Ada 3 intelektual Islam terkekmuka yang tinggal di Amerika. Mereka adalah Fazlurrahman dari Pakistan, Ismail Raji Al-Faruqi dari Palestina, dan Sayyid Hossein Nasr dari Iran. Sayyed Hossein Nasr adalah yang paling muda diantara mereka bertiga. Faruqi lahir pada tahun 1921, Rahman pada tahun 1919, sedangkan Nasr lahir pada tahun 1933.
Sayyid Hossein Nasr lahir di Teheran, dari sebuah keluarga ahlul bait yang terpelajar. Ayahnya adalah seorang dokter sekaligus pendidik yang menjadi pejabat setingkat Menteri pada masa Reza Pahlevi. Di Iran, ia mendapatkan Pendidikan dunia timur yang penuh dengan sisi esoteris dan tradisi Islam yang kuat. Di sisi lain, ia juga menempuh Pendidikan di Barat. Sehingga, ia merasakan dua peradaban yang berbeda.
Di Iran, ia sempat belajar filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf kepada Thabathaba’i, ulama Syiah Iran dan penulis tafsir Al-Mizan. Nasr belajar dengan Thabathaba’i selama kurang lebih 20 tahun. Di Iran, ia mendirikan Husayniyah Irsyad Bersama Murtadha Muththahari dan Ali Syariati.
Namun, Muththahari Bersama Sayyid Hossein Nasr keluar dari Husayniyah Irsyad karena berseberangan pendapat dengan Ali Syariati. Hal ini disebabkan karena Nasr merupakan seorang pendukung Reza Pahlevi, rezim yang ditentang dengan sangat keras oleh Ali Syariati dan Khomeini. Pasca Meletus revolusi Islam Iran, Nasr memilih untuk menetap di Amerika.
Setelah tinggal di Amerika dan belajar di MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan Harvard University, ia belajar pemikiran-pemikiran Fritjof Schuon, Rene Guenon, dan lain-lain. Ia memperoleh gelar B. S dalam bidang fisika dan matematika, kemudian mendapatkan gelar M.A dalam bidang Geologi, kemudian dilanjutkan dengan belajar studi filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan. Ia belajar kepada HAR. Gibb, George Sarton, dan Bertrand Russel
Nestapa Manusia Modern
Salah satu konsentrasi Nasr adalah kritiknya terhadap dunia modern. Ia, sebagai orang Timur yang tinggal di pusat peradaban Barat, mengetahui secara mendalam bagaimana peradaban modern itu dibangun. Nasr memberikan analogi yang menarik tentang relasi manusia modern dengan alam.
Menurutnya, orang pra-modern memperlakukan alam seperti istri mereka. Yaitu dengan merawat sekaligus memanfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Sekarang, di era modern, manusia memperlakukan alam seperti memperlakukan PSK (pekerja seks komersial), yaitu dengan mengeksploitasi alam tanpa melakukan perawatan dan memberikan perhatian yang cukup.
Hal tersebut mengakibatkan manusia menghadapi banyak ketakutan. Di antaranya ketakutan terhadap krisis ekologi, kelangkaan air bersih, dan kelangkaan sumber daya alam. Padahal, manusia mengalami kemajuan. Namun, faktanya kemajuan tersebut tidak bisa membebaskan manusia dari rasa takut.
Baca Juga: Sebenarnya Alquran Menganjurkan Tidak Berpoligami
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Nasr menudingkan jarinya kepada Barat sebagai pusat peradaban dewasa ini. Barat melalui modernisme telah melepaskan nilai-nilai spiritualitas dari kehidupan. Barat telah menganggap bahwa alam terdiri hanya dari satu realitas saja. Sedangkan realitas ketuhanan yang ada dibalik itu dibuang jauh-jauh.
Manusia merasa mampu hidup dengan realitas keduniaan semata. Manusia tidak lagi mengakui realitas spiritualitas dan metafisika. Termasuk dalam sains, pandangan sekular tentang alam semesta menegaskan bahwa tidak ada jejak Tuhan dalam seluruh keteraturan alam. Sains dikembangkan untuk sains, bukan untuk mengenal dan mengetahui realitas ketuhanan.
Alam oleh manusia modern digambarkan secara mekanistik, seperti mesin yang bisa ditentukan dan diprediksi secara mutlak. Manusia menganggap bahwa mereka adalah kekuatan tunggal dalam mengatur alam. Hal tersebut menghilangkan penghambaan manusia kepada Tuhan, karena manusia telah menjadi Tuhan baru bagi alam.
Sayangnya, modernitas yang berasal dari Barat tersebut ditelan mentah-mentah oleh dunia Timur. Umat Islam modern, yang menjadi pengikut Barat, juga menjadi lupa terhadap identitas dirinya sendiri.
Kehidupannya berada di pinggiran terluar eksistensinya. Tidak berada di dalam pusat eksistensi. Sehingga ia merasa kering makna. Peradaban modern melupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan, yaitu dimensi spiritual.
Sufisme
Dalam rangka menanggulangi krisis spiritual di dunia Timur, Nasr menggunakan sufisme. Dalam hal ini Sayyid Hossein Nasr adalah seorang penganut filsafat perennial. Filsafat perennial secara sederhana adalah paham yang mengakui bahwa terdapat suatu pengetahuan Ilahi mendasar, yang pada prinsipnya tercapai oleh setiap orang dan bersifat lintas agama dan lintas sejarah.
Ia meyakini bahwa semua agama memiliki aspek esoteris, dimana sisi esoteris tersebut dapat menjadi titik temu agama-agama. Sufisme dinilai akan dapat memberikan alternatif solusi dalam menghadapi keringnya dunia modern. Dimana manusia modern harus kembali ke pusat eksistensinya. Ia harus kembali menemukan makna hidup yang sudah tergerus modernitas.
Sayyid Hossein Nasr bahkan mengkritik sarjana muslim yang tidak terlalu dekat dengan dunia sufisme seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Menghidupkan tradisi sufisme, sebagai wajah esoteris Islam, adalah upaya penting untuk mencapai tujuan Islam.