Yahya Cholil Staquf, dalam peluncuran buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, menjelaskan bahwa pokok gagasan pertamanya adalah untuk memaknai kelahiran dan keberadaan Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, pokok gagasan kedua yang disampaikan Yahya Cholil adalah tentang bagaimana jam’iyyah ini. NU terdiri dari jam’iyyah dan jamaah. Terdiri dari struktur ada kultur.
Tantangan NU: Relevansi Jam’iyyah
Yahya Cholil melihat ada ancaman bahwa NU cenderung semakin irrelevan. “NU sebagai organisasi cenderung semakin tidak relevan. Orang semakin tidak butuh dengan pengurus organisasi. Hal itu bisa dilihat dnegan jelas misalnya ketika perayaan mauludan. Dulu, peringatan mauludan selalu atas nama NU. Namun, sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Dan semakin lama orang semakin tidak menemukan signifikasi pengurus NU terhadap kehidupan masyarakat sehar-hari”, ujarnya.
Baca juga: KOKAM itu membela Pancasila dan Nalar Kebangsaan
Yahya Cholil mengambil contoh pilpres 2019, dimana 58% warga NU memilih Jokowi-Amin. Namun, yang memobilisasi warga NU bukan pengurus NU, melainkan mesin politik yang lain. Menurut Yahya Cholil, lembaga lain sekarang sudah dapat mengakses warga NU tanpa bantuan pengurus. Menurutnya, hal ini terjadi karena kedodoran konstruksi organisasi.
“Sejak 1952, ketika NU menjadi parpol, sampai sekarang, konstruksi organisasi NU tidak berubah. Konstruksi organisasi ini mencakup moda operasional, struktur, rekrutmen, dan pola hubungan organisasi dengan warga. Ketika NU keluar dari parpol sejak tahun 1973, alam pikirannya masih alam pikiran 1952. Maka, tidak heran lebih banyak hubungan jamaah dengan jam’iyyah yang seperti parpol. Kegiatannya kegiatan kampanye. Pidato untuk memobilisasi kesetiaan kepada simbol kelompok. Itu terjadi selama puluhan tahun sejak 1952” tegasnya.
Sebenarnya sudah ada upaya-upaya untuk melakukan penyesuaian, namun hal itu masih sangat kurang. Basis konstruksi NU masih terasa seperti tahun 1952. Maka, hal ini memerlukan reformasi NU. Menurut Yahya Cholil, konstruksi ideal bagi jam’iyyah adalah konstruksi seperti pemerintahan. Jadi, pengurus NU seperti pemerintah, dan warga NU adalah rakyatnya. Karena pada faktanya NU tidak memiliki keanggotaan tetap.
Warga NU ini bersifat kesertaan yang longgar, sehingga pola hubungannya adalah fellowship, bukan membership. Fellowship jika dikaitkan dengan teritori politik menjadi citizenship (kewarganegaraan). Hubungan organisasi dengan warga supaya kembali fungsional, harus diatur laksana pemerintah. Maka, jam’iyyah harus berfungsi menyediakan layanan untuk warga. Selain itu juga harus bisa memobilisasi sumberdaya untuk redistribusikan kepada instrumen organisasi dan kepada warga.
Mengikuti Pola Pemerintah
Jam’iyyah, menurut Yahya Cholil, juga harus berfungsi menetapkan regulasi supaya layanan dapat diakses secara adil dan transparan. Konkretnya nanti NU harus membalikkan bobot aktivismenya yang tadinya ada di pusat, dibalikkan ke bawah. Sehingga ujung tombak aktivisme adalah cabang. PBNU punya tanggungjawab untuk melakukan mobilisasi memanfaatkan sumberdaya, untuk dijadikan program di bawah, bukan di Jakarta.
Yahya Cholil melanjutkan dengan menyampaikan bahwa kira-kira PBNU berfungsi seperti kabinet negara, PWNU berfungsi seperti pemprov, dan PCNU bergungsi seperti pemda atau pemkot. Maka dengan demikian, harus ditetapkan agenda-agenda yang sifatnya nasional.
Dengan cara itu, maka NU akan kembali fungsional secara nyata sebagai organisasi, bukan hanya menjadi simbol untuk menggalang dukungan politik. Dan supaya orang-orang tidak menjadikan NU sebagai batu loncatan untuk mendapatkan posisi-posisi politik. Yahya mengaku bahwa ia mulai melihat orang sudah berebut jabatan di NU untuk batu loncatan politik.
Pergulatan Mencari Bentuk Peradaban Baru
Hal ini harus dilakukan supaya NU menjadi benar-benar fungsional. Yang pertama adalah gestur NU akan lebih inklusif, tidak langsung berhadapan dengan kelompok manapun. Yahya Cholil berpesan agar kita membangun suatu arena dimana semua orang bisa ikut didalam pergulatan mencari peradaban baru. Maka, teroris tidak boleh dianggap sebagai musuh.
Kita perlu punya empati terhadap mereka. Yahya Cholil meyakini bahwa fenomena ISIS itu muncul karena adanya invasi Amerika ke Iraq, yang mengakibatkan rantai dinamika, sehingga lahir ISIS. “Saya katakan, bahwa kalau Amerika melakukan apa yang dilakukan terhadap Iraq itu dia lakukan terhadap Indonesia, saya pasti jadi teroris, dan saya akan galang Anshor supaya jadi teroris bersama saya” tegasnya.
Yahya Cholil melanjutkan bahwa kita harus empati supaya kita bisa mengajak semuanya berproses bersama. Maka, salah satu prinsip dari proses pergulatan ini adalah kejujuran. Kita harus jujur melihat masalah. Bagaimana umat Islam terus-menerus disuruh menjadi moderat seolah-olah hanya umat Islam yang salah. Seolah-olah Amerika, Eropa, dan lain-lain tidak memiliki kesalahan. Kita harus jujur supaya dapat melihat dengan jernih.
Maka, kita juga harus membicarakan posisi Amerika dengan jujur, apa yang mereka lakukan bersama Eropa, India, dan lain-lain. Bahwa jika konstruksi konflik yang telah terbangun selama ribuan tahun ini tidak dihentikan, maka yang terjadi adalah keruntuhan bersama. “Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan peradaban ini selain seluruh umat manusia, siapapun, duduk bersama, bergulat bersama, untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi peradaban dunia, yaitu tata dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, berdasarkan akhlaq mulia dan penghormatan atas kesetaraan hak dan martabat semua manusia”, tutupnya.
Reporter: Yusuf R Yanuri