Membahas persoalan dunia pendidikan dan realitas keumatan di Indonesia merupakan bahasan dunia yang seakan tidak pernah akan ada habisnya. Betapa tidak, karena cakupan dimensinya selalu terkait dengan dimensi yang lainnya.
Seperti dimensi ekonomi, budaya, sosial, agama termasuk juga di dalamnya dimensi politik. Semuanya memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk kerangka dan pola, terutama di dalam dunia pendidikan.
Sudah menjadi sebuah kewajaran, adanya fenomena pendidikan yang terkait dengan aspek lain tersebut, tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seharusnya dunia pendidikan mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan yang ada di berbagai aspeknya.
Bukan justru dunia pendidikan malah menjadi sumber masalah baru yang penuh kontroversial. Oleh karena itu, dari sanalah seharusnya pendidikan digerakkan dengan arah tujuan yang tepat, sehingga menghasilkan pola pelaksanaan pendidikan yang tepat pula.
Indikasinya akan melahirkan generasi lulusan yang solutif atas berbagai persoalan dan mencerahkan bagi kehidupan.
Persoalan lain yang hari ini sering muncul di dalam dunia pendidikan adalah pendidikan hanya diarahkan pada program yang terlalu materialistis dan pragmatis. Bukan salah memang, kepentingan pragmatis dan materialistis ada di dalam dunia pendidikan. Tetapi menjadi masalah, jika kedua hal itu menjadi inti di dalam pelaksanaan pendidikan.
***
Inti pendidikan yang seharusnya mewujudkan insan manusia yang sempurna baik lahir maupun batin, karena mengedepankan fungsi nilai dan norma, menjadi melenceng arahnya, jika arah tujuan pendidikan hanya sekedar berorientasi pada dua hal itu (bisa juga dengan istilah lain: materi dan gengsi).
Pendidikan adalah dunia yang menjadi wahana bagi peserta didik untuk belajar dan melatih diri, sederhananya demikian. Lebih lanjut dengan adanya kedua kegiatan inti tersebut di dalam dunia pendidikan diharapkan akan menghasilkan lulusan yang cerdas dalam berbagai ilmu dan terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut.
Hal inilah yang nantinya akan bermanfaat dalam upaya penyelesaiaan berbagai persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Entah itu persoalan sosial, ekonomi, budaya, agama maupun politik di negara ini. Yang pasti sangat tepat keberadaannya di tengah-tengah masyarakat multidimensi seperti Indonesia.
Di lain sisi, pelaksanaan pendidikan bukanlah bagaimana seorang pendidik mampu membuat paham akan suatu ilmu. Tetapi bagaimana seorang pendidik mampu menamamkan rasa cinta terhadap ilmu. Karena apabila orirntasi belajar adalah “cinta ilmu”, maka akan mambuat siswa cinta pada dunia keilmuan.
Dampak baiknya, membuat siswa belajar tanpa paksaaan, membaca tanpa disuruh. Dan apabila mereka berhasil, mereka akan merasa bahagia dengan hasil yang diraihnya. Bukan kekecewaan atau kesedihan apabila materi dan pekerjaan tidak tercapai.
Apalagi ditambah, tajamnya ketimpangan yang terjadi sekarang ini di dalam dunia pendidikan, tentu harus segera ditemukan solusinya. Sebagai contoh persoalan itu adalah terjadinya dikhotomi antara sesuatu yang materialistis dan trasenden dalam pendidikan.
Artinya berpisahnya antara pemahaman lahir dan batin, pendidikan yang kurang mengindahkannya moral dan nilai, kepentingan politik terlalu tajam di dalam pendidikan, serta perilaku hilangnya budaya ketimuran (baca: terutama budaya malu) yang sudah tergerus budaya kebaratan (westernisasi).
Transformasi Pendidikan
Indonesia yang kaya dengan berbagai sumber daya dan budaya, nampaknya hanya sebutan yang seakan tidak pernah berujung pada pensejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini mungkin, karena selama ini ada yang salah dalam pola pendidikan yang dilaksanakan di negara ini.
Pendidikan yang seharusnya sebagai pintu awal memasuki sebuah peradaban dan pendidikan yang sewajarnya sebagai wadah berbagai solusi dari berbagai persoalan, hendaknya mampu berperan dengan baik dan mampu menjadi pusat peradaban di sebuah negara.
Apabila kita melihat di negara-negara maju betapa pendidikan selalu menjadi pusat peradaban dan pusat penemuan solusi terhadap masalah-masalah dasar di suatu negara. Maka, nampaknya di Indonesia perlu ada semacam kerangka pendidikan atau “epistemologi pendidikan” yang tepat untuk diterapkan agar terwujud generasi yang mencerdaskan dan solutif bagi berbagai persoalan kebangsaan dan ke-Indonesiaan.
Agus Purwanto, D.Sc salah seorang dosen di ITS Surabaya, lulusan Universitas Hiroshima Jepang pernah menyampaikan, bahwa kerangka keilmuan yang diterapkan di dalam dunia pendidikan Indonesia dirasa kurang tepat. Hal ini disebabkan karena lulusan yang dihasilkan hanya bisa menjadi pemakai suatu produk, belum bisa menjadi pembuat suatu produk.
Dengan demikian, hal inilah yang menyebabkan kenapa negara Indonesia menjadi pasar yang sangat menguntungkan bagi produk-produk impor dari berbagai negara. Sederhananya pendidikan lebih tajam arahnya pada dunia pasar dan konsumrisme.
***
Contoh sederhananya hp, laptop, televisi dan sepeda motor hampir kebanyakan didominasi oleh produk dari luar negeri. Kita akrab dan sangat dekat dengan barang-barang di atas, tetapi kita baru bisa menjadi pemakai (konsumen).
Belum pernah tahu bagaimana cara kerjanya, bagaimana membuatnya, apalagi sampai mengetahui bagaimana menciptakannya. Paling jauh kita hanya bisa menjadi perakit dan pembelajar saja, belum bisa menjadi pembuat dan pencipta.
Hal inilah persoalan sederhana yang rasanya sangat perlu menjadi fokus di dalam dunia pendidikan. Di mana hal itu menunjukkan bahwa pendidikan perlu ada pelurusan jalan sebagaimana mestinya. Pendidikan yang memiliki kerangka epistemologi untuk bisa membuat, menciptakan, dan menemukan sebuh temuan baru.
Dan seperti itulah seharusnya orientasi kurikulum yang diterapkan di dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya sekedar menjadi pemakai, paling jauh perakit. Karena hal inilah yang menyebabkan dunia pendidikan Indonesia masih kalah saing, bahkan dengan negara tetangga sendiri seperti Malaysia dan Singapura.
Selanjutnya, dunia pendidikan harus diorientasikan pada tumbuhnya kesadaran akan pentingnya nilai tambah segala sesuatu (baca: sumber daya). Sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. B.J. Habibie (Presiden RI ke-3), bahwa negara kita menjadi pengekspor barang mentah dengan jumlah yang sangat banyak dengan harga yang sangat murah.
Tetapi di lain sisi kita membeli barang dari luar negeri (impor) yang sudah jadi (barang jadi), meskipun dengan jumlah barang sedikit tetapi dengan harga yang sangat mahal. Beliau mengatakan, kenapa terjadi perbedaan jumlah dan harga yang demikian? Karena di sana ada pengolahan nilai tambah barang yang berbeda. Dan nilai tambah itu dibentuk di dalam “pendidikan”.
***
Pendidikan yang mencerahkan begitulah sederhannya yang seharusnya menjadi bentuk trasnformasi dunia pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang berorientasi pada sikap hidup untuk mampu menjadi pencipta dan pembuat.
Serta lebih penting mampu menambah nilai yang tepat guna suatu barang dalam proses pengentasan berbagai persoalan yang ada. Pendidikan yang mencerahkan dan pendidikan yang pada akhirnya mampu mensejahterakan seluruh eksponen bangsa.
Hasil akhirnya akan tercipta lulusan insan manusia yang berkarakter, beradab dan cerdas dengan ilmunya, serta terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut di masyarakat. Sehingga mampu menjadi solusi dari berbagai persoalan, termasuk di dalam persoalan ekonomi, politik, budaya, agama dan hukum serta persoalan yang lainnya.
Itulah hakikatnya pendidikan yang solutif, pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mampu keluar dari berbagai belenggu persoalan kehidupan.
Termasuk pendidikan yang nantinya sangat tepat diterapkan di tengah-tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia dengan berbagai keanekaragamannya untuk bisa hidup dengan kedamaian. (Dartim Ibnu Rushd).
Sumber Ilustrasi: ok.news.co.id