Sebagaimana kita ketahui konflik panas antara Palestina dan Israel bukanlah konflik yang pertama kali muncul di dunia. Melainkan pertempuran sengit yang telah berlangsung sejak dahulu hingga sekarang dan sukar terprediksi kapan akan selesainya. Konflik tersebut telah memakan banyak korban jiwa, memorak-porandakan bangunan, merusak infrastuktur, perekonomian dan bahkan masa depan suatu bangsa.
Tantara Israel yang terkenal bengis dan tak berperi kemanusiaan bukan hanya menyerang warga sipil palestina, namun juga membabat habis seluruh lapisan warga pelestina mulai dari lansia, orang dewasa, hingga balita baik laki-laki maupun perempuan tanpa adanya rasa iba. Hal tersebut tentunya mengundang simpati dan kepedulian seluruh pasang mata yang menyaksikan berita tersebut terutama umat muslim di penjuru dunia. Karena hal tersebut bukan hanya soal hak asasi manusia tetapi juga menyangkut solidaritas sesama umat beragama.
Tinjauan Teologis : Mengapa Tanah Palestina Jadi Rebutan?
Latar belakang pertempuran sengit dua negara ini salah satunya adalah soal perebutan tanah Palestina. Al-Quds sebagai salah satu nama kota di Pelestina sebagai kota suci bagi tiga agama besar dunia yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Ketiga agama ini tentu memiliki dasar yang kuat mengapa mempertahankan al-Quds dengan sebegitu gigihnya. Pertama, dalam agama Islam Masjid al-Aqsa yang terletak di kota al-Quds merupakan kiblat pertama bagi umat islam di seluruh penjuru dunia.
Selain itu, alasan lain mengapa tempat ini disakralkan ialah karena Rasulullah Muhammad Saw pernah melakukan perjalanan isra mi’raj dari masjid al-haram ke masjid al-Aqsa yang terletak di wilayah ini. Hal tersebut juga termaktub dalam ayat pertama surat al-Isra’. Demikianlah alasan yang membuat umat islam yakin bahwa bumi Palestina adalah bumi para nabi yang suci. Dan juga mengandung situs sejarah yang harus dijaga dan dipertahankan hingga hari kiamat kelak.
Kedua, dalam sejarah agama Kristen bahwa umat Nasrani meyakini bahwa Yesus dimakamkan di Palestina. Adapun makam tersebut diklaim oleh mereka berada didalam gereja makam kudus (The Holy Sepulcher) yang diyakini keberadaannya di kota tua yang bernama al-Quds. Selain itu mereka juga meyakini bahwa kunci gereja The Holy Sepulcher dipercayakan penjagaannya pada keluarga muslim Palestina.
Sebagaimana umat Islam, umat Nasrani ikut serta memperjuangkan al-Quds karena meyakini tempat tersebut kudus berdasarkan doktrin agama mereka. Kemudian, menurut umat yahudi yang meyakini bahwa The Tample of Solomon (kuil sulaiman) terletak di Palestina. Itulah latar belakang teologis mengapa tanah Palestina jadi rebutan oleh tiga agama. Ketiga agama tersebut memiliki argumentasi yang kuat mengenai tempat tersebut berdasarkan doktrin keagamaan masing-masing. Lantas jika melihat dari sudut pandang teologis siapakah yang berhak mengelolanya?
Tinjauan Sejarah Tentang tanah Palestina
Setiap agama memiliki argumentasi teologis yang kuat mengenai tanah palestina. Maka apabila ketiganya memiliki klaim yang kuat, mari kita bahas dari sisi kesejarahan. Menurut sejarah islam, penduduk asli Palestina adalah suku arab yaitu bangsa Kan’an yang merupakan keturunan nabi Nuh As. Kemudian penduduk setempat menamai daerah tersebut dengan kata فلسطيون “Filsthyun” yang berasal dari kata “palah”.
Orang-orang dari Yunani dan Romawi kuno, tempat asal sebagian pendatang ke Ardhu Kan’an menambahkan kata “n” (nun), dengan alasan untuk kombinasi dalam penyebutannya. Sehingga mereka kemudian menyebutnya dengan “Filistin”. Maka di pakailah nama dan bangsa Filistin menggantikan nama dan bangsa Ardhu Kan’an yang sebelumnya telah di pakai sejak lama.
Sedangkan pada zaman modern nama tersebut di kenal dengan nama Palestine atau Pelestina jika dalam Bahasa Indonesia. Wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (Dinasti Utsmaniyyah). Setelah runtuhnya kekaisaran Utsmaniyah dalam perang dunia I, maka sejak saat itu bangsa eropa berambisi untuk mewarisi peninggalan Turki Utsmani.
Sejak saat itu, sekitar tahun 1876 orang-orang Yahudi di izinkan masuk ke palestina. Selain itu bangsa eropa juga mendirikan konsulat-konsulat yang memiliki tugas utama dalam intervensi urusan Turki Utsmani. Dan secara bertahap mengendalikan al-Quds di mana hal itu terlihat jelas dalam kepemilikan tanah dan real estate, pembangunan gereja, sekolah, rumah sakit dan upaya untuk merusak hubungan baik antar sekte.
Saat palestina di kuasai Yahudi mereka memiliki konsep yang bernama kaddos yang memiliki arti pelarangan bagi yang tidak di anggap suci untuk memasukinya. Adapun perlakuannya saat ini saat menguasai Palestina, Yahudi tidak memberikan hak-haknya secara utuh terhadap umat kristiani dan umat muslim.
Adapun saat Palestina di kuasai oleh umat Kristen, Yahudi tidak di perbolehkan masuk kedalam tanah suci. Sedangkan saat Palestina di kuasai oleh umat islam, pada masa Khalifah Umar, umat islam tidak di perbolehkan mengambil alih rumah orang Kristen. Umar juga mengizinkan umat Yahudi asal Tiberias untuk tinggal di Palestina. Asalkan mereka membangun rumah di tempat yang belum di miliki oleh siapapun. Bahkan sikap umat islam yang demikian baik terhadap umat Kristen dan Yahudi mendapat pujian dari Karen Amstrong.
Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Palestina
Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam pembahasan sebelumnya, Palestina merupakan wilayah pecahan Turki Utsmani. Maka apabila di tinjau dari peraturan internasional yang mengatur perpecahan entitas pemerintahan akibat perang dunia satu, Maka Liga bangsa-bangsa menyatakan dalam konvenan nomor 22 tahun 1919 bahwa pecahan Turki Utsmani yang di dalamnya termasuk Palestina adalah wilayah yang cukup berkembang dan layak di akui sebagai sebuah negara.
Oleh karenanya, LBB memberi mandat kepada Inggris pada waktu itu untuk mendampingi wilayah tersebut hingga siap berdiri sendiri menjadi sebuah negara. Ini menandakan bahwa rakyat Palestina berhak atas penentuan nasib (self-determination) untuk lepas dari Inggris. Artinya, berdasarkan undang-undang tersebut setelah perang dunia I kepemilikan wilayah Palestina adalah milik bangsa Palestina itu sendiri, bukan berpindah kekuasaan pada inggris apalagi ke tangan zionis.
Maka di antara tiga tinjauan yang meliputi sudut pandang teologi, histori maupun hukum internasional yang di nilai paling objektif dan dapat di terima oleh masyarakat luas ialah berdasarkan sudut pandang hukum internasional. Demikian dapat di ambil kesimpulan bahwa yang paling berhak mengelola tanah palestina adalah bangsa palestina itu sendiri.
Penulis : Khulanah (Alumni Mahasantri PUTM Jogja)
Editor : Izzul Khaq