Ada banyak “frase” yang disematkan kepada Islam. Sebagian orang mengatakan Islam itu tradisional, sehingga ada istilah Islam tradisional. Sebagian lagi mengatakan ada istilah Islam liberal. Ada lagi orang mengungkapkan Islam itu dengan istilah Islam radikal, ekstrimis, dan teroris. Atau mungkin masih banyak lagi frase yang lainnya disematkan kepada Islam dengan pemahaman tertentu terkait dengan pemikirannya tentang Islam.
Memang benar, ada sebagian ajaran Islam yang sesuai dengan konsep “radikal”, tapi tidak semua ajaran Islam adalah “radikal”, sehingga Islam itu bukan Islam radikal. Ada juga sebagian dari ajaran Islam yang mungkin bersinggungan dengan konsep “liberal”, tapi tidak semua ajaran Islam adalah liberal, sehingga Islam itu bukan Islam liberal.
Atau bahkan ada juga mungkin sebagain dari ajaran Islam yang bersinggungan dengan konsep “komunisme”, tapi Islam itu bukan “komunisme”, dan tidak ada istilah “Islam Komunis”.
Atau mungkin dengan logika yang sama, masih ada frase-frase lain yang mengikuti kata “Islam” di belakangnya seperti Islam progresif, Islam berkemajuan, Islam nusantara, Islam moderat dan lain sebagainya. Benar memang dan tidak ada salahnya jika frase itu hanya sebagai bagian dari konsep teknis untuk memahami Islam. Tetapi secara substansial Islam itu adalah yang dari sumber (ukurannya) Al-Quran dan Sunnah (ruju illa quran wa sunnah). Islam itu hanya satu, dari dulu hingga sekarang, Islam is one.
Islam yang Sempurna
Sehingga mungkin “benar saja” ada sebagian dari ajaran Islam yang dikategorikan liberal, radikal, modern, atau tradisional oleh sebagian ilmuwan. Tapi hakikatnya tidak semuanya benar seluruhnya bahwa Islam itu liberal, radikal, tradisional ataupun modern. Tapi Islam mengambil rujukan dari Quran dan Sunnah yang mungkin ada sebagian bersinggungan dengan sebagian konsep-konsep itu.
Jika ada ajaran Quran dan Sunnah yang sesuai dengan konsep liberal itu bukan karena mengambil dari konsep liberalnya, tapi dari nilai ajaran Quran dan Sunnahnya. Jika ada yang radikalpun demikian, semata-mata dari ajaran Quran dan Sunnah, dari “Islam is the one” itu.
Baca Juga: Titik Temu Negara Kesejahteraan dan Nilai-Nilai Islam dalam Pancasila
Karena Islam itu hanya satu, Islam is one, maka Islam telah sempurna (Q.S. Al-Maidah: 3). Jika ada ajaran yang ditambah-tambahi, maka menjadi bidah, dan jika ada ajaran yang dikurangi sebagaian kecil atau sebagian besar dari ajaran Islam itu, maka menjadi tidak lagi sempurna. Islam rahmatan lil ‘alamin (Q.S. Al-Anbiya: 107) adalah Islam yang kaffah, menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong dalam ber-Islam (Q.S. Al-Baqaroh: 208).
****
Kita memang boleh membaca dan memahami segala paham yang berkembang di dunia modern seperti liberalisme, komunisme, sekulerisme dan kapitalisme. Atau bahkan paham yang pernah berkembang dalam peradaban sejarah masa lalu seperti jabariyah ataupun qodariyah, sufisme, maupun khawarij dan lainnya.
Tapi tetap saja kita harus menjadikan Islam sebagai ajaran yang bersumber dari quran dan sunnah sekaligus memperhatikan realitas kehidupan. Karena terkadang hukum asal dalam quran bisa menjadi berbeda dengan kondisi realitas kehidupan di masyarakat yang berbeda.
Islam is One
Seperti haramnya hukum memakan babi. Hukum ini dalam keadaan normal adalah haram. Tapi jika dalam keadaan (realitas) betul-betul tidak ada makanan selain babi, maka hukumnya menjadi mubah. Boleh sekedarnya saja. Termasuk hukum memotong tangan bagi pencuri, tapi jika realitas keadaan dalam nuansa paceklik/susah, maka boleh untuk tidak dilaksanakan hukum potong tangan itu.
Artinya bisa jadi kita menganggap suatu kejadian dalam Islam dengan berbagai label dan istilah. Tapi terkadang tidak semua istilah dan label yang sama, cocok untuk semua keadaan. Jika ada kesesuaian dengan konsep-konsep teori sosial, ekonomi dan politik sama sekali tidak menjadikan “Islam” berubah. Sekali lagi Islam itu ya Islam. Islam is one. Islam hanya satu.
Sangat tidak pantas jika kita berdebat dengan teman sesama muslim untuk masalah yang memang diperbolehkan untuk berbeda. Kita juga jangan sampai memperlakukan mereka (orang yang berbeda) dengan tidak adil untuk masalah yang memang kita diperbolehkan untuk berbeda. Hanya karena alas an sentimentasi perbedaan.
Karena dengan yang berbeda keyakinan saja (non-muslim) kita punya kewajiban untuk menunaikan hak-haknya yang diperbolehkan. Apalagi dengan sesama muslim meskipun berbeda metode tapi lebih penting mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan sama.
Prinsip Rahmah lil ‘Alamin
Prinsipnya adalah mari kita tinggalkan perdebatan dan perseteruan untuk masalah fikih yang boleh berbeda, dan mari berijtihad untuk pengamalan masing-masing. Selanjutnya mari kita bekerja sama untuk masalah-masalah kompromi bersama.
Seperti masalah membangun bangsa, masyarakat, ekonomi, sosial, kemiskinan, kebodohan, ilmu pengetahuan, ketidakadilan, penindasan, pendidikan, kesehatan, bisnis dan teknologi serta lainnya. Masalah-masalah ini jauh lebih penting daripada masalah harus berdebat dengan yang tidak terlalu mendesak.
Baca Juga: Islam Rahmatan lil ‘Alamin: Ramah dan Anti Kekerasan
Jangan terlalu kaku dengan istilah frase-frase berbagai “varian Islam” yang terkadang kita sematkan untuk kalangan dan kelompok tertentu. Prinsipnya adalah rahmah lil ‘alam. Kasih sayang bagi semesta alam. Tidak perlu egois, ngotot, dan tegang, tapi kata rahmah itu mengindikasikan sikap kebesaran hati, komunikasi/musyawarah dan semangat persatuan dengan kembali lagi kepada nilai-nilai Islam yang satu itu.
****
Maka benar saja jika kata wa’tasimu bi hablillah, berpegang kepada tali agama Allah adalah berpegang kepada tali yang kokoh yaitu Islam (Q.S. Ali Imron: 103). Tidak ada istilah-istilah lain yang mengikutinya. Jika modal “persatuan” telah didapatkan, maka umat Islam itu akan bergabung menjadi sebuah “jamaah atau ummah” yang mampu melaksanakan tugas untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (Q.S. Ali Imron: 104).
Jadi jika logikanya dibalik, kenapa kita belum mampu melaksanakan kedua tugas itu? Itu pasti karena belum mampu bersatu (dalam keyakinan dengan besar hati) karena kita terlalu sibuk dan terjebak dengan berbagai istilah dalam “varian Islam” yang sebenarnya tidak ada. Apalagi sampai tanpa ada sikap besar hati dan masih terlalu cenderung sentimen dan egoistis dengan “kepentingan-kepentingan”.