Mengenai perbedaan, saya akan sedikit cerita pengalaman saya terkait hal ini. Pertengahan Ramadhan 2023, pada siang menjelang sore yang cukup mendung dengan cumulonimbus yang menyelimuti langit. Saya mendatangi sepasang suami-istri pedagang kaki lima sambil membeli beberapa dagangannya di lokasi sekitar SMAN 5 Purwokerto. Pak Kasman dan bu Suharti sebutnya, sambil menyantap mie ayam dan meneguk segelas es teh yang dibeli dari beliau. Kami sedikit berdialektika mengenai perbedaan keputusan yang terjadi antara kelompok pergerakkan Muhammadiyah dan pemerintah mengenai penetapan hari raya Idul Fitri tahun ini. 23 tahun sudah usia pernikahan mereka dengan kedua putrinya. Ternyata mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki perbedaan keyakinan dalam meyakini fiqih ibadah.
Pak Kasman adalah seorang Muhammadiyah dan bu Suharti merupakan seorang NU. Secara umum, mereka memang bukanlah satu-satunya pasangan yang memiliki latar belakang berbeda secara pergerakkan atau organisasi masyarakat dalam Islam. Tapi, uniknya mereka ternyata tetap berpegang teguh dalam pergerakkan masing-masing tanpa ada yang berpindah salah satunya. Hal ini seketika menimbulkan pertanyaan di kepala saya, bagaimana mereka menjalankan ibadah sehari-hari? Bagaimana nasib anak-anak mereka dalam memahami dan menghargai perbedaan fiqih ibadah di keluarganya? Bagaimana tanggapan mereka mengenai perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri pada tahun ini? Dan bagaimana dengan tanggapan mereka mengenai usaha yang telah mereka geluti terhadap pertanyaan pada poin ketiga?
Seperti yang kita ketahui, perdebatan mengenai penetapan ibadah antar ormas satu dengan yang lainnya akan terus bermunculan dari tahun ke tahun. Problematika klasik yang tak akan ada habisnya jika sudah membahas tentang dua ormas terbesar di Indonesia ini. Di sisi lain, terdapat dua insan yang mampu bersatu dalam perbedaan yang selalu menjadi bahan perdebatan. Pak Kasman mengaku bahwa selama beliau membangun bahtera rumah tangga bersama bu Suharti, mereka tidak pernah memperdebatkan apa yang telah mereka yakini. Semua berjalan sesuai apa yang mereka yakini dengan penuh toleransi.
Bu Suharti juga menambahkan bahwa ketika mereka melakukan ibadah bersama, mereka melakukan itu dengan kaidah yang mereka yakini. Mereka juga tidak memaksakan kepada kedua putrinya apakah ingin mengikuti sang ibu ataupun sang ayah. Karena beliau juga yakin bahwa selagi masih dengan satu agama yang sama dan tuhan yang disembah pun sama, itu tidak akan mengurangi nilai mereka dalam beribadah kepada sang pencipta. Dan mereka juga menghargai perbedaan satu sama lain karena masing-masing memiliki landasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kemudian, dalam menanggapi perbedaan mengenai ketetapan hari raya Idul Fitri. Pak Kasman dan bu Suharti mengaku sama sekali tidak mempermasalahkan keputusan yang ada, justru malah mereka menghargai perbedaan tersebut. Bu Suharti menghargai suaminya yang menjalankan ibadah solat ied satu hari sebelum beliau merayakannuya, dan begitu sebaliknya. Mereka meyakini bahwa apapun keputusannya sama-sama harus saling menghormati karena masing-masing memiliki landasan atau sumber yang shahih. Selain itu, mereka juga saling mengajak dan menasihati antar sesama anggota keluarga untuk menjaga kerukunan. Dan tetap berperilaku baik kepada semua orang tanpa memandang perbedaan apapun.
Seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat perbedaan metode antara Muhammadiyah dan NU dalam menetapkan jatuhnya bulan-bulan hijriyah. Terutama pada bulan Ramadhan dan Syawal. Dalam menetapkan suatu hukum, Muhammadiyah merujuk pada tiga metode utama ijtihad yaitu bayani (tekstual), qiyasi (ta’lili), dan istislah. Sedangkan NU menggunakan tiga metode utamanya dalam menetapkan suatu hukum dengan pendekatan qauli, ilhaqi, dan manhaji. Kemudian, dalam menetapkan perhitungan hijriyah, Muhammadiyah menggunakan metode hisab yang berlandaskan pada surat ar-Rahman ayat 5. Sedangkan NU menggunakan metode rukyatul hilal yang berlandaskan pada H.R. Bukhari nomor 1776 dan Imam Muslim nomor 5/354.
Di sisi lain, mereka juga mengaku itu membawakan keuntungan bagi usaha mereka. Hal ini karena pada penetapan momen Idul Fitri di dua hari yang berbeda, mereka akan semakin kebanjiran rezeki karena mendapatkan banyak pesanan bagi beberapa keluarga besar yang hendak merayakannya bersama sanak saudara yang jauh. Meskipun kadang mereka sesekali mengalami kendala terkait perbedaan tata cara menjalankan syariat Islam, tapi akan selalu ada jalan keluar bagi mereka untuk menyelesaikan kendala tersebut. Mereka juga mengaku itu tidak memberikan dampak atau pengaruh besar bagi perkembangan usaha yang mereka geluti.
Mereka menyayangkan adanya konflik yang terjadi mengenenai perbedaan metode dalam menetapkan syariat dan ibadah. Padahal dengan perbedaan tersebut harusnya menjadi penguat bersatunya umat Islam yang majemuk, bukan menjadi alasan untuk berpecah. Sebagai pedagang kaki lima yang berlokasi dekat dengan lingkungan sekolah dan tempat ibadah, mereka justru terharu melihat perbedaan dan kerukunan antar umat yang saling menghargai satu sama lain. Hal ini yang seharusnya dilakukan bagi umat Islam untuk saling menghargai dan menjaga kerukunan antar sesama umat Islam.
Apa yang mereka sampaikan mengingatkan saya pada Q.S. Yunus ayat 99 yang artinya: “Dan seandainya Allah menghendaki, dan tentulah semua orang telah menjadi orang-orang yang beriman yang ada di muka bumi ini, maka apakah kamu ingin memaksa manusia untuk menjadi orang-orang beriman semuanya?” Berdasarkan tafsir al-Misbah, ayat tersebut mengajarkan kita untuk saling menjaga perbedaan dengan harapan dapat membuka pintu hidayah-Nya. Serta menjaga persatuan masyarakat yang merupakan bagian dari dakwah Islam yang harus tetap dilestarikan tanpa menjatuhkan pihak manapun.
Setelah hampir satu jam kami berdialektika, saya cukup terharu dengan apa yang telah mereka sampaikan mengenai isu keagamaan yang terjadi di negara kita. Momen yang sungguh berkesan bisa mengetahui apa yang ada dibalik pemikiran pedagang kaki lima yang masih sangat peduli dengan kondisi sosial – agamanya yang terjadi di negeri ini. Semangat mereka dalam menjaga hubungan yang sangat harmonis dalam suatu perbedaan di lingkungan keluarga dan tempat mencari nafkahnya sangat menginspirasi saya untuk lebih menghargai lagi suatu perbedaan sekecil apapun itu.
Berdakwah merupakan suatu hal wajib yang sangat mendasar bagi setiap umat Islam. Dari mereka saya tersadar, bahwa tidak harus menunggu menjadi seorang pendakwah dulu untuk berdakwah. Tidak harus menjadi tokoh ulama hebat untuk berdakwah. Tapi mulailah berdakwah sejak saat ini meskipun kita belum menjadi apa dan siapa. Tidak hanya bagi para tokoh agama besar, berdakwah adalah suatu kewajiban bagi semua umat beragama, terutama umat Islam untuk saling menjaga kerukunan dan keutuhan NKRI.
Besar harapan bagi saya semoga dakwah toleransi ini tak hanya terjadi di keluarga pak Kasman dan ibu Suharti, tapi bagi seluruh umat beragama di Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Perbedaan apapun yang ada seharunya dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua mengenai arti dari indahnya keberagaman dan kerukunan yang akan menghasilkan eratnya tali persaudaraan antar umat beragama.
Penulis: Siti Atqiya (Mahasiswa Program Studi Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)