Dalam dunia Muslim, shalat merupakan salah satu ibadah yang paling penting dan memiliki peran sentral dalam kehidupan seorang Mukmin. Shalat Tarawih, terutama selama bulan suci Ramadan, adalah salah satu ibadah yang sangat dihargai. Banyak Muslim di seluruh dunia ingin ikut serta dalam shalat Tarawih bersama imam dari Masjidil Haram di Makkah, yang dianggap sebagai salah satu tempat paling suci dalam Islam.
Namun, apakah shalat Tarawih dengan mengikuti imam Masjidil Haram melalui siaran televisi dapat dianggap sah?Pertanyaan ini memunculkan berbagai perspektif dan pandangan dalam Islam. Ada sejumlah aspek yang perlu dipertimbangkan untuk memahami masalah ini secara lebih mendalam. Dalam artikel ini, kami akan mencoba menjelaskan beberapa pendapat dan argumen yang berkaitan dengan shalat Tarawih melalui siaran televisi serta mencari pemahaman tentang apa yang mungkin menjadi syarat-syaratnya.
Pendapat Pertama: Tidak Sah Shalatnya
Pendapat pertama adalah bahwa shalat Tarawih dengan mengikuti imam Masjidil Haram melalui siaran televisi tidak sah. Alasan utama di balik pandangan ini adalah bahwa syarat shalat berjamaah adalah bersambungnya tempat imam dan makmum. Dalam shalat berjamaah, makmum diharapkan untuk mengikuti imam dalam gerakan dan bacaan shalat. Namun, jika jarak antara imam dan makmum terlalu jauh, maka tabiyyah (mengikuti imam) tidak bisa terpenuhi.
Imam al-Kasani dalam Badai’ul Fawaid menjelaskan bahwa salah satu syaratnya adalah bersatunya tempat imam dan makmum. Jika tempat berbeda, maka tabiyyah tidak terpenuhi. Dalam konteks ini, mengikuti shalat Tarawih dengan imam Masjidil Haram melalui siaran televisi di Indonesia dianggap tidak sah, karena jarak geografis yang signifikan antara Indonesia dan Makkah. Dalam kondisi seperti ini, syarat bersambungnya tempat imam dan makmum jelas tidak terpenuhi.
Menurut syarh al-Mumti, jika makmum berada di masjid yang sama dengan imam dan memiliki kemampuan untuk mengikuti seluruh gerakannya dengan cara apa pun, baik melihatnya maupun mendengarkan suaranya, maka syarat tersebut sudah cukup dan jama’ahnya dianggap sah. Namun, jika makmum berada di luar masjid, shafnya harus bersambung dan tidak terputus.
Menurut al-Utsaimin, pendapat yang kuat adalah bahwa shalat berjamaah harus memenuhi dua syarat: mendengar takbir dan shaf bersambung antara makmum. Pendapat madzhab Hanafiyah dan Hanabilah, lokasi imam berbeda dengan lokasi makmum. Menurut madzhab Syafi’iyah, shalat jamaah batal jika jarak antara rumah dan masjid lebih dari 300 hasta.
Menurut Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr H Hasanuddin AF, MA, ada banyak pendapat yang menjelaskan hukum sholat live streaming. Salah satu hal yang patut di perhatikan saat sholat berjamaah adalah barisan atau saf.
Yang berpendapat bahwa yang namanya sholat berjamaah, barisan atau saf tidak boleh terputus meski jamaah meluber ke luar. Ketika ada sungai yang memutus barisan sholat jamaah maka ibadahnya tidak sah. Ini yang harus di perhatikan dalam sholat live streaming. Selain itu, tiap anggota barisan atau saf sholat harus saling bisa melihat gerakan saat beribadah.
Fisik tiap anggota saf juga terlihat jelas saat sholat. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ibadah tersebut sulit di sebut sholatn berjamaah. Apabila kondisinya seperti itu maka lebih baik tidak usah sholat live streaming. Lebih baik sholat jamaah bersama keluarga atau melakukannyasendiri.
Saf atau barisan saat sholat jamaah menentukan benar atau tidaknya seseorang saat beribadah. Dari pendapat di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak sah hukumnya shalat berjamaah di rumah dengan mengikuti live streaming maupun siaran radio dan televisi. Youtube, radio dan televis bukanlah imam yang boleh di ikuti karena ketiganya di pisahkan jarak yang jauh. Jika tetap di lakukan, maka tujuan dari shalat berjama’ah yakni menyambung silaturrahmi dengan tetangga dan saudara se-iman tidaklah tercapai.
Pendapat Kedua: Perdebatan dan Fleksibilitas
Meskipun ada pandangan yang menegaskan bahwa shalat Tarawih melalui siaran televisi tidak sah, ada pula pandangan yang lebih fleksibel dalam memperlakukan situasi ini. Beberapa ulama menyarankan bahwa dalam keadaan tertentu, seperti ketika seseorang tidak dapat menghadiri masjid secara fisik karena alasan tertentu, maka shalat Tarawih melalui siaran televisi bisa di anggap sebagai alternatif yang sah.
Pendukung pendapat kedua berpendapat bahwa kebutuhan kepada tempat yang satu menjadi sangat mendesak untuk bisa mengikuti shalat berjamaah. Ketika seorang Muslim di suatu tempat tertentu, seperti Indonesia, ingin merasakan momen spiritual bersama imam Masjidil Haram, mengikuti shalat melalui siaran televisi mungkin adalah satu-satunya cara untuk meraih pengalaman tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, beberapa ulama mengizinkan penggunaan teknologi, seperti televisi, sebagai alat bantu untuk memungkinkan shalat Tarawih bersama imam Masjidil Haram. Namun, pendapat kedua juga menekankan bahwa kondisi ini harus di hadapi dengan hati-hati dan penuh kesadaran.
Mereka yang memilih untuk melaksanakan shalat Tarawih melalui siaran televisi harus merasa yakin bahwa mereka sedang melaksanakan ibadah yang benar dan khusyuk. Selain itu, ketika berdoa di rumah dengan bantuan teknologi, penting untuk menjaga nilai-nilai spiritual dan kualitas shalat.
Mengenai situasi ketika televisi mati karena listrik padam atau sebab lainnya, dapat di katakan bahwa shalat jamaah tersebut pasti terputus. Ini juga menjadi faktor yang perlu di pertimbangkan saat memutuskan apakah shalat melalui siaran televisi adalah pilihan yang tepat. Ringkasnya, dalam konteks shalat Tarawih dengan mengikuti imam Masjidil Haram melalui siaran televisi, ada berbagai pandangan dan pendapat dalam Islam.
Beberapa ulama menegaskan bahwa ini tidak sah karena syarat bersambungnya tempat imam dan makmum tidak terpenuhi. Namun, ada juga pandangan yang lebih fleksibel yang memperbolehkan situasi tertentu di mana shalat Tarawih melalui siaran televisi dapat di anggap sah, dengan catatan menjaga kesadaran spiritual dan nilai-nilai ibadah yang tinggi. Keputusan akhir ada pada individu dan pemahaman pribadi mereka tentang masalah ini.
Penulis: Bella Nur Amin (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)