Rasanya terlalu ‘insindental’ jika tulisan ini dikaitkan untuk memperingati hari perempuan internasional yang jatuh setiap tanggal 8 Maret lalu. Pada faktanya fenomena tentang buruknya kehidupan di Afghanistan di bawah kuasa Taliban patut diwaspadai. Apa yang terjadi di sana bisa jadi terjadi pula di negeri ini. Sangat disayangkan, fenomena yang ditampilkan di Afghanistan (juga di Iran), sedikit banyak mempengaruhi citra Islam di mata dunia.
Tentu saja, pada tulisan ini bukan serta merta fenomena di negara graveyard of empires tersebut satu-satunya pemantik. Saat yang sama pula tidak kalah memprihatinkan terhadap apa yang menimpa sebagian perempuan di negeri ini. Rasanya, satu kasus yang menunjukkan ketidak-setaraan gender terlalu banyak untuk mencoreng harkat martabat yang sejatinya setara antara laki-laki dan perempuan.
Taliban dan Domestifikasi Perempuan
Kini Taliban berkuasa di Afghanistan. Padahal sebelumnya mereka menyatakan siap untuk belajar dari masa lalu agar dapat diterima oleh komunitas internasional. Kala mereka berkuasa dalam rentang 1996-2001, perempuan berada dalam domestifikasi. Pendidikan perempuan dibatasi, mereka terapkan hukum potong tangan bagi pencuri, laki-laki diwajibkan memelihara jenggot, serta kebijakan-kebijakan lain yang menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami teks normatif.
Adapun setelah jeda tahun-tahun setelahnya hingga kini memenangkan politik, nampaknya ideologi konservatif tersebut masih kekeh mereka pegang. Lantas bagaimana janji-janji mereka yang akan memperbaiki sikap untuk menghargai perempuan; memberi pengampunan kepada pihak yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya, dan mengakhiri industri narkoba.
Dalam artikel-artikel yang saya baca di surat kabar, di Ibukota Afghanistan sempat terjadi unjuk rasa oleh puluhan perempuan. Fenomena tersebut jarang namun wajar, sebab pemerintahan Taliban menganut pemahaman agama yang keras, mengekang perempuan dari kehidupan publik sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021 silam.
Taliban menerapkan aturan domestifikasi bagi perempuan. Mereka melarang pendidikan anak perempuan melebihi sekolah dasar. Membatasi, ah tidak, melarang perempuan berada di ruang publik seperti taman dan pusat-pusat kebugaran. Pakaian pun diatur harus menutup seluruh badan, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, di balik janji-janji yang urung ditepati, keadaan buruk tersebut bahkan disebut oleh Zubaida Akbar, salah seorang aktivis hak perempuan di Afghanistan sebagai gender apartheid. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menyebut Afghanistan sebagai negara yang paling represif di dunia dalam rangka pemenuhan hak-hak perempuan. Tidak hanya perkara ketimpangan gender, namun juga ditambah marak terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Tentang Gender Apartheid
Istilah apartheid gender merupakan diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena jenis kelamin. Ini adalah sistem yang di tegakkan dengan menggunakan praktik fisik atau hukum untuk menurunkan individu ke posisi bawahan. Apartheid gender ini tidak hanya menyebabkan ketidakberdayaan sosial dan ekonomi individu.
Tetapi juga dapat mengakibatkan kerusakan fisik yang parah. Beda istilah tersebut dengan sex segregation (pemisahan jenis kelamin) adalah bentuk diskriminasi yang terjadi di dalamnya. Sikap tersebut yang mereka yakini berdasar kepada pembacaan mereka terhadap kitab suci.
Kata ‘apartheid’ dalam istilah apartheid gender sesungguhnya berasal dari apartheid ras Afrika Selatan yang melembagakan sistem supremasi kulit putih dan memisahkan mayoritas penduduk kulit hitam di negara itu dari kulit putih. Sementara maksud istilah apartheid yang di sandingkan dengan gender sebab keduanya merujuk pada sebentuk pelanggaran hak asasi manusia dengan melakukan pemisahan dan penindasan.
Perempuan sebagai Tonggak Kemajuan
Fragmen yang kita saksikan melalui media mengenai Taliban dan perempuan, kembali pada kondisi kita, mungkinkah terjadi di negeri ini? Tentu.
Padahal berbagai kajian membuktikan, pemberdayaan perempuan adalah prasyarat kemajuan pembangunan. Banyak negara dan kajian telah membuktikan bahwa perempuan yang memiliki kesetaraan hak dengan kaum pria, berdaya, sekaligus punya akses dan berperan aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi basis sekaligus akselerator pembangunan negara.
Syaikh Muhammad al-Madani dalam kitab al-Mujtama’ al-Mitsali Kama Tunazhahimuhu menjelaskan bahwa masyarakat ideal akan terbangun atas dasar kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Sebab kemajuan meniscayakan kerja sama di antara keduanya. Tidak bisa mengandalkan atau membatasi peran salah satu pihak.
Seorang tidak bisa menilai peran suatu pihak (baik laki-laki atau perempuan) dengan klaim berdasarkan titah kitab suci. Sementara kitab suci itu sendiri tidak memiliki tafsiran tunggal. Siapa bisa menjamin suatu penafsiran menjadi satu-satunya kebenaran. Sementara itu suatu ayat, dalam hal ini al-Qur’an, tidak bisa lepas dari historisitas ketika itu turun.
Hanya karena ketika suatu ayat turun, di mana Arab saat itu secara sosial perempuan menjadi kelas kedua dan mengalami domestifikasi, bukan berarti konsepsi tersebut di adopsi secara buta menjadi bentuk interaksi ideal.
Saat seorang membaca ayat kitab suci, maka tidak bisa hanya dengan mengandalkan terjemah. Melainkan perlu disiplin ilmu lain penunjang untuk memahami apa yang dikehendaki oleh kitab suci. Maka penting adanya dialog keilmuan dari mulai keilmuan bahasa, sosial-politik, sejarah, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Hal tersebut penting agar mendapatkan pemahaman yang ideal.
Secara historis, Nabi saw. pernah meminta Aisyah untuk mengambil sajadah yang tertinggal di masjid. Sementara ketika itu Aisyah ra. sedang haid, dan masjid merupakan ranah publik. Selain itu, konsepsi waris dalam al-Qur’an memberikan pemahaman bagian laki-laki dua, sementara perempuan satu bagian perbandingannya.
Hal tersebut harus di lihat sebagai suatu upaya progresif sebab tidak mungkin kitab suci ujug-ujug menitahkan kesetaraan secara teknis dengan tiba-tiba. Padahal ketika itu perempuan jangankan mendapatkan waris, mereka sendiri kala itu di anggap sebagai ‘barang’ yang di wariskan ketika suami mereka meninggal. Maka ketika al-Qur’an memberikan satu bagian kepada perempuan, hal tersebut merupakan titah progresif.
Dengan demikian, contoh-contoh di atas tidak bisa di pahami dengan pikiran yang sempit. Seperti misalnya mengcapture perempuan dan domestifikasi pada zaman Nabi sebagai sistem yang di dukung perintah kitab suci. Upaya pemahaman yang tepat mengenai suatu ayat, perlu adanya suatu upaya mainstreamisasi, sebagai hal yang lumrah.
Sudah saatnya sebentuk upaya dialog antara ayat al-Qur’an dan berbagai disiplin keilmuan ini jangan di anggap sebagai yang aneh. Justru kita harus lakukan upaya pelumrahan bahwa upaya pemahaman dengan mencukupkan terjemah dengan mengesampingkan penunjang lain sebagai suatu hal yang aneh dan tabu. Ah, tapi berbeda cerita jika itu sudah di anggap sebagai ideologi. Rasanya tidak mudah.
Editor : Izzul Khaq