Work-life balance, dong! begitu kalimat yang sering terdengar dari milenial jaman sekarang. Jika tidak diseimbangkan, seolah pekerjaan adalah kata benda yang paling dekat padanannya dengan stress. Benar juga, stres kerja memang sebuah fenomena gunung es yang hanya terlihat bagian kecilnya saja. Banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, berisiko membuat semakin meluasnya masalah stres kerja dengan segala dampak negatifnya di masyarakat. Beban kerja yang semakin kompleks, lingkungan kerja yang toxic, atasan yang bossy, siapa yang tidak stres.
Jika kita tarik persentase mayoritas penduduk Indonesia, dari hasil Sensus Penduduk 2020, milenial menempati posisi ke-dua sebanyak 25,87 persen. Generasi milenial telah mengalami berbagai peristiwa seperti kemuculan internet, berkembangnya media sosial, dan kesadaran terhadap lingkungan. Hal tersebut membuat generasi milenial memiliki sifat ambisius, kreatif dan berorientasi pada tujuan dengan kepercayaan dan rasa harga diri yang tinggi, serta tanggap teknologi.
Karyawan milenial dianggap sebagai orang yang berpendidikan tinggi, ambisius, dan berorientasi pada karier (Triyana Muliawati, 2020). Dengan karakteristik tersebut, diharapkan angkatan kerja milenial dapat lebih kompetitif dan produktif. Namun lagi-lagi, tampaknya stres kerja berbanding lurus dengan tingkat produktifitas. Oleh karena itu, stres kerja harus dikenali sedini mungkin untuk kemudian dikelola dengan benar.
Work-Life Balance
Work-life balance telah lama menjadi fokus perbincangan dalam dunia akademik dan kepengurusan organisasi. Work-life balance didefinisikan sebagai keseimbangan kerja dan kehidupan di mana seseorang terikat secara seimbang di antara tanggung jawab pekerjaan dan tanggung jawab dalam keluarga atau kehidupan. Work-life balance sebagai sebuah kepedulian dengan memberikan ruang lingkup bagi karyawanuntuk menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan tanggung jawab dan kepentingan di luar pekerjaan.
Ada tiga komponen penting dalam work-life balance menurut Denizia & Tri (2018); Keseimbangan Waktu, merujuk pada keseimbangan waktu yang diberikan untuk pekerjaan dan peran keluarga, sosial serta pribadi individu. Keseimbangan Keterlibatan, merujuk pada kesetaraan tingkat keterlibatan psikologis baik dalam pekerjaan maupun peran keluarga, sosial, serta pribadi individu. Karyawan atau pegawai menikmati waktu setelah pulang kerja serta terlibat secara fisik dan emosional dalam kegiatan sosialnya. Keseimbangan Kepuasan, merujuk pada keseimbangan tingkat kepuasan dalam pekerjaan dan peran keluarga, sosial, serta pribadi individu.
Kepuasan dari diri sendiri akan timbul apabila karyawan menganggap apa yang dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga.
Strategi Manajemen Stres Kerja
Dalam survey yang pernah dilakukan The American Institution of Stress tahun 2017, terdapat 80% karyawan milenial merasa stres terkait pekerjaan dan sebesar 29% karyawan milenial merasa kelelahan setelah bekerja. Stres kerja adalah kondisi di mana interaksi manusia dengan pekerjaannya menciptakan adanya ketegangan dan ketidakseimbangan fisik serta psikis yang memengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan (Gusti Yuli et al., 2018).
Manajemen stres merupakan kemampuan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena tanggapan. Adapun tujuan dari manajemen stres adalah mencegah timbulnya stres dari karyawan, untuk memperbaiki kualitas hidup karyawan agar menjadi lebih baik, serta untuk mencegah berkembangnya stres jangka pendek menjadi stres jangka panjang atau stres yang kronis.
Pendekatan individu dan pendekatan organisasional dapat menjadi strategi dalam manajemen stres ini. Dengan pendekatan individu, karyawan dapat melakukan tanggung jawab pribadi untuk menurunkan tingkat stres. Misalnya dengan meningkatkan latihan fisik dan relaksasi, memperluas jaringan dukungan sosial, memakan makanan yang sehat, serta bersantai.
Sedangkan untuk pendekatan organisasional dapat dilakukan dengan peningkatan seleksi karyawan, penempatan pekerjaan, pelatihan, meningkatkan keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, dan melakukan pemberdayaan.
Meningkatkan komunikasi organisasi secara formal dengan para karyawan dengan membuat program konseling atau bimbingan juga bisa dilakukan. Program ini untuk membantu karyawan agar dapat menangani masalah dengan baik. Lagi-lagi manajemen stres ini bisa teratasi jika dari milenial dan perusahaan sama-sama menerapkan work life balance.
Work-Life Balance untuk Manajemen Stres
Generasi milenial lebih menginginkan adanya work-life balance. Fenomena ini terjadi karena generasi milenial menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga maupun teman-teman mereka dan memiliki kepentingan pribadi di luar tempat kerja untuk bersosialisasi dan menyalurkan hobi. Work-life balance tidak lagi hanya menjadi fenomena budaya barat, namun mulai menjadi fenomena budaya timur yang disebabkan oleh globalisasi yang memengaruhi organisasi di seluruh dunia.
Work-life balance mengacu pada individu yang memiliki cukup waktu untuk memiliki keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti dapat menghabiskan waktu bersama anggota keluarga, mendapatkan waktu luang untuk bersantai, adanya komunikasi yang baik dengan rekan kerja, dan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Adkins (2019) mendukung temuan bahwa setiap individu memiliki keinginan atas keseimbangan hidup antara domain pekerjaan, keluarga, dan pribadi.
Work-life balance berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan. Saat karyawan memiliki kepuasan yang tinggi terhadap keseimbangan kehidupan dan pekerjaan mereka, hal tersebut dapat berpengaruh pada peningkatan kualitas performa atau kinerja karyawan tersebut sehingga mereka tidak mudah untuk stres.
Selanjutnya, pekerjaan ideal bagi milenial adalah pekerjaan yang sesuai dengan kepribadian mereka. Ketika milenial menikmati pekerjaannya, hal tersebut akan memberikan rasa kepuasan di lingkungan kerja dan di luar pekerjaan. Generasi milenial dalam bekerja tidak menjadikan pekerjaan sebagai prioritas dalam hidup, mereka lebih menghargai jam kerja fleksibel dan lingkungan kerja yang mendukung.
Work-life balance mampu memberikan manfaat untuk individu atau karyawan agar lebih produktif dan sehat dalam menjalani kehidupan pribadi dan profesional. Penerapan Work-life balance juga bertujuan untuk mengurangi work-life conflict, sehingga karyawan dapat menjalani peran lainnya.
Oleh karena itu, work-life balance akan tercapai jika karyawan tidak memiliki keluhan ataupun stres akibat pekerjaan. Work-life balance bisa menjadi sebuah kebijakan manajemen dan program yang dapat ditawarkan perusahaan kepada karyawan untuk mengurangi tekanan dan konflik multi peran ketika menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Dengan membantu karyawan mencapai work-life balance, maka akan berpengaruh pada perusahaan karena dapat meningkatkan kesehatan mental maupun kepuasan kerja karyawan.
Editor: Anisa K.