampuradukkan agama-agama yang berbeda. Tidak ada bukti bahwa seorang Kristen atau Buddha yang menerima ucapan salam dalam bahasa mereka berharap bahwa Muslim yang mengucapkannya itu menerima keyakinan Kristen dan Buddha.

Pengucapan salam juga tergantung dari niat, motivasi, dan dampaknya dalam kehidupan sosial non-Muslim dan Muslim. “Setiap perbuatan tergantung niatnya”, begitu hadis populer riwayat Bukhari dan Muslim. Begitu pula, Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad fisik kalian, tidak juga penampilan kalian, tapi Dia melihat hati kalian.”

Jika ada ketulusan untuk mendo’akan sesama, antara lain dengan kalimat dan bahasa yang sakral dan menggembirakan mereka, maka semoga itupun bagian dari perbuatan baik seorang Muslim kepada saudara-saudara non-Muslim. Setidaknya seorang Muslim yang mengucapkan salam kepada non-Muslim, menunjukkan etiket sopan santun (tathawwu, ataupun adab), ketika memulai terlebih dahulu.

Dan ketika berbicara, ia ingin mengikuti perintah Allah, “Dan berkatalah yang baik kepada semua manusia, “ dan mengikuti teladan Nabi, “Sebarkanlah Salam kepada siapa saja, baik yang kalian kenal maupun yang kalian tidak kenal,”, “walaupun ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Wallahu’alam

Sumber:

  1. https://ibtimes.id/mengucap-salam-kepada-non-muslim-1-aqidah-atau-muamalah/
  2. https://ibtimes.id/mengucap-salam-kepada-non-muslim-2-pandangan-alquran-dan-ulama/
  3. https://ibtimes.id/mengucap-salam-kepada-non-muslim-3-apakah-bidah-menurut-hadis/
Previous Post

Bagaimana Membentuk Generasi Berkeadaban?

Next Post

Langkah Kecil Hijaukan Sekolah

RedaksiKS

RedaksiKS

Kalimahsawa.id hadir atas kesadaran bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan bahwa keragaman tak harus menjadi keseragaman. Dalam konteks keindonesiaan, Negara Pancasila merupakan titik temu pemikiran antara keislaman, kemoderenan dan keindonesiaan secara harmonis.

Next Post
Langkah Kecil Hijaukan Sekolah

Langkah Kecil Hijaukan Sekolah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Islam adalah agama yang universal. Artinya segala sesuatu yang diatur dalam syariat Islam itu bukan hanya di tujukan untuk orang-orang muslim

    Tanya Jawab Agama: Islam Rahmatan lil ‘Alamin

    651 shares
    Share 260 Tweet 163
  • Gerakan Pembaruan Sultan Mahmud II

    306 shares
    Share 122 Tweet 77
  • Kerumitan Dunia

    255 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Piagam Madinah (صحيفة المدينة)

    188 shares
    Share 75 Tweet 47
  • Adab Salam Terhadap Pemeluk Agama Lain

    147 shares
    Share 59 Tweet 37
Filsafat Al juwaini

Al-Juwaini, Imam Besar Makkah dan Madinah

Januari 19, 2021
Filsafat adalah barang yang ditakuti. Ini yang masih terus menggejala di kalangan kaum Muslim hingga dewasa ini. filsafat adalah awal kebangkitan peradaban

Muhammad Iqbal: Filsafat dan Agama itu Selaras!

Januari 17, 2021
toleransi aswaja

Paham Aswaja: Mengakhiri Intoleran hingga ke Akarnya

Januari 16, 2021
  • Tentang Kalimahsawa.id
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist