Masih teringat dalam ingatan, Saya sedang mengistirahkan diri ketika kabar duka itu mengetuk kelopak mata. Pada tanggal 23 April kemarin, Seorang teman mengunggah foto tulisan Ariel Heryanto di status whatsapp-nya. Judul tulisan itu, Arief Budiman dan UKSW Salatiga.
Artikel yang ditulis saat Ariel masih menjadi pengajar Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu dimuat di Wawasan edisi 20 Maret 1995. Sebagaimana lazimnya, saya melakukan tangkapan layar pada status tersebut guna memudahkan membaca. Nahas, ketika diperbesarpun tulisan itu tetap tak terbaca.
Saat berupaya membaca tulisan Ariel itu saya belum tahu kabar apa-apa mengenai pemikiran pun masalah-masalah kebudayaan, kesenian, dan politik itu. Kabar meninggalnya Soe Hok Gjin alias Arief Budiman saya dapatkan dari WAG kantor, beberapa saat setelah itu.
Baca Juga: Muhammad Ali: Ramadhan untuk Peradaban
Kebetulan saya bekerja di sebuah media daring, yang sebagaimana lazimnya menjadi muara dari segala macam kabar terkini. Beberapa kawan yang bertugas di kanal terkait segera diminta menulis kabar duka itu. Barang kali tidak hanya sebagai bagian dari menuruti cara kerja media, tapi juga wujud penghormatan.
Perkenalan Sangat Kecil
Mengingat bacaan dan pengetahuan yang secara umum sangat sedikit, saya berupaya mengenang adakah peristiwa kecil dan sederhana berkenaan dengan diri saya menyangkut Arief Budiman. Upaya mengingat-ingat itu berlangsung selama saya menyelesaikan pekerjaan, kemudian mandi, mengupas melon, berikut makan sore.
Sepanjang peristiwa itu, ingatan saya tertumbuk pada Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie (LP3ES, Cetakan ke-10: 2011). Adakah buku itu di rumah atau berada di indekossaya di Jogja. Ternyata saya menemukannya di almari buku di dekat ruang tamu. Buku itulah yang pertama kali mempertemukan saya dengan nama Arief Budiman.
Pengantarnya untuk buku tersebut menjadi satu-satunya pengantar yang saya baca sebelum membaca catatan-catatan harian Hok Gie yang termaktub di dalamnya. Pengantar hangat yang terasa betul ditulis dengan keterpautan emosional tak kurang-kurang. Hok Djin memang tidak sekadar kakak bagi Hok Gie, tapi juga teman diskusi memperkarakan segala hal, baik kegelisahannya tentang penderitaan rakyat maupun kehidupan pribadinya.
Pemberani Yang Tak Pernah Surut
Kepada kakaknya, Hok Gie pernah berkata, “Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya.” Pernyataan itu sebagai bagian dari cerita Hok Gie mengenai ayah dari gadis pujaannya yang tidak mengizinkan anaknya dinikahi.
Meskipun secara personal ia tampak sangat menghargai keberanian Soe Hok Gie. Menurut pembacaan saya, Hok Djinlah salah satu kawan setia Hok Gie menapaki jalan terjal menentang segala kekuasaan yang melenceng, yang tidak pada tempatnya.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Hok Djin alias Arief Budiman dikenal sebagai pemberani yang tak surut-surut menghadapi segala situasi tak enak. Segala yang dirasa melenceng dikritiknya, tanpa pandang bulu. Baik itu pemerintah, institusi pendidikan tempat ia mengajar, mahasiswa, aktivis, dan masih banyak lagi.
****
Bagi beberapa pejabat pemerintah, ia mungkin dianggap terlalu dekat dengan pembangkang politik. Di kalangan aktivis, Arief dituduh terlalu dekat dengan pemerintah dan militer” demikian Ariel menulis.
Baca Juga: Agama Arief Budiman
Sebelum penyakit parkinson mengganggu kesehatan fisik dan ingatannya, Arief dikenal luas melalui tulisan-tulisannya yang tajam. Misalnya dalam bukunya yang berjudul Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005, Arief turut menyinggung Bu Tien Soeharto yang menggusur tanah rakyat demi ambisi membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Padahal, di masa lalu Arief termasuk aktivis muda yang mendukung lahirnya Orde Baru. Rupanya, ia tidak hendak fanatic terhadap segala yang lain kecuali kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Pengabdian Besar dan Polos
Dalam penceritaan Ariel Heryanto, saat dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sewenang-wenang oleh institusi tempatnya mengabdi, Arief Budiman tak ambil pusing. PHK itu berbuntut tidak diterimanya gaji dan tunjangan apapun. Kendatipun demikian, pengabdian Arief Budiman untuk UKSW tetap sebagaimana sebelumnya.
Ariel menyebutnya sebagai pengabdian besar dan polos, yang dikenangnya tak lagi dapat dijumpai di lingkungan UKSW di waktu-waktu kemudian. Misalnya cerita tentang Arief yang menemani seorang dosen muda di UKSW berkeliling kampus, termasuk mengenalkannya kepada seluruh dosen, staf, hingga tukang parkir.
Pengalaman yang terus dikenang oleh dosen muda sebagai hal yang luar biasa, termasuk kekagumannya tentang kepribadian Arief itu justru itu tidak diingat sama sekali oleh pelakunya. Pasalnya, Arief memang tidak berminat mengingat-ingat kebaikan yang dilakukannya.
****
Perannya sebagai penggagas Program Pascasarjana (PPs) di bidang Studi Pembangunan UKSW juga tidak main-main. Dalam kenangan Ariel, “Sejak PPs mulai diselenggarakan, tidak ada orang yang lebih banyak menguras tenaga seperti Arief Budiman. Tidak ada orang lain yang berjam-kantor sebanyak Arief Budiman.
Tidak ada dosen yang mengasuh mata kuliah dan membimbing penulisan skripsi mahasiswa sebanyak Arief Budiman. Semua pengorbanan ini dikerjakan Arief semata-mata karena tidak tega menelantarkan mahasiswa.
Biarpun untuk itu, ia berkali-kali menolak atau menunda berbagai tawaran kerja yang bergengsi.
Berita Kematian
Ketika Soe Hok Gie meninggal karena keracunan gas di kawah Maha Meru pada penghujung tahun 1969, Arief Budiman lah yang menjemput jenazahnya. Dalam duka itu, sempat ia mempertanyakan apakah hidup adiknya sia-sia belaka, sebagaimana yang pernah digelisahkan kepadanya.
Jawaban pertanyaan itu didapat Arief dari seorang tukang peti mati di Malang dan penerbang AURI yang membawa jenazah adiknya menuju Jakarta. Tukang peti mati itu menangis begitu tahu Soe Hok Gie meninggal. Rupanya ia membaca tulisan-tulisan Hok Gie di koran.
Senada, penerbang AURI itu pun gemar membaca karangan-karangan Hok Gie. Ia pun menyayangkan kematian Hok Gie yang terlalu dini. Sebab menurutnya, orang seperti Soe Hok Gie bias berbuat lebih banyak seandainya berumur panjang.
Baca Juga: Ramadhan Di Tengah Pandemi: Manusia yang Sakit, Obatnya Corona
Demi mengalami dua peristiwa di hari itu, pelbagai perasaan berkecamuk dalam diri Arief. “Ketidakadilan bias merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Gie, kamu tidak sendirian,” bisik Arief dalam hati, sebagaimana dikisahkannya kembali dalam pengantar berjudul Soe Hok Gie: Sebuah Renungan, yang ditulis menyertai penerbitan catatan harian adiknya.
Penulis adalah Seorang Pegiat Media Sosial
Sumber Ilustrasi: republika.co.id