“Hidup harus bermakna, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. Sebagian tanggung jawab sosial dan Kemanusiaan”.
Seorang tokoh terlepas perannya sebagai anak bangsa yang membanggakan. Berbekal keilmuan serta keluasaan pengetahuan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum intlektual. Pengalamannya menjadi di berbagai daerah bahkan Negara sebagai bukti bahwa Indonesia tak kalah bagusnya terhadap anak-anak luar yang memiliki kemajuan ilmu modern. Buya Ma’arif Syafi’i telah membuktikan kepada dunia bahwa anak kampung bisa memberikan kontribusi nyata tentang nilai kemanusiaa.
Tak hanya itu reputasinya sebagai tokoh islam Indonesia bisa jadi sama terhadap gus dur dan ca nur sebagai bapak pluralisme. Gagasannya inilah mengantarkan Indonesia untuk berbicara di depan Negara untuk membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya bisa menjadi daya tarik bagi mereka. Sebuah mimpi yang bisa mencerminkan keberagaman serta keunikan dalam memajukan kemanusiaan.
Perjalanan Hidup Buya Syafi’i
Ahmad Syafii Ma’arif dilahirkan pada 31 Mei 1935 di sebuah desa di Sumpurkudus, Sumatra Barat, sebuah daerah yang sumber penghasilannya dari perdagangan serba kecil dan tani. Putra Bungsu dari empat bersaudara pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah.
Masa sekolah Syafi’i bisa dibilang banyak menemui kesulitan. Ketika akan masuk SMA Muhammadiyah di Yogyakarta, Syafi’i ditolak karena asal SMP-nya dari Desa Lintau di Sumatera Barat, yang dianggap tidak bermutu.
Ia lalu mendaftar ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di kota yang sama. Nilai rapor Syafi’i selalu bagus dan selalu mendapat peringkat satu.
Lulus di Yogyakarta ditugaskan ke Lombok Timur sebagai pengajar sekolah Muhammadiyah selama satu tahun, lalu pindah ke Jawa memulai belajar di FKIP Cokroaminoto Solo sampai sarjana muda pada usianya 29 tahun . Dan pada tahun 1968 menyelesaikan sarjananya di FKIP Yogyakarta. Kemudian, meninggalkan Indonesia untuk belajar sejarah padaprogram master di universitas Ohio, AS.
Hijrah ke Dunia Pendidikan
Ma’arif meneruskan kuliah S2 di Illinois, Amerika, setelah ia lulus dari 50 IKIP. Tapi karena anak lelakinya meninggal dunia menyebabkan ia harus meninggalkan kuliah masternya dan kembali ke tanah air. Di Indonesia Syafi’i mengajar beberapa tahun sebelum memutuskan kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di Jurusan Sejarah, Ohio University, Athens, Ohio.
Ia juga mengambil S3 Pemikiran Islam, Universitas Chicago, juga di Amerika. Sejak di Chicago itulah Syafi’i mulai kuliah di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang pembaharu Islam dari Pakistan, yang dianggapnya banyak memberikan pencerahan, termasuk dalam memahami Alquran. Salah satu ajaran Alquran yang benar-benar dipahami Syafi‟I adalah tidak adanya paksaan dalam beragama.
Baca Juga: Abdul Mu’ti: Mengenang Konsistensi dan Keberanian Buya Syafii
Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta. kemudian pergi ke AS untuk mendalami ilmu pemikiran Islam pada Universitas Chicago, Illinois. Di sanalah ia meraih gelar doktor pada 1982.
Buya Syafi’i Seorang Penulis
Maarif rajin berseminar dan menulis, dan sebagian besar karangannya mengenai Islam. Bukunya antara lain berjudul Dinamika Islam dan Islam, keduaduanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.
Sebagai kolumnis, dosen Pasca-Sarjana IAIN Yogyakarta yang sehariharinya mengajar di FP IPS IKIP Yogyakarta ini menulis artikel di majalah Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Genta, di samping di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dandipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu, ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, berjudul Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?. kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.
Ide Tentang Demokrasi
Ide tentang satu Tuhan dan satu kemanusiaan yang begitu sentral dalam Al-Qur’an telah memberikan keamanan ontologi bagi bangunan sebuah masyarakat yang peradaban yang hendak ditawarkan ini. Di atas landasan ontologi yang kuat, maka masyarakat yang hendak di bangun itu haruslah terbuki, demokratik, toleran dan damai. Empat ciri utama ini menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif haruslah dijadikan acuan bagi semua,
Baca Juga: Buya Syafii Ma’arif, Demokrasi dan Kesetaraan Gender (1)
gerakan pembaruan moral dan pembahasan masyarakat di muka bumi ini. Islam amat mendambakan terwujudnya sebuah bangunan masyarakat yang berwajah ramah dan anggun, dalam masyarakat ini perbedaan agama, ideologi dan nilai-nilai budaya, tidak boleh dijadikan penghambat untuk tercapainya cita-cita diatas. Bagi Ahmad Syafi’i Ma’arif masyarakat islam haruslah sebuah masyarakat yang demokratik.
Syafi’i berpendapat didalam tiga pilihannya bahwa “akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia” sehingga Muhammad Hatta berkeyakinan bahwa demokrasi di Indonesia mempunyai dasar yang kukuh.
Baginya, suatu kombinasi organik antara tiga kekuatan sosiologis religius ini akan memperkuat demokrasi diindonesia. Optimisme Hatta tentang hari depan demokrasi di Indonesia ini bukanlah optimism yang dibuat-buat, tetapi berdasarkan pengamatan sosial yang cukup beralasan” (Ahmad Syafi’i Ma’rif, islam dan masalah kenegaraan hal 156).
Jasa Beliau Menjadi Guru bangsa
Disamping beliau juga menjadi tokoh agama yang berpengaruh didunia, beliau sangat antusias untuk membantu masyarakat yang sulit berinteraksi berbeda agama, diantaranya : menyuruh pihak kepolisian dan pihak bertanggung jawab kepada gereja.
Agar segera dicekal orang-orang yang melakukan pengeboman di gereja, menjalin persaudaraan antar berbeda agama, mudah bergaul, mengajak diskusi kepada dan bersedia berbeda pendapat. Dan mengajarkan tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Sementara pengaruh mendapat penghargaan dari pemerintah filiphina.
Penulis adalah Mahasiswa Institut Islam Negeri Surakarta, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas ushuluddin dan Dakwah