Mengamati penularan massif Covid-19 dan apa yang dirasakan masyarakat, maka pada dasarnya wabah ini memberikan dampak besar pada dimensi kesehatan fisik-biologis, ekonomi dan psikologis. Dan dikerucutkan dari tiga klasifikasi besar tersebut dampak besarnya bermuara pada dimensi psikologis.
Sebagaimana tulisan saya yang terbagi menjadi dua bagian (Bagian 1 dan Bagian 2) dan telah terbit di IBTimes.Id tentang Ketahanan Psikologis Menghadapi Virus Corona (2020), menjelaskan hal yang sama bahwa virus corona sangat berdampak, bermuara pada dimensi psikoogis.
Dalam tulisan itu pula, saya menyampaikan berdasarkan pengamatan bahwa seperti pemerintah belum melibatkan secara secara serius agar para psikolog dan pakar pengembangan diri terlibat massif dalam penanggulangan wabah virus Corona.
Covid-19 Menggerogoti Psikologis
Dalam tulisan itu pula, saya secara tidak langsung merekomendasikan kepada Pemerintah agar dimensi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, lembaga dan ormas keagamaan tanpa kecuali. Selain melalui tulisan, ini saya suarakan melalui forum diskusi online yang dilaksanakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) dan forum diskusi online PD Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bantaeng yang menghadirkan psikolog UIN Makassar.
Bagi saya, penanggulangan virus corona bukan hanya langkah preventif dalam bentuk dimensi medis-material-sosial semata: seperti social/physical distancing, kerja dan/atau berdiam di rumah, meliburkan anak sekolah, pakai masker dan bagi sembako.
Baca Juga: Gen E: Budaya Empati Milenial di Media Sosial
Namun dan ini kurang mendapatkan perhatian serius bagaimana memassifkan bentuk penyadaran bagi masyarakat untuk mengaktivisi modal teologis dan modal psikologis dalam dirinya. Fakta di lapangan tidak sedikit yang panik, strees dan dirasuki ketakutan yang berlebihan.
Teologi dalam Menyoal Covid-19
Terkait modal teologis secara umum itu relevan bagaimana memahami relasi positif antara agama (termasuk Allah) dengan manusia dan alam. Secara teologis sebagaimana dalam ajaran agama, akan mendapatkan pemahaman bahwa manusia diutus di muka bumi sebagai khalifah bukan tanpa alasan. Dan bukan sebagai hasil seleksi alam, sebagaimana teori Darwin. Manusia diutus di muka bumi memiliki kelebihan daripada makhluk lainnya tanpa kecuali virus Corona.
Secara teologis, manusia telah dibekali ruh ilahiah, akal, kehendak bebas dan bahkan telah dibekali pengetahuan ihwal tentang segala sesuatu (QS. Al-Baqarah/2:31). Modal teologis itu, merupakan modal utama dan terbesar dalam mengarungi samudra kehidupan sebagai hambah dan sebagai khalifah untuk menjalankan mandat kosmis di muka bumi.
Manusia tidak hanya hidup ̶ jika meminjam istilah Asratillah ̶ konteks vegetatif (nutritive, reproduksi dan tumbuh) maupun hidup dalam konteks animalia (instingtif, sensasional dan mobile). Manusia harus hidup dalam konteks ̶ terinspirasi dari Yudi Latif ̶ religio-spiritualistik.
***
Terkait konteks hidup yang terakhir ini dan hubungan dengan virus Corona Yudi Latif dalam artikelnya Spiritualitas Corona (2020) menjelaskan bahwa “Korona mendorong kita kembali ke jalan spiritualitas yang diabaikan, dengan menyinari relung hati keimanan insani. Bahasa Indonesia memiliki sebutan yang pas untuk kata iman itu, yakni “percaya”. Berasal dari kata “bercahaya”.
Tersirat pengertian bahwa orang beriman itu hatinya harus memancarkan cahaya; bahwa cermin hati yang kotor tak bisa memantulkan nur Ilahi dan tak bisa jadi wahana bercermin diri. Untuk membersihkan hati yang kotor diperlukan jalan spiritualitas. Dari bahasa Latin, spiritus, yang artinya “menyala” (menyalakan cahaya hati) atau “bernafas” (menyegarkan rongga jiwa”.
Keteladanan Moderasi
Jadi orang yang memiliki modal teologis idealnya mampu menjadi cahaya, suri teladan bagaimana menampilkan sikap dan perilaku terbaik di tengah-tengah wabah virus corona. Mampu memberikan contoh untuk tidak ekstrim jabariyah dan tidak pula ekstrim qadariyah.
Bukan hanya bertawakkal semata, apalagi sebagaimana dinarasikan oleh Hatib Rahmawan tawakkal sesungguhnya adalah model hidup minimalis, sangat minimalis. Dengan modal teologis dan dasar pemahaman agama yang baik akan mampu memadukan dzikir dan pikir; hati suci dan akal sehat.
Baca Juga: Haedar Nashir: Esensi Puasa itu Mengekang Hawa Nafsu
Selain modal teologis dalam diri kita telah built-in pula modal psikologis sebagaimana pernyataan Carl Gustav Jung menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua dimensi: fisiologi dan psikologi atau fisik dan psikis. Modal psikologis yang saya maksudkan antara lain adalah bahwa dalam diri manusia, ada kekuatan pikiran dan perasaan, frekuensi otak, mekanisme on-off DNA, kekuatan alam bawahsadar yang memiliki pengaruh dan menentukan seperti apa kehidupan yang sedang dirasakan dan akan dirasakan.
Modal psikologis ini dan hukum – hukumnya yang berlaku di dalam mikrokosmis (diri manusia) memiliki relasi dan korelasi positif dengan hukum alam yang berlaku di makrokosmos. Dan ini adalah satu kesatuan sunnatullah.
Semua Tergantung Niat
Dalam hukum Law of Attraction (LoA), Law of Spiritual Attraction (LoSA) sebagaimana digambarkan oleh Priatno H. Martokoesoemo (2008) bisa disimpulkan bahwa pikiran dan emosi itu bisa mempengaruhi apa yang ada di luar diri kita. Dalam kesimpulan riset Robert Brenda pikiran dan emosi bahkan bisa mempengaruhi mesin elektronik apalagi relasi lainnya.
Dari satu modal psikologis ini bisa memberikan gambaran bahwa pikiran dan emosi bisa menjadi pemantik atas dampak corona terhadap diri. Dr. Ibrahim Elfiky, ––penulis buku Internationl Bestseller Terapi Berpikir Positif –– mengatakan bahwa sesuatu datang ke dalam diri kita tanpa bertanya terlebih dahulu apakah anda suka/tidak. Tetapi sesuatu datang berdasarkan apa yang paling sering kita pikirkan. Di sinilah pula relevansinya “segala sesuatu tergantung daripada niat”.
Baca Juga: Rasyid Ridla (8): Tragedi Mahmal, Hadirnya KH Mas Mansur dalam Muktamar Alam Islami 1926
Dalam diri kita ada DNA yang dalam sains modern tidak lagi dilihat hanya dalam perspektif biologis dan material. Tetapi di dalamnya terdapat informasi dan di dalamnya berlaku mekanisme on – off DNA. Dalam mekanisme tersebut kita bisa menciptakan imunitas dalam tubuh dengan meng-ON-kan DNA positif.
Dan tentunya bermanfaat sebagai pencegahan Covid-19 dan sebaliknya bisa saja terjadi proses meng-off-kan DNA positif. Sehingga imunitas kita semakin lemah dan memudahkan Covid-19 menular dalam tubuh. Mekanisme on-off DNA Positif sangat dipengaruhi oleh pikiran positif, suasana hati dan lingkungan.
Doa: Pemicu Berfikir Positif
Doa mampu memantik pikiran positif dan suasana hati (QS. Ar-Ra’d/13:28) sehingga memberikan dampak lanjutan untuk meng-ON-kan DNA Positif untuk imunitas tubuh.
Dengan pemahaman yang baik terhadap agama. Apalagi Islam sebagai Rahmatan lil alamin dan pemahaman mendalam terhadap diri kita selaku manusia yang didalamnya telah built-in modal teologis dan modal psikologis. Maka dari itu kita akan mampu memiliki sikap positif, terbaik dalam menghadap wabah Covid-19.
Diri kita akan jauh dari kepanikan, jauh dari stress dan bisa memetik hikmah dari wabah virus corona sebagai bagian daripada rencana kosmis Tuhan. Sesungguhnya jika ditilik dari perspektif filosofi habits. Wabah virus corona selain memberikan dampak negatif bagi kesehatan fisik-biologis, ekonomi dan psikologis, ternyata wabah ini memberikan dampak positif bagi alam semesta.