Rumi punya guru spiritual bernama Shamsudin Tabriz. Gurunya ini menulis buku The Forty Rules of Love. Saya kutipkan sebagiannya.
“Bagaimana kita memandang Tuhan merupakan cerminan langsung dari bagaimana kita melihat diri sendiri. Bila Tuhan mengingatkan kita akan ketakutan dan tuduhan (kesalahan), maka terlalu banyak rasa takut dan bersalah dalam diri kita. Jika kita melihat Tuhan sebagai Kasih dan Sayang, maka demikian pulalah kita”.
“Jalan menuju kebenaran merupakan kerja keras bagi hati, bukan bagi pikiran. Jadikan hatimu sebagai penuntun utamamu! Bukan pikiranmu. Temui, tantang dan pada akhirnya menanglah dari nafs-mu dengan menggunakan hatimu. Mengenal nafs atau diri-mu akan menuntunmu pada pengenalan terhadap Tuhan”.
baca juga: Kedederhanaan, Kejujuran, dan Keikhlasan Pak AR
“Allah, cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah itu bagaikan misykat, yang di dalamnya pelita. Pelita di dalam kaca. Kaca yang bagaikan bintang berkilauan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Hampir minyaknya memancarkan cahaya, biarpun tak tersentuh api. Cahaya berlapis cahaya. Allah membimbing siapa saja yang disukai-Nya untuk menerima cahaya-Nya. Allah membuat beberapa perumpamaan untuk manusia, dan Allah mengetahui segala sesuatu.”
Ini ayat paling populer di kalangan sufistik sebagai sumber kontemplasi, seperti kupu-kupu antri berebut cahaya kembali menuju pulang.
Kebenaran Alquran dan Pemahaman Kita Terhadap Alquran
Rumi hanya ingin menjelaskan bahwa beragama tak cukup hanya bersandar dengan teks atau dalil yang dipahami hitam putih yang terus dipertengkarkan disepanjang usia. Adalah hak Rumi untuk berkata demikian dan kita atau siapapun berhak tidak setuju. Semua boleh berpendapat dan bersikap. Bukankah kebenaran akan bergantung pada siapa yang pegang meski berpedoman pada kitab dan dalil yang sama.
Ini memang soal klasik, bukankah Tuhan juga tidak memaksa? al-Quran jelas mutlak benar tapi pemahaman kita tentang al-Quran belum tentu benar. Kita berpegang pada kitab dengan kebenaran yang absolut tapi pemahaman kita terhadap yang absolut itu justru yang relatif. Ini pokok pangkalnya.
Kemana Kita Pulang?
Lantas dimana jiwa kita bakal pulang ? Dengan wajah seperti apa kita menemui-Nya? Setidaknya ada empat sufi besar: Al-Ghazali, Yahya Suhrawardi, Ibn ‘Arabi, dan Mulla Sadra yang menuliskan berbagai karya untuk mengulas tentang tempat jiwa kembali pulang dari aspek sufistik, gnostik, filosofis, dan ‘irfani tentang kandungan ayat itu.
baca juga: Rasyid Ridla: Akhir Kekuasaan Syarif Husein
Ayat itu juga yang melegitimasikan klaim Suhrawardi tentang aliran filsafatnya sebagai filsafat-cahaya (al-hikmah al-isyraqiyah). Islam itu luas seluas cahaya-Nya, dan kita hanya bagian kecil tak terlihat. Wallahu taala a’lam