Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk khususnya manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Kontjaraningrat, 1996:100). Masyarakat Jawa, merupakan salah satu masyarakat yang telah hidup dan berkembang mulai sejak zaman dahulu hingga sekarang. Yang mana secara turun temurun menggunakan bahasa jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagaian besar pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10).
Para masyarakat jawa masih sangat erat dengan adat dan kebudayaannya. Namun, masyarakat Jawa juga masih memiliki akulturasi tinggi dengan nilai-nilai Islam. Agama islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagaman yang unik. Hal ini karena penyebaran Islam di Jawa lebih dominan mengambil bentuk akulturasi, baik yang bersifat menyerap maupun dialogis.
Dalam konsep seperti ini, agama Islam memberikan kekuatan terhadap budaya, dan budaya memberikan kekayaan pada agama Islam. Menurut Taufik Abdullah, akulturasi budaya Jawa dan Islam di Jawa mengambil bentuk dialogis (Abdullah, 1989: 58-99). Islam dihadapkan pada resintensi tradisi dan budaya lokal, sehingga ketegangan dan konflik Islam versus kejawen menjadi ciri utama perkembangan Islam di Jawa.
Begitu juga pengaruh keyakinan agama yang mereka anut ikut mewarnai tradisi dan budaya mereka sehari-hari. Masyarakat Jawa yang menganut islam santri misalnya, lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya meskipun bertentangan dengan budaya dan tradisi Jawanya. Berbeda dengan masyarakat abangan, yang tradisi Jawanya tetap di junjung tinggi, meskipun bertentangan dengan keyakinan atau ajaran Islam.
Hubungan Erat Islam dengan Budaya Lokal
Masyarakat Jawa yang menganut agama Islam dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga tak lepas dari pengaruh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Masyarakat Jawa, terutama yang menganut agama Islam secara rutin dan teratur melakukan berbagai aktivitas keagamaan yang bernuansa agama dan budaya. Salah satu contohnya adalah slametan.
Dulunya, slametan merupakan tradisi di masa Hindu dan Buddha yang dilakukan untuk menghormati orang yang telah meninggal. Selain itu, juga sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dalam beberapa acara tertentu. Karena, orang zaman dahulu baru mengenal sistem ritual atau upacara keagamaan ketika masa Hindu dan Buddha. Maka, slametan pun awalnya berasal dari peribadatan nenek moyang Hindu dan Buddha. Ritual slametan juga menjadi salah satu media kelompok abangan dalam mengekspresikan wajah komitmen dan keagamaan.
Bagi kelompok abangan, slametan diyakini sebagai simbolisme persembahan terhadap para roh halus atau leluhur. Agar masyarakat terhindar dari bencana dan kejahatan. Dari pernyataan di atas bisa di tarik kesimpulan bahwa, elemen masyarakat Jawa yang memiliki keragaman ternyata bisa di satupadukan melalui ritual slametan tersebut. Hal ini karena, dalam slametan, seakan tidak ada jarak antara si kaya dan si miskin, antara penganut Islam normatif dan Islam Jawa (abangan).
Fakta sosialnya, masyarakat Islam Jawa mengadakan ritual slametan berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni. Akan tetapi, terkadang menjadi sebuah kebiasaan yang rutin yang kemudian berjalan dalam suatu adat keagamaan. Namun, dalam masyarakat Islam Jawa ada yang menganggap bahwa hal tersebut merupakan tradisi memberikan sedekah oleh para keluarga Jawa kepada tetangga sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang Tuhan berikan.
Biasannya, kegiatan tersebut berjalan dengan cara bersama-sama di kediaman orang yang memiliki hajat atau acara besar. Tradisi slametan juga menjadi simbolisasi masyarakat Jawa dalam menciptakan Islam kultural. Semua itu sama dengan dakwah agama Islam yang telah para walisongo jalankan dalam menciptakan kerukunan bersikap secara santun dan toleran. Dari hal tersebut, bisa kita lihat, walaupun slametan merupakan tradisi pada masa Hindu dan Buddha, tetapi tetap bisa beriringan sesuai dengan ajaran Islam.
Tanpa merubah nama atau istilahnya, masyarakat Islam Jawa hanya merubah metodenya. Yang awal mulanya menggunakan bunga dan sesajen, oleh masyarakat Islam Jawa di ganti dengan memasukan unsur Islam, salah satu contohnya yaitu menggukan bacaan ayat al-Qur’an. Tetapi, tidak semua tradisi tersebut selaras dengan agama Islam. Karena, jika tradisi tersebut sangat menyimpang dengan ajaran agama Islam maka, lebih baik untuk tidak kemudian mengembangkannya di dalam masyarakat Islam Jawa.
Metode Dakwah Islam yang Sesuai dengan Budaya Jawa
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di indonesia, toleransi orang Jawa terhadap agama-agama lain secara murni masih tinggi. Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat keseluruhan ajaran yang pernah tersampaikan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu. Serta, memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah tengah masyarakat.
Karena, pada dasarnya metode dakwah para wali songo dalam menyebarkan agama Islam terjadi akulturasi dengan budaya lokal, maka dari itu tidak heran jika di masyarakat Jawa banyak yang kemudian masuk ke dalam agama islam. Dari sebuah realitas yang unik ini menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Jawa. Karena, masih sempat memanfaatkan sedikit rezeki dari Tuhan melalui tradisi lokal masyarakat Jawa. Jadi, menurut saya, Islam dengan kultur Jawa tidak semuanya tertuju ke arah syirik hanya saja tergantung bagaimana suatu kelompok tersebut melakukannya dan mengamalkannya dalam metode Islam.
Penulis: Angelita Masyalena Setiawan