Seluk-beluk radikal yang kemudian menjadi konsep radikalisme secara umum banyak bersumber dari pemahaman Islam konservatif dan fundamentalis. Pemahaman (radikalisme) yang memperjuangkan pemurnian agama (sufistik) dan kembali ke ajaran Islam yang ‘asli’.
Jelas memicu benturan dan kontradiksi tak berkesudahan. Bagaimana tidak? Pemahaman secara literal terhadap sumber hukum Islam Qur’an dan Hadits, tanpa melihat konteks dan penjelasan oleh generasi sahabat yang terhubung hingga ke generasi sekarang. Sedikit banyak akan melahirkan cara pandang yang kaku, sempit, intoleran dan mau menang sendiri. Radikalisme-pun tak terelakkan.
Radikalisme dan Sufistik
Islam sebagai ajaran tak bisa dipisah dari teks dan konteks, lahir dan batin. Kecenderungan hanya kepada teks dan melupakan konteks sama dengan menghilangkan aspek batin dalam Islam yang merupakan dasar sekaligus pijakan dalam beragama.
Sebaliknya, kecenderungan hanya kepada konteks dan melupakan teks sama dengan menghilangkan aspek lahir dalam Islam yang juga merupakan pijakan dan dasar beragama, mereka akan memiliki cara pandang ‘liar’.
Keduanya tak bisa dipisah seperti manusia yang juga terdiri dari aspek lahir dan batin. Seperti dalam bahasa Gusdur manusia tanpa batin disebut mayit dan manusia tanpa lahir disebut demit. Mayit itu diam, kaku dan stagnan sedangkan demit, fleksible, liar tapi tak terlihat dan tidak jelas.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kecenderungan berpikir kaku yang Ujungnya mengarah pada radikalisme adalahaspek cara berpikir yang melulu bertumpu pada lahiriyah teks saja dan mengesampingkan aspek batindalam teks. Padahal aspek batin itu akan menunjang kekuatan lahiriyah pun sebaliknya. Hubungan simbiotik dan saling menguatkan ini setidaknya menjadi acuan melawan radikalisme yang semakin memilukan.
Tasawuf dan Paham Sufisme
Tasawuf atau sufisme yang merupakan pengajaran aspek batin dalam Islam perlu digencarkan sebagai penyeimbang dari cara berpikir yang tekstual. Tasawuf adalah ilmu untuk membaca dan memahami cara menyucikan batin sehingga berimbas pada akhlaqul karimah,membangun batin yang jernih dan lahiriyah yang sempurna. Pengamalnya disebut Sufi, berasal dari kata Suf ((صوفyang berarti ‘wol’, kain yang terbuat dari bulu domba yang sangat sederhana.
Posisi sederhana adalah bentuk ideal, berada ditengah-tengah antara dua kutub bersebrangan. Dalam hal ini tidak radikal juga tidak liberal. Posisi tengah-tengah yang merupakan bentuk kesederhanaan yangdi kalangan NU disebut ‘tawazun’, tidak serta merta dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari baik berpikir dan bertindak, tanpa menyelam lebih jauhkedalam sufisme.
Baca Juga: Pesantren Muhammadiyah Melawan Radikalisme
Sufisme sebagai tata cara mengolah batiniah dalam upaya pendekatan kepada Sang Kholik yang menjadikan rasa (zhauq) dan hati (qalb) sebagai lingkup gerakannya. Butuh kejernihan serta ketulusan yang kuat. Hati yang merupakan penghubung ke kerajaan langit seperti kata al-Ghozali dalam kimiya-yi-sa’adat. Pada mulanya hati harus disucikan dengan berbagai latihan-latihanuntuk bisa mengakses kerajaan langit, sebagai pendekatan kepada Sang Kholik.
****
Hati harus bebas dari cengkraman nafsu yang merusak, dan akhlak yang buruk. Seperti amarah yang berlebihan yang memicu anarkisme dan radikalisme yang banyak merugikan sesama. Meski nafsu yang merusak ini tidak bisa dimatikan, karena ia bagian dari fitrah kemanusiaan. Tugas kita adalah mengendalikan agar tunduk pada perintah hati dan akal.
Dalam tamsilnya al-Ghozali mengatakan bahwa hati adalah raja,akal adalah perdana menteri sedangkan nafsu-nafsu tersebut adalah bala tentaranya. Sebagai raja hati harus memiliki kebijaksanaan tinggiagar perintah-perintahnya sejalan dengan kemaslahatan bersama. Proses pembersihan hati-pun harus diusahakan.
Bagial-Ghozali hati adalah cermin yang dengannya kita melihat pancaran sinar ketuhanan. Jika cermin itu penuh dengan daki karena penyakit-penyakit yang menempel. Cahaya ketuhanan akan terhalang masuk. Akibatnya hati akan gelap dan perintahnya atas dasar kegelapan nafsu yang merusakimplikasinya pada radikalisme dan terorisme pun bisa terjadi.
Dari Sufisme Hingga Pluralistik
Dalam sufisme penyakit-penyakit yang merusak hati tersebut dipelajari dan dihilangkan setahap demi setahap dengan latihan-latihan yang ketat (riyâdhoh), dengan bersungguh-sungguh (mujâhadah),penempuh jalan ini akan sampai pada penyaksian (musyâhadah).
Istilah maqâmat dalam sufisme sebagai tingkatan perjalanan spiritual seseorang memiliki dua aspek; jelas, dan samar. Aspek yang samar ini bagi al-Ghozali tidak mudah untuk dijelaskan kepada kebanyakan orang sehingga rentan dengan salah paham dan timbulnya fitnah, sehinggaal-Ghozali melarangnya. Jika terpaksa harus diceritakan maka bahasa simbolik dan isyaratlah yang digunakan. Boleh diceritakan asal level atau frekuensinya sama atau lebih tinggi lagi.
Sufisme telah banyak melahirkan konsep-konsep besar dengan implikasi toleransi yang tinggi tidak hanya kepada sesama pemeluk agama,antar agama yang berbeda-pun konsep tersebut dinilai ramah, seperti wahdatul wujûd, wahdatul ummah, wahdatul syuhûd, dan wahdatul adyân, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Problem Gender dalam Perspektif Sufisme
Wahdatul adyan adalah konsep tasawuf yang dibawa oleh para sufi seperti al-Hallaj, ibnu ‘Arabi, Jalâludin Rumi dan HazratInayat Khan. Konsep yang mengajarkan kesatuan agama-agama, sehingga melahirkan pandangan yang pluralistik.
****
Diri dan alam ciptaan ini dipandang sebagai karya agung Sang Pencipta, sehingga semua keaneka-ragaman ciptaan tak lain hanya sebuah bentuk dengan hakikat yang sama.Tidak ada alasan tidak menerima perbedaan itu,sebab pada ujungnya yang dilihat adalah Keagungan Sang Pencipta.
Belum lagi tentang mahhabbah atau cinta yang diusung oleh Rabi’atuladawiyah. Konsep-konsep dalam tasawuf dinilai relevan sebagai penyeimbang, atau bahkan melawan radikalisme. Ajaran-ajarannya tentang kerendahan hati, toleransi, keterbukaan, salaing menghargai, lemah lembut dan cinta yang dikemas dalam konsep-konsep besar di satu sisi dan sederhana di sisi yang lain. Tentu sangat mampu menjawab pertanyaan bagaimana radikalisme diatasharus dihadapi?
Penulis adalah Alumni dari Pondok Pesatren Al-Falah Jember
Editor: Dartim I.R.