Selama ini banyak dipahami, bahwa Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912, baru kemudian mendirikan sekolah (Pendidikan dan Pesantren Muhammadiyah) untuk mengembangkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.
Padahal, dari banyak buku yang memperbincangkan gerakan dakwah Muhammadiyah, terdapat simpulan: Muhammadiyah, pada mulanya merupakan sebuah nama sekolah mini dengan lebih kurang 20 orang peserta didik baru kelas dhu’afa (yatim dan fakir miskin), yang didirikan oleh K.H.A. Dahlan pada 1 Desember 1911.
Sekolah yang dimaksud, yaitu Kweek School Muhammadiyah (KSM), Dalam konteks filosofi-historis yang berbeda KSM ini disebut juga dengan nama “Madrasah Diniyah Muhammadiyah”.
Kweek School Muhammadiyah
Setelah KSM berdiri dengan peserta didik lebih kurang 20 orang tersebut, K.H. Ahmad Dahlan berpikir dan berusaha terus bagaimana agar KSM memperoleh legalitas sehingga peseta didiknya kelak (jika sudah lulus) diakui oleh pemerintah.
Akhirnya, setelah perkembangan KSM dipandang memenuhi syarat sebagai layaknya sebuah lembaga pendidikan formal, maka setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 18 November 1912, KSM dideklarasikan sekaligus memperoleh pengakuan pemerintah kolonial. Yang kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai tanggal kelahiran Persyarikatan Muhammadiyah.
Seperti diketahui, bahwa gerakan penyebaran (dakwah) ajaran Islam yang dapat dikategorikan sebagai gerakan pendidikan Islam di Indonesia. Pada masa itu sebenarnya sudah ada, tersepakati sejak antara abad ke-11 dan abad ke-13. Sedangkan KHA Dahlan mendirikan sekolah tadi pada awal abad ke-20 (1911).
Baca Juga: Robby Abror: Rancang Bangun Filsafat Pendidikan Muhammadiyah
Artinya, selama rentangan waktu kurang lebih 8 (delapan) abad umat Islam Indonesia belum tersentuh Pendidikan Muhammadiyah. Dengan kata lain, selama 8 abad, keadaan dakwah Islam, terutama yang dikategorikan pendidikan, secara umum masih didominasi oleh gaya dakwah/pendidikan yang diprakarsai para Kiyai yang berderajat wali.
Gaya Pendidikan Walisongo
Yang lebih dikenal dengan nama Walisongo, yang dalam gerakan dakwah atau pendidikannya memanfaatkan sarana tempat singgah seperti bayah, pendopo, tajuk, saung, langgar, mushalla, dan masjid. Dalam perkembangannya ada bahkan banyak yang berubah bentuk menjadi pondok pesantren. Tetapi masih bersifat eksklusif, tidak mau bertemu kolonial apalagi berdamai.
Perang Diponegoro, perang Paderi dan perang jihad fi sabilillah terus digencarkan, sampai akhirnya terjadi gencatan senjata. Pihak kolonial menerapkan politik etis, yakni kebijakan yang menurut mereka saling menguntungkan. Pribumi yang berpendidikan, dibolehkan bekerja di pemerintahan colonial. Dan KHA Dahlan termasuk dalam kelompok ini, yakni beliau diangkat sebagai guru Kweek School colonial pada tahun ajaran 1909/1910.
Bersamaan dengan tahun bergabungnya dengan Boedi Oetomo yang berdiri pada tanggal 20 Mei 1908, oleh dr. Wahidin Sudirohusodo di Jakarta, dan pada tahun yang sama berdiri pula BU di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur dan pada saat itulah yang dalam sejarah disebut awal kebangkitan nasional.
Cikal Bakal Pesantren Muhammadiyah
Telah disebutkan di atas, bahwa sebelum K.H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yang beliau dirikan lebih dahulu Sekolah Muhammadiyah pada tanggal 1 Desember 1911. Sebelum itu, tepatnya pada tahun 1904-1905, sepulang dari ibadah haji yang kedua.
Beliau bersama ayahandanya (K.H. Marzuki) telah membangun atau mendirikan asrama untuk menampung para pelajar yang kurang mampu dan yang datang dari daerah luar Yogyakarta. Dan di pondok (asrama) inilah K.H. Ahmad Dahlan pada tahun ajaran 1908-1909 memberikan privat pelajaran agama Islam pada peserta didik yang bersekolah di Kweek School colonial.
K.H. Ahmad Dahlan melihat bahwa prospek sekolah yang didirikannya kurang memenuhi harapan jika tidak dimaneg secara sungguh-sungguh. Walaupun dari hari ke hari, minggu ke minggu perkembangan sekolah yang didirikannya cukup menggembirakan. Peserta didik yang mulanya hanya sekitar 20 orang anak dhu’afa (yatim dan fakir miskin) terus bertambah.
****
K.H. Ahmad Dahlan mulai berkonsultasi dengan para sahabat karibnya untuk mengembangkan sekolah tersebut. Dan akhirnya diyakini bahwa sekolah Muhammadiyah ini perlu diusahakan untuk mendapatkan izin operasionalnya kepada pemerintah kolonial kala itu.
Baca Juga: Pesantren Muhammadiyah Melawan Radikalisme
Giliran berikutnya, tersembullah gagasan untuk mendirikan organisasi yang permanen dan resmi supaya manajemen sekolah Muhammadiyah tersebut dapat berkembang, berkemajuan, dan berkelanjutan.
Qismul Arqa Berdiri
Tujuh tahun setelah KSM berdiri, tepatnya pada tahun 1918, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan dan atau membuka kelas baru yang khusus untuk malam hari. Belajar ba’da maghrib, yang dikenal dengan nama al-Qism al-Arqa (Qismul Arqa). Yakni sekolah kelas malam untuk menampung warga pribumi yang dhu’afa.
Mereka adalah yang tidak mampu sekolah, yang pada siang harinya mereka gunakan untuk mencari nafkah. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, untuk menunjang pembelajaran sekolah kelas malam tersebut, K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) mendirikan pondok; istilah sekarang asrama untuk nginep para peserta didik kelas malam tadi.
Pembukaan Qismul-Arqa tersebut tentu dengan niat untuk menggembirakan atau menyenangkan mereka (peserta didik). Minimal supaya mereka tidak kecapean pergi-pulang sekolah malam hari dan siangnya mencari rezeki. Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah kelas malam inilah yang sebagai cikal-bakal kelahiran dan perkembangan Pesantren Muhammadiyah.
Jadi, tidak benar jika ada analisis yang menyebutkan Muhammadiyah tidak punya pesantren. Ya, sebab, itu tadi, sekolah kelas malam yang didirikan Ahmad Dahlan hingga kini masih ada, dengan nama Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
Lembaga Pendidikan Formal
K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah hanya sempat memimpin langsung selama 11 tahun, tepatnya dari tahun 1912 s.d. 1923. Selama kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah sudah memiliki 15 Cabang (konsul) di luar Yogyakarta, dan lembaga pendidikan formal berupa sekolah sebanyak 8 jenis.
Yaitu (1) Opleiding School Muhammadiyah di Magelang, (2) Kweeck School Muhammadiyah di Magelang dan Ponorogo; (3) Normaal School Muhammadiyah di Blitar; (4) NBS Muhammadiyah di Bandung; (5) Algemeene Midelbare School (AMS) Muhammadiyah di Surabaya (6) Tablighschool (TS) Muhammadiyah di Yogyakarta; (7) Sekolah Guru Muhammadiyah di Kotagede; (8) Hoogere Kweek School Muhammadiyah di Purworejo.
Itu semua belum termasuk yang non-formal seperti Mushalla yang digunakan oleh kaum Ibu Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah menggencarkan gerakan pemberdayaan kaum “cantik”.
****
Setelah K.H. Ahmad Dahlan istirahat untuk selamanya, pucuk pimpinan Muhammadiyah terpilih yaitu K.H. Ibrahim yang memimpin Muhammadiyah sampai tahun 1932. Tepatnya dari tahun 1923 hingga tahun 1932. Pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim inilah masalah pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mengalami dilemma.
Baca Juga: Runtuhnya Sekolah Menengah Muhammadiyah Perkotaan
Karena pada tahun 1923 inilah undang-undang ordonansi disah-keluarkan oleh pemerintah kolonial. Dikatakan dilema, karena saat itu pendidikan Muhammadiyah berada pada posisi mundur kena, maju kena. Jika Muhammadiyah menolak ordonansi, secara otomatis sekolah-sekolah Muhammadiyah akan dipaksa tutup, tidak boleh beroperasi.
Sebaliknya, jika Muhammadiyah menerima dan memang akhirnya terpaksa menerima, maka sekolah-sekolah Muhammadiyah masih tetap mendapat subsidi. Tetapi sekaligus juga diterpa caci-maki dari hampir seluruh pengelola pendidikan non-pemerintah khususnya kalangan Kiyai dari berbagai pondok pesantren se-Indonesia kala itu.
Penulis adalah Pengarang Buku Filsafat Pendidikan Muhammadiyah dan Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
Ilustrasi: mbs.sch.id