Pada hari Kamis, 23 April 2020, Universitas Muhammadiyah Malang mengadakan Pengajian Menyambut Ramadhan 1441 H. Pengisi utama pengajian ini adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir. Pengajian ini diselenggarakan secara daring melalui video conference.
Sebagai pembuka, Haedar Nashir menyampaikan marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan Ramadhan. Menurutnya, Ramadhan bukan sekedar untuk dilalui dengan rukun syariat seperti biasa, namun harus masuk kepada hal yang substantif.
baca juga: Teologi Al-Maun Lintas Generasi
Haedar menegaskan bahwa kita harus menghadapi musibah dengan spirit iman yang lurus. Dalam Alquran surat Al-Hadid ayat 22 Allah berfirman bahwa “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Polemik Memahami Virus Corona
Sudah banyak pendapat dari segi ilmu pengetahuan dari musibah ini. Mengenai sebab-sebab datangnya virus, karakter virus, termasuk dampaknya dalam kehidupan kita. Dalam konteks Islam, masyarakat menjadi belajar bagaimana Islam memberi jawaban terhadap problem-problem yang sifatnya actual, termasuk dalam hal pandemi ini.
Ia melanjutkan bahwa masyarakat baru sadar ternyata Nabi SAW memiliki konsep karantina misalnya. Semua ini memberikan pelajaran atau hikmah untuk memantapkan keimanan kita. “Dimana letak esensi iman dalam menghadapi musibah? Pertama, kita semakin yakin terhadap kekuasaan Allah. Bahwa wabah terjadi karena sunnatullah, bahkan corona adalah makhluk Allah yang ketika ia hadir, kita harus menghadapinya layaknya manusia”, ujarnya.
Masyarakat harus menghadapi virus corona layaknya Abdullah (hamba Allah) yang lain. Dimensi iman itu dimensi yang tidak mudah karena pemahaman terhadap iman yang terbatas. Masih banyak masyarakat yang melihat musibah dengan nalar iman hitam-putih. Masyarakat seperti ini, menurut Haedar, selalu mengatakan “kenapa sama corona aja takut? Takut itu hanya kepada Allah”.
Haedar mengatakan bahwa ketika masyarakat dianjurkan untuk ibadah di rumah, mereka lalu mengkonfrontasi posisi masjid dengan bertanya “apakah masjid menjadi tempat penularan? Padahal masjid adalah tempat agung yang suci”. Masyarakat sering menyamakan khosyah kepada Allah dengan takut kepada corona. Mereka bermaksud memberi penilaian terhadap akidah orang, bahwa orang yang tidak ke masjid karena ingin memutus penyebaran corona dianggap sebagai tidak bertauhid.
Dalam posisi seperti ini iman perlu diberi pemahaman yang bayani, burhani, dan irfani, juga konsep tawakkal & sabar. Jika masyarakat tidak berhati-hati, menurut Haedar, masyarakat akan terjatuh pada paham jabariyah. Karena merasa kkuat iman, tidak mau melakukan physical distancing. Ketika kita tidak perlu pergi ke masjid, kita pergi ke masjid. Disaat seperti itu orang yang mencoba untuk ibadah dirumah dianggap menjauhi takdir Allah.
Kecerdasan Umar dan Iman Tanpa Ilmu
Haedar Nashir berpesan bahwa kita harus belajar kecerdasan iman kepada Umar bin Khattab. Ketika ia pergi dengan pasukannya, kemudian sampai pada suatu lembah yang ada wabahnya, Umar ingin pergi dari lembah itu. Kemudian Umar mendapatkan kritik dari salah seorang pasukannya, “bagaimana engkau menghindar dari takdir Allah?” Umar menjawab, “saya lari dari takdir Allah yang satu, menuju takdir Allah yang lain”. Ini adalah pemahaman iman yang situasional dan kontekstual.
Haedar Nashir juga memberikan kritik terhadap masyarakat yang memaknai musibah ini semata-mata dengan iman tanpa ilmu. Bahwa yang tau secara mendalam perihal musibah ini adalah para ahli kesehatan. Sayangnya, kita sebagai orang awam merasa tahu banyak hal. Banyak orang yang mempertanyakan ketika daerahnya belum terkena, kenapa kita harus menghindar? Mereka lupa bahwa menghindar itu adalah untuk mencegah, mumpung belum ada warga yang positif terkena virus.
Disini, ilmu tentang physical distancing, protokol kesehatan, dan karakter wabah tidak dipahami dalam posisinya, tetapi diukur dari pemahaman iman yang dangkal ilmu. Padahal kita diberi pemahaman oleh Alquran, yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
“Jangan bertindak tanpa ilmu, jangan berkata tanpa ilmu, karena nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Maka musibah ini menjadi hikmah untuk belajar memperdalam kembali iman kita yang lebih substantif. Di satu pihk, kita mengasah tauhid, di pihak lain, kita memahami sunnatullah yang itu juga ciptaan Allah”, tegasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini juga berpesan agar masyarakat mengambil pemahaman yang lebih bayani burhani dan irfani untuk sesuatu yang lebih meningkatkan kualitas hidup, kualitas iman, ilmu, dan amal. Merujuk pada Al-Baqoroh tentang perintah puasa, la’allakum tattaqun (agar kalian menjadi orang yang bertaqwa), itu tidak berarti masyarakat tiba-tiba menjadi takwa tanpa proses. Proses menghasilkan output. Maka, puasanya harus benar-benar puasa yang batin, tidak sekedar lahir.
Esensi Puasa
Para ulama menyebut bahwa puasa itu berarti al-imsak. Al-Imsak berarti menahan, menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Tetapi makna mendalamnya, menurut Haedar, adalah bagaimana manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya dalam menghadapi berbagai macam watak duniawi yang indrawi.
Manusia ini diberi dua sisi, yaitu nafsu yang cenderung pada takwa dan nafsu yang cenderung pada kejahatan. Puasa itu tidak bisa membunuh hawa nafsu yang buruk, dan hawa nafsu tidak bisa dibunuh. Tetapi dia bisa dijinakkan, diminimalisasi, dan diarahkan pada sesuatu yang ada pada tempatnya.
Makan minum adalah simbol indrawi dunia. Dan manusia memerlukan dunia. Apalagi sebagai khalifah di muka bumi. Dunia itu kan adna, sesuatu yang dekat. Makan, minum, materi, uang, kekayaan, kekuasaan, dan segala macamnya itu diperlukan dalam konteks masing-masing. Tetapi agama mengajarkan bagaimana cara meraihnya.
Menurut Haedar Nashir, yang diajarkan dari puasa adalah supaya ada ambang kecukupan dan tidak berlebihan dalam mengejar dunia. Inilah inti puasa. Puasa yang sukses adalah puasa yang sanggup menaklukkan hawa nafsu sebagai sumber dari segala macam keinginan duniawi.
baca juga: Kebetulan-Kebetulan dalam Novel The Celestine Prophecy
“Cara menyikapinya adalah dengan tawasuth. Dalam menghadapi musibah maupun bulan Ramadhan, jadikan keduanya sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan. Taqwa itu adalah segala puncak kebaikan seorang muslim. Elaborasinya bisa bermacam-macam, tetapi semua harus melalui proses riyadhah. Kalau mau output taqwa, jadikan puasa sebagai riyadhah tsanawiyah (olah jiwa tahunan). Dengan cara puasanya dihayati, bukan cara puasa orang awam. Tetapi puasa yang khawwash”, tutupnya.
Reporter: Yusuf R Yanuri