Kesederhanaan dan kebijaksanaan adalah dua hal yang mestinya diteladani kawula muda. Sebab keduanya adalah hal yang jarang sekali melekat pada jiwa generasi bangsa hari ini. Atas berkembangnya trend 4F yang merupakan singkatan dari Fashion, Food, Film and Fun menjadikan anak bangsa lupa tentang bagaimana peran yang mestinya dijalankan.
Kebanyakan terlampau kalah dengan printilan duniawi tersebut ketimbang aktif mengisi potensi intelektual dengan hal-hal yang lebih krusial. Padahal anak bangsa hari ini sangat diharapkan kontribusinya dikemudian hari. Rasanya, anak bangsa hari ini perlu meneladani tokoh inspiratif yang tak hanya cakap perihal intelektual tapi juga pandai dalam urusan spiritual.
Adapun salah satu tokoh yang merupakan dan sekaligus gambaran anak bangsa hari ini adalah sosok yang tak ingin diabadikan namanya tapi kehadirannya senantiasa dinanti. Sumbangsihnya bak gunung emas yang tiada habis, tentu saja dalam rangka kemanusiaan. Demikian adalah misi terbesar dan terindah yang didambakan seluruh insan, tak terkecuali buya. Namanya Syafi’i Ma’arif yang kemudian mahsyur dengan panggilan Buya Syafi’i Ma’arif.
Penyebutan “buya” di tanah Minangkabau merujuk pada orang yang alim dalam ilmu agama, dan ini adalah bentuk daripada sebuah penghormatan, apalagi buya memang berasal dari tanah Minang yakni Sumpur Kudus. Tidak heran apabila segala tindak-tanduk perbuatannya senantiasa berlandaskan syariat.
Buya juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Barangkali memang hidupnya didedikasikan untuk keseimbangan sosial insaniyah, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dari Muhammadiyah untuk semesta dan dari buya untuk misi kemanusiaan, keummatan dan ke-Indonesia-an.
Peradaban Dimulai dari Titik dan Koma
Sekali saja titik dan koma keliru maka rusaklah peradaban. Demikian adalah gambaran betapa pentingnya memupuk nilai-nilai literasi. Sisi lainnya yang juga menarik dari buya selain soal kemanusiaan adalah soal penelaahan, dan salah satunya adalah literasi. Literasi sendiri meliputi aktivitas membaca, menulis juga berdiskusi.
Ada sebuah kalimat menarik yang seringkali buya sampaikan dalam beberapa pertemuan, “curilah waktu tidurmu untuk membaca”. Secara tersurat kalimat tersebut mengandung makna bahwa menumbuhkan kesadaran literasi adalah hal yang mesti dikembangkan, juga mengisyaratkan tugas pokok anak bangsa sebagai anak panah peradaban agar senantiasa disibukkan dengan produktivitas literasi.
Satu fragmen menarik pada diri buya yang jarang dikenal khalayak, yakni seorang jurnalis. Jejak rekam perjalanan buya di dunia jurnalistik dimulai dengan menjadi bagian sebuah majalah Sinar, yakni majalahnya santri Mu’allimin. Buya juga turut menjadi kontributor dengan menulis langsung dalam salah satu rubrik majalah. Beliau pernah mengirimkan tulisannya pada majalah yang lebih besar yakni majalah Hikmah terbitan partai masyumi.
Perjalanan dalam dunia jurnalistik tersebut beliau awali sejak tahun 1965 hingga akhir hayatnya. Betapa besarnya cinta buya terhadap aktivitas literasi, dimana separuh kehidupannya beliau gunakan membuka jendela cakrawala dengan terus belajar, belajar dan belajar. Sebab mulai dari titik dan koma seseorang akan mampu menembus ruang dan melintasi peradaban. Selain itu buya juga sempat dikirim ke Lombok dalam rangka rihlah ilmiah dengan predikatnya sebagai anak panah, lalu ke Universitas Cokro Aminoto Surakarta. Menariknya buya juga pernah menjadi tukang kain dan bersama temannya belajar guru di Wonogiri.
Rupanya ada hal menarik dan unik dibalik pemberian nama buya Syafi’i Ma’arif oleh kedua orang tuanya. Nama tersebut adalah harapan mereka ketika kelak buya telah dewasa, dan hari ini dunia menjadi saksi bisu terwujudnya harapan kedua orang tuanya atas kiprah Buya Syafi’i Ma’arif di berbagai belahan semesta. Syafi’i berarti kelembutan yang telah dibuktikan dengan sifat sosialnya yang senang memberikan beasiswa-beasiswa terhadap anak-anak ideologisnya.
Sementara Ma’arif artinya pengetahuan yang luas, dimana dalam setiap pertemuan sekalipun buya tidak pernah marah selain hanya menampilkan lengkungan senyum khasnya lalu memberikan sebuah keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa ide dan gagasannya tidak sempit dan terbatas, juga menggambarkan kewibawaan dan kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin. Tidak hanya intelektual buya saja yang bagus, spiritualnya juga patut diacungi jempol.
Sebagai manusia berstatus hamba buya tidak pernah meninggalkan urusan ibadah dalam kondisi apapun dan dimanapun. Adapun bukti rakusnya buya terhadap literasi dan buku dibuktikan dengan berdirinya serambi buya setelah wafatnya. Serambi buya adalah bekas rumah pertama beliau yang dibeli dengan cicilan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Layaknya sebuah perpustakaan dan rumah baca, siapapun boleh mengunjunginya dalam rangka meneladani intelektual sekaligus mengenang kebijaksanaan buya atau sekedar membaca buku di dalamnya.
Dedikasi Tegaknya Mu’allimin, Sekolah Tertua Muhammadiyah
Bak malaikat, namanya senantiasa melanglang meski raga telah tiada. Barangkali demikian gambaran manusia teladan dengan segala kebijaksanaannya. Tidak ada ungkapan yang pantas mewakili sosoknya padahal namanya sungguh telah melintasi peradaban. Selain dedikasinya dalam dunia literasi, buya juga turut andil mendirikan lembaga pendidikan anak bangsa, salah satunya adalah sekolah menengah. Lagi-lagi atas misi kemanusiaan. Harapannya tentu saja dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Kampus terpadu Mu’allimin adalah salah satu sekolah rintisan buya yang kini berdiri megah nan kokoh. Ornamen dan ukiran bangunan masjid Hajah Yuliana tak ubahnya bak istana penenang yang menentramkan sanubari. Perpustakaan buya Syafi’i juga tak kalah gagahnya menghidupkan literasi anak bangsa. Demikian juga dengan bangunan-bangunan pendukung di sekelilingnya. Semuanya bernuansa Islami dengan perpaduan khas antara aktivitas spiritual dan intelektual sekaligus.
Mu’allimin adalah bukti dan saksi bisu daripada kebijaksanaan buya. Lagi-lagi keteladanannya terlihat ketika beliau menjadi ketua panitia pembangunan kampus terpadu Mu’allimin, dimana dengan ikhlas beliau kerahkan sebagian harta, tenaga dan pikirannya tanpa sepeser pun gaji. Sampai pada akhirnya ditengah-tengah perjalanan tugas dan amanah umat di pundaknya beliau wafat dalam keadaan khusnul khotimah.
Pandangan Buya terhadap Perempuan
Monogami adalah prinsip hidup dengan satu istri. Ada bahasan menarik tentang pandangan buya terhadap Q.S. an-Nisā’: 3. Pada hakikatnya ayat tersebut adalah dalil pernikahan monogami, dimana sejatinya manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas dan tidak pernah bisa berlaku adil sebagaimana tuntunan Allah swt dalam ayat tersebut.
Ini tidak berarti buya anti dengan syariat poligami, hanya saja beliau sangat menjunjung tinggi monogami sebagai salah satu bentuk pemuliaan terhadap perempuan. Lagi pula sampai kapanpun dalam nurani kecil seorang perempuan tidak ada yang rela dipoligami, demikian betapa besarnya penghargaan buya sebagai seorang suami terhadap istrinya.
Adapun egaliter adalah posisi setara antara perempuan dan laki-laki. Ini dimaksudkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama dalam segala aspek. Ini juga dapat dilihat daripada peran buya sebagai seorang suami, dimana buya tidak malu membantu ibu Lip menyelesaikan pekerjaan rumah tangga semisal mencuci, menyiram tanaman dan lain sebagainya.
Bagi buya prinsipnya adalah sama, apapun bentuk pekerjaan rumah tangga bisa dikerjakan laki-laki maupun perempuan tanpa batasan ‘urf atau adat yang biasa berlaku di masyarakat. Hal yang sama juga dilakukan buya sebagai figur publik sekaligus pemimpin di ranah sosial kemasyarakatan, dimana pandangan buya terhadap orang lain tidak pernah terbatas pada gender semata. Semuanya sama dan layak mendapatkan kesempatan yang sama.
Buya dan istrinya, ibu Lip adalah sosok yang senantiasa menampilkan sikap Rahmatan Lil ‘Alamin dalam kehidupannya. Hal ini di buktikan melalui kehidupan seluruh makhluk di sekeliling keluarga buya baik hewan maupun tumbuhan. Semuanya sehat, makmur, lebat dan sangat indah dipandang mata.
Buya tidak sekedar guru tapi juga sang inspirator. Tidak hanya berkata tapi juga bertindak, apalagi soal kemanusiaan dan kepemimpinan. Maka betul bahwa dakwah terbaik adalah dakwah bi al-Hāl atau dakwah dengan keteladanan, tanpa banyak mendikte tapi langsung dengan sebuah tindakan.
Peradaban itu dimulai dari titik dan koma. Bicara peradaban juga bukan soal yang mudah, karena peradaban besar lahir atas nama manusia-manusia yang beradab. Oleh karenanya memperluas wawasan dan pergaulan adalah kewajiban anak panah peradaban. Salah satu spirit daripada kehidupan buya adalah hidup untuk kemanusiaan, hidup untuk ke-Indonesia-an dan hidup untuk keummatan. Mengenal keteladanan, kesederhanaan dan kebijaksanaan buya secara tidak langsung menjadi sebab hadirnya sebuah energi, perenungan dalam nurani dan mendorong tindakan nyata dalam diri.
Buya, apakah kau tahu setiap insan merindukan kehadiranmu, bukan tanpa alasan, hanya saja mereka rindu semangat, motivasi, keteladanan dan kebijaksanaanmu. Sebagai penggemarmu aku sadar sosokmu layak di sandingkan dengan idola para guru kehidupanku, terlebih keteladananmu yang tak pernah mengharap balasan apapun kecuali Ridha Allah swt semata.
Oleh sebab itu sebagai generasi sekaligus anak panah peradaban mestinya kita mampu membentang sayap dan terbang setinggi-tingginya. Jangan sampai soal agama, suku, ras, negara apalagi pemikiran-pemikiran tertentu menghadirkan sekat berkembangnya cakrawala intelektual anak bangsa. Pada akhirnya output yang di harapkan adalah kemampuan pengelolaan bumi dalam sebuah frame kemanusiaan dan keummatan.
Penulis: Izza Alfitra (Alumni Mahasiswi PUTM Yogyakarta)