Prof Din benar ketika mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah federasi pemikiran. Bahkan bukan hanya pemikiran, tapi juga federasi ideologi. Sebab itu tidak sepenuhnya salah jika ada yang bilang bahwa Muhammadiyah itu Wahabi, Salafi, HTI, bahkan terakhir FPI sebab realitasnya memang ada bahkan tumbuh dan berkembang.
Meski sudah hampir setengah abad menjadi aktivis Muhammadiyah, jujur saya masih belum final menemukan ideologi Muhammadiyah yang bisa dipahami utuh. Apakah Wahabi atau Dahlaniyah. Puritan atau Tajdid. Tarbiyah atau Salafy. Miring ke kanan atau ke kiri. Selain daripada Islam Berkemajuan yang terdengar sayup-sayup di permukaan.
Berbeda dengan NU yang tegas. Kalam bermazhab pada Al Asy’ary dan Al Maturidy. Fiqh pada mazhab Imam empat. Tasawuf pada Imam Ghazali. Trisula yang kemudian dikenal dengan konsep Aswaja. Dan Aswaja tentu berbeda sangat jauh dengan keMuhammadiyahan 1 sks yang diajarkan selama satu semester di sekolah-sekolah kita pada jam terakhir. Jadi jangan heran jika kitab Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al-Albani lebih memikat ketimbang Himpunan Putusan Tarjih atau MKCH karya para alim di Muhammadiyah yang perlahan dilupakan.
Kadang Muhammadiyah itu Salafi, kadang juga Wahabi meski ditolak dengan berbagai dalih bahwa bukan Wahabi juga bukan Salafi. Tapi siapa bisa bedakan aqidah yang dipahami Muhammadiyah dengan aqidah yang dipahami Wahabi tentang Rubbubiyah, Uluhiyah, dan Ubudiyah dalam kitab risalah tauhid yang divonis sesat oleh Muhammad Rizieq Syihab. Begitu pula dalam aspek fiqh apakah bisa dibedakan antara ideologi Muhammadiyah dan Salafi dalam hal tata cara shalat, wudhu, haji, dan ibadah mahdhah lainnya.
Bukankah hampir semua kita belajar tentang kitab Risalah Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan kitab Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al-Albani? Lantas apa bedanya jika hanya packaging saja yang beda? Kalau semangat produk aqidah dan fiqhnya sama?
Bukankah kita juga punya jargon yang sama: “kembali pada Al Quran dan As Sunah”? Jargon ini bersifat mujmal (umum) dan terbuka bagi siapapun untuk bisa masuk. Kita adalah Muhammadiyah meski dengan manhaj dan ideologi yang berbeda-beda.
Resiko tidak bermazhab juga bermakna menerima semua mazhab. Inilah yang kemudian kerap menjadi polemik yang tak kunjung padam. Keterbukaan ideologi Muhammadiyah adalah kekuatannya sekaligus kelemahannya. Migrasi ideologi tengah berlangsung, dari inklusif ke ekslusif, dari modern ke jumud, dari tajdid ke puritan, dari moderat ke radikal ekstrim, dari multikultur ke sektarian, dari kooperatif ke non kooperatif anti rezim.
Kritik ideologi persyarikatan ini menjadi urgen ditengah centang perenang konflik feneomenologis yang berkembang dinamis. Lantas ideologi Muhammadiyah itu apa? Ini memang pertanyaan tabu tapi saya harus jujur bertanya ditengah centang-perenang pergumulan Ideologi di Muhammadiyah terutama menjelang dan usai Pilpres 2019 yang melelahkan.
Banyak yang gelisah melihat beberapa pernyataan dan sikap beberapa pimpinan dan jamaah menghadapi fenomena atau kasus-kasus politik, ekonomi, sosial, dan soal humanitas lainnya. Ada yang puritan, ada yang radikal, bahkan wasathiyah hanya terdengar di permukaan. Semua terlihat dalam berbagai persepsi.
Apakah riuh gerakan Aksi Bela Islam bagian dari ghirah atau politisasi? Apakah boikot terhadap Starbucks, Indomaret, dan Alfamart adalah sikap wasathiyah? Apakah Sikap anti China itu adalah Dahlaniyah? Apakah fatwa haram rokok itu bukan Wahabi? Apalah khilafah bukan HTI? Bahkan FPI dianggap menjadi kanal paling pas untuk menyuarakan kebuntuan politik praktis aktivis Muhammadiyah yang selama ini dipasung. Dan banyak masih pertanyaan lainnya.
Migrasi ideologi ditubuh Muhammadiyah tidak hanya bersifat fisik, tapi juga bermakna pada perubahan mainstream. Mungkin bajunya masih bersimbol matahari, tapi mungkin saja isinya telah berubah dan berwarna lain: bersimbol bendera tauhid atau berubah kuning kehitaman atau bahkan bersimbol pedang disilang, semua serba niscaya sebab ideologi memang tak pernah bisa disandera. Wallahu Taa’la a’lam.
Editor: Yusuf
Saya sekolah di Muhammadiyah tahun 80 an itu nggak ada itu Salafi dll. Nggak ada Albani, bin BAZ dll.. yang saya tahu KHA. Dahlan, AR Fahrudin dan yang lainnya.. Waktu itu isu sentralnya ” Muhammadiyah itu Islam yang maju”.. Setelah masuknya model salafi malah jadi jumud menurut saya…