Wacana yang mengangkat tema dan isu tentang perempuan banyak ditemui. Berbagai aspek dari perempuan bisa dibahas, dari mulai tubuh, peran, sampai pemikiran. Wacana tentang perempuan memang selalu menarik dibahas. Bukan tanpa sebab atau tidak ada bahasan lain, namun karena memang banyak polemik kontroversial tentang perempuan, lebih-lebih perempuan dan feminisme.
Dari berbagai polemik terkait perempuan, kadang kala sering ditemui kekekeliruan definisi dan berbagai persepsi yang nyatanya tidak sesuai dengan konsep dari masing-masing istilah yang dipahami. Sebenarnya apa yang terjadi di antara perempuan, Islam dan feminisme? Tulisan ini mencoba menyatukan definisi dan persepsi serta mengungkapkan masalah apa yang terjadi.
Definisi Perempuan, Gender dan Feminisme
Sebelum membahas lebih jauh tentang perempuan apalagi terkait feminisme, perlulah kita menyatukan definisi dulu terkait apa itu perempuan? Apa itu gender? Apa itu feminisme? Hal ini penting untuk menyatukan gagasan yang sama dalam pembahasan selanjutnya. Banyaknya kekeliruan yang terjadi terutama dalam hal definisi dapat berefek tidak bertemunya titik permasalahan dan solusi yang bisa ditawarkan.
Dalam ilmu biologi, individu yang bernama manusia (homo sapiens) memiliki 2 jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Mereka dibedakan secara fisik. Laki-laki adalah manusia yang memiliki zakar, alat kelamin yang dapat dan memproduksi sperma serta dapat membuahi sel telur wanita.
Baca Juga: Ahmad Khan: Umat Islam Tertinggal Karena Tidak Punya Ilmu
Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur, disebut vagina, serta perbedaan yang menonjol di bagian dada yang dengan bagian itu dapat menghasilkan susu untuk menyusui bayi. Alat-alat fisik tersebut secara biologis melekat baik pada perempuan maupun laki-laki. Ini yang disebut sex atau jenis kelamin.
Mansour Faqih menegaskan bahwa fungsi sex tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak berubah, terkecuali sesuatu hal yang atas kesadaran sendiri mengubahnya misalnya, dilakukan “operasi kelamin”. Itupun hanya dapat mengubah bentuknya, dan tidak dapat mengubah fungsi kodratnya. Bentuk fisik yang melekat itu merupakan pemberian atau ketentuan biologis atas kekuasaan Tuhan (kodrat alamiah).
Lalu Bagaimana dengan Gender?
Gender adalah konstruksi sosial dan kultural perihal peran laki-laki dan perempuan di tengah kehidupan sosial. Misalnya perempuan dianggap lemah lembut, emosional, tampak aura kasih sayang dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dipersepsi sebagai manusia (gentleman), kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Hal itu merupakan bentukan sosial bukan secara kodrati, bisa berubah-ubah setiap zaman dan tempat.
Gender tidaklah melekat dan menjurus ke jenis kelamin, karena ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Begitu pula ada laki-laki yang lemah lembut, emosional, tampak aura kasih sayangnya dan sebagainya. Jadi gender berupa sifat sifat yang bisa semua orang dapati,dan bisa dipelajari serta dilatih.
Dari konstruk sosial yang dianggap final, akhirnya berimplikasi pada pembagian peran sesuai hasil konstruksi sosial itu. Anggapan bahwa semua perempuan dianggap lemah sedangkan laki-laki kuat tidak bisa dibenarkan. Anggapan bahwa semua laki laki dianggap mampu menyelesaikan masalah dan perempuan yang memperburuk masalah juga tidak benar. Namun hal itu masih sering terjadi.
Gerakan Feminisme
Akhirnya penempatan sesuai gender itu menyebabkan perempuan hanya di ranah domestik, dan laki-laki di ranah publik. Dan itu yang disebut ketidakadilan. Dominasi laki-laki (budaya patriarki) menghalangi perempuan untuk mengeksplor diri di ranah publik ini memunculkan reaksi yakni gerakan feminisme.
Yunahar Ilyas mengambil pengertian feminisme dari Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis dari Asia Selatan, mereka mendefinisikan bahwa feminisme adalah “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut”.
Gerakan feminisme diartikan sebagai suatu bentuk paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Agenda utama feminisme adalah mengusahakan kehidupan yang adil bagi perempuan.
Islam Merekonstruksi Peran Perempuan
Dalam kilasan sejarah, peran perempuan sangat minim ditemukan di ruang publik. Perempuan berperan sebagai budak, dan hanya tampil di ranah-ranah domestik di belakang layar kemegahan sejarah. Tidak ada akses untuk menggoreskan tinta emas. Yang banyak kita temui dalam deretan nama orang berpengaruh di dunia adalah laki-laki.
Salman Harun dalam bukunya menyebutkan bahwa pada zaman jahiliyah, di antara kabilah-kabilah Arab ada yang merasa hina sekali ketika memperoleh anak perempuan, dan karena itu mereka segera mengubur bayi perempuan itu begitu muncul ke dunia.
Baca Juga: Ada Apa dengan Aisyah Istri Rasulullah ?
Hal itu menjadi sejarah kelam yang memprihatinkan. Perempuan memiliki posisi yang sangat rendah, tidak memiliki hak waris, malah bisa diwariskan, diperjualbelikan, ditindas, diremehkan, termarjinalkan, terdeskriminasi, dan tidak berharga. Kemudian Islam hadir, mengkonstruks ulang peran perempuan. Islam mengembalikan perempuan kepada posisi dia sebagai manusia yang setara dengan laki laki.
***
Setelah Islam hadir, memiliki anak perempuan tidak dianggap sebagai aib sehingga tidak dikubur hidup-hidup. Perempuan boleh menjadi saksi dan berhak atas sejumlah warisan, meskipun keduanya hanya bernilai setengah dari kesaksian atau jumlah warisan yang berhak diterima laki-laki.
Hal tersebut dinilai sangat luar biasa di masa itu dan boleh jadi dianggap tidak adil dalam konteks sekarang. Namun pada prinsipnya jika dilihat pada konteks ketika perintah tersebut diturunkan, ini mencerminkan semangat keadilan. Menurut Asghar Ali Engineer, itu adalah suatu revolusi besar di mana Nabi Muhammad Saw telah memprakarsai melakukan perubahan dalam masyarakat Mekkah secara menyeluruh.
Perempuan, Islam dan feminisme
Secara bertahap Islam menyetarakan laki-laki dan perempuan. Namun setelah masa hidup Nabi, praktik pengamalan ajaran Islam tentang kesetaraan ini justru minim terlihat dalam realita sehari-hari. Masih banyak yang tidak memahami dan malah meletakkan kembali posisi perempuan sebagai subordinat.
Dominasi laki-laki dengan pemahaman budaya patriarki terus tumbuh subur di tengah masyarakat. Dan dalil teologis menjadi legitimasi bagi budaya itu dengan ditambahkan tafsiran yang sarat akan pengaruh budaya patriarki, membuat agama terkesan menjadi salah satu musuh bagi feminisme.
Feminisme yang lahir dari rahim Barat ini dianggap berbeda jalur dari keyakinan Islam. Feminisme menjadi sebuah istilah yang mewakili yang sekuler. Oleh sebab itu, dari kalangan Islam tidak sedikit yang tidak menerima, menentang dan menolak mentah-mentah adanya feminisme.
Pembebasan Perempuan dari Diskriminasi
Dalam penolakannya, feminisme dianggap merusak ajaran Islam dengan kesetaraan gendernya. Padahal dalam gerakan perempuan ini tidak hanya tentang kesetaraan gender. Namun juga tentang pembebasan perempuan dari diskriminasi dan pembelaan terhadap korban kekerasan seksual yang banyak melibatkan kaum perempuan.
Kesadaran atas tidak adanya pembagian peran yang seimbang, masih adanya deskriminasi serta maraknya kekerasan seksual yang tidak ditindak tegas dan adil ini. Menyebabkan masih banyaknya aktivis aktivis perempuan yang masih berteriak memperjuangkan derajat emansipasi untuk menyuarakan keadilan.
Baca Juga: Kedudukan Perempuan dalam Islam
Feminisme menyuarakan bahwa perempuan mampu memberikan peran di ranah publik sama seperti halnya laki-laki. Hal inipun banyak disalahfahami. Orang yang menolak feminisme menganggap ini adalah eksploitasi terhadap perempuan. Namun, sudah banyak pembuktian bahwa gerakan ini mampu mengubah cara pandang dunia terhadap perempuan.
Sumber Ilustrasi: magdalene.co