Dunia telah mengalami perubahan yang sangat drastis. New era (era Baru) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan realitas sosial yang telah terjadi, yakni masifnya globalisasi dalam ruang lingkup perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi khususnya digitalisasi telah mencapai puncaknya, platform-platform sudah banyak bermunculan, Artificial Intelegent (AI), serta media sosial yang hadir dengan fitur baru. Tentunya, dibalik euforia itu banyak juga berkembang masalah-masalah baru dalam dunia digital dan media sosial, yang tentu berdampak dalam kehidupan nyata.
Islam, sebagai agama dakwah yang memiliki konsep nilai-nilai humanis, memiliki sebuah anjuran yang berlaku, sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadist. Bermedia sosial hari ini sama dengan tesis manusia dalam satu dimensi. Kata Herbert Marcuse tentang karakter “Manusia satu dimensi” dari masyarakat modern saat ini yang berbasis pada industri budaya besar. Produktivitas dengan demikian merusak pertumbuhan dan perkembangan kebutuhan manusia.
Bagi Herbert Marcuse, ada tiga ciri utama masyarakat industri modern yang dapat kita lihat; Pertama, masyarakat modern terdorong oleh teknologi. Kemajuan yang terjadi pada aspek teknologi dan manusia mengalami perluasan yang terjadi tidak hanya di satu wilayah tertentu saja, namun di banyak wilayah. Kedua, masyarakat modern telah menjadi masyarakat yang irasional. Hal-hal seperti ini terjadi karena adanya kombinasi antara produktivitas dan degradasi. Ketiga, masyarakat modern telah menjadi masyarakat yang homogen. Masyarakat modern adalah masyarakat yang segala sesuatu dalam kehidupan terfokus pada satu tujuan; mempertahankan sistem yang sudah mapan.
Tentunya dari berbagai hal yang ada mengenai satu dimensi ini berpusat pada teknologi terutama dalam gadget atau smartphone. Aplikasi, kontent, informasi, dan opini telah tersedia di dalam layar kotak tersebut. Beragama kemudian menjadi inderection (jalan yang tidak langsung) kita berposisi di dua tempat, yakni, dunia maya dan dunia nyata. Mengenai prinsip beragama digital tersebut ada salam filosofi dari Sunan Kalijaga yang berbunyi Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli.
Sebuah Filosofi Keberagaman dan Pertengahan di Era Teknologi
Sunan Kalijaga, merupakan seorang pendakwah yang ulet dalam mendakwahkan nilai-nilai keislaman. Ciri khas dari beliau adalah berdakwah dengan menyesuaikan budaya yang ada. Sunan Kalijaga tidak hanya berusaha mengoreksi kebudayaan yang ada, namun juga menawarkan penafsiran budaya yang tidak lepas dari imajinasi masyarakat saat itu. Skenario lakon wayang carangan lahir sebagai salah satu tafsir karya Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dalam nasehatnya mengatakan, “Anglaras ilining banyu angeli, ananging ora keli, Uninga sucining gandaning nabi”. Kata-kata Sunan Kalijaga ini sedikit banyak mengandung arti bahwa manusia harus mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan zaman ibarat air yang selalu mengalir.
Tapi jangan mengikuti arus. Arus dalam arti dapat dikontekstualisasi dengan arus media sosial. Kita harus memahami dalam dunia digital semua berhak memberikan ekspresi dan kebebasannya, untuk mengunggah, mengomentari, like, dislike, sampai memblokir. Tetapi Islam memberikan pernyataan yang sejalan dengan nasehat Sunan Kalijaga, yakni bersikap Wasathiyah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143
وَ كَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةَ وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al Baqoroh: 143)
Dalam filosofi dan dalil tersebut ada titik temu dalam beragama di media sosial. Wasathiyah dalam dunia digital termasuk yakni dengan cara mencermati, menelaah, mengkritisi, memilah, memilih, konten dan informasi yang beredar. Menemukan jalan tengah yang tepat, dan benar tidak serta merta meyakini, mengklaim paling benar. Kemudian meyakini daripada itu di media sosial kita juga belajar toleransi akan sebuah perbedaan pendapat.
Tetapi dalam kata Ananging Ora Keli, yang ditekankan maknanya adalah pengendalian diri akan arus media dan teknologi yang besar. Kita tidak bisa menafikan keberadaanya, tetapi seberapa jauh kita dapat berselancar tetapi tidak terjerumus dan hanyut dalam dampak negatif dari media dan teknologi. Pentingnya untuk menggali kembali nilai- nilai yang ada dalam keislaman, sebagai benteng yang kuat agar kita tidak mudah terpengaruh oleh hoax, sara’, cyberbullying, deviasi digital lainya. Islam hadir di sini adalah agama yang ramah digital. Bagaimana mengelola keberagaman itu dalam suatu bentuk diskursus yang konstruktif itulah yang sulit. Sekian.
Editor: Siti Atqiya