Selasa, April 6, 2021
Kalimahsawa.ID
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah
No Result
View All Result
Kalimahsawa.ID
No Result
View All Result

Muhammad Iqbal: Filsafat dan Agama itu Selaras!

Ali Yazid Hamdani by Ali Yazid Hamdani
Januari 17, 2021
in Filsafat
0
Filsafat

Filsafat

19
SHARES
110
VIEWS

Muhammad Iqbal merupakan seorang filsuf Islam terkemuka di abad Modern, ia dilahirkan di Punjab Barat, India 22 Februari 1873. Iqbal lahir dimana Islam sedang mengalami kemunduran di berbagai bidang.

Selain sebagai filsuf ia juga dikenal sebagai seorang penyair ulung, bahkan ada yang menyejajarkannya dengan Jalaluddin Rumi, Kahlil Gibran, hingga Omar Khayyam. Hal ini memang tampak dari bait-bait sajaknya yang indah, sarat akan kegelisahan filosofis, dan buah gagasan-gagasannya hidup disela-sela puisinya. Hingga kini buah pikirannya terus digali dan menjadi kajian para cendekiawan Barat maupun Timur.

TulisanTerkait

Problematika Kebangkitan Islam Menurut Ibrahim M. Abu Rabi’

Stereotype Toxic Gender dan Masculinity

Tiga Fase Pemikiran Islam Muhammad Iqbal

Dalam perjalanan hidupnya, Yunasril Ali membagi perkembangan pemikiran Iqbal menjadi tiga fase sebagaimana tertuang dalam bukunya Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (1991). Fase pertama (1901-1908), pada fase ini pemikiran Iqbal banyak dipengaruhi Plato dan Plotinus serta beberapa pantheis muslim. Secara sederhana dalam fase ini, Tuhan bagi Iqbal adalah zat yang indah yang mewujud di dalam kesegalaan alam semesta.

Fase kedua (1908-1920), pada fase ini ia kembali dari Eropa. Pemikirannya dipengaruhi oleh Mc. Taggart, James Ward, Neitzhe, Bergson, maupun Fichte. Disamping pada fase ini, penelitiannya tentang metafisika parsi berpusat pada Jalaluddin Rumi. Pada fase ini pula, Iqbal menganggap Tuhan adalah Indah Yang Abadi (Eternal Will). Tuhan bagi Iqbal tidak lagi menjelmakan diri-Nya dalam alam semesta, melainkan pada pribadi tertentu. Pada fase inilah bibit-bibit filsafat khudi-nya, atau filsafat pribadi mulai tumbuh.

Fase ketiga (1920-1938), bagi Iqbal Tuhan adalah Ego Mutlak Yang Esa. Pada fase inilah, Ego Mutlak bersifat dinamis, kreatif, tanpa batas baik oleh ruang maupun waktu. Hidup manusia kata Iqbal ditentukan oleh kualitas khudi-nya.

Insan Kamil: Gagasan Filsafat Khudi Muhammad Iqbal

Gagasan-gagasan filosofis Iqbal banyak terekam dalam karyanya yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1951), Asrar I Khudi (The Secrets of the Self), dan beberapa karya lainnya.

Ketika ingin memahami dan mengenal filsafat Iqbal, kata kunci dari kesemua sistem filsafatnya tidak akan lepas dari kata khudi (konsep diri). Bagi filsuf asal India ini, khudi berasal dari kata Khuda yang memiliki arti Tuhan; sementara khudi berarti diri, pribadi, atau ego manusia (Iqbal, 1953: 13). Gagasan khudi ini bermuara dari gagasannya yang lain terkait insan kamil yakni, level tertinggi yang dapat dicapai oleh diri dalam perkembangannya.

Meskipun pemikiran Muhammad Iqbal diilhami oleh gagasan sang filsuf soliter Nietzsche dengan Ubermensch-nya (manusia unggul), dan sekalipun di satu sisi memiliki kesamaan, namun sangat berbeda dalam penekanan pentingnya amal bagi pencapaiannya. Jika Ubermensch akan tercapai dilatarbelakangi dengan kematian Tuhan, sebaliknya, Insan Kamil malah berpangkal dari kerinduan yang mendalam akan Tuhan.

Menggugat Stigma Buruk Filsafat

Ketika agama disandingkan dengan filsafat, beberapa orang masih dan akan beranggapan seperti ini, “filsafat  produk orang kafir kok dipelajari, filsafat itu haram, awas ikut kafir loh, awas atheis”. Atau lainnya yang serupa (mungkin) pernah dialami (mereka) penggiat filsafat.

Sebelum lebih jauh memasuki belantara pemikiran Iqbal atas hubungan filsafat dan agama (religiusitas). Ada suatu pengalaman menarik yang penulis dapatkan dari seorang teman yang juga agak sinis dalam memandang filsafat. Syahdan, pernah suatu ketika salah seorang teman membuat story WhatsApp kira-kira seperti ini bunyinya;

 “Hikmah yang mengejutkan saya: jika orang yang berakal berbuat salah maka ia akan menyesal, sementara orang yang begitu bodoh, jika berbuat salah akan berfilsafat.”

Secara spontan saya tanyakan langsung kepada pihak terkait, barangkali ada persepsi atau pemahaman salah atas apa yang saya pahami sebelumnya. Harapannya dengan bertanya saya memperoleh jawaban dan pemahaman baru yang belum saya dapatkan sebelumnya. Namun sayang, jawabannya jauh panggang dari api. Malah berceloteh “Wallahu ‘Alam bi as-shawab” jawaban telak yang memang tidak bisa digugat dan permainan tanya-jawab pun berakhir.

Dari sepenggal kisah di muka, seolah filsafat menjadi tempat berkelit untuk mencari pembenaran. Padahal filsafat secara esensi adalah upaya untuk mencari kebenaran, bukan pembenaran atau berkelit dari yang salah lalu dijadikan benar dengan permainan bahasa yang sarat nuansa filosofisnya.

Relasi Filsafat dan Agama

Dari sini, filsafat yang tujuannya untuk mencari kebenaran pun sejalan dengan tujuan agama. Ibnu Rusyd, mengibaratkan filsafat dan Islam layaknya saudara sepersusuan, keduanya sama-sama berorientasi menemukan kebenaran. Filsafat tidak akan meruntuhkan iman, namun justru menopang lebih kuat keimanan dengan berpikir logis-demonstrasional.

Sesungguhnya filsafat dapat digunakan sebagai cara untuk mendekati ajaran Islam dari luar teks-teks Islam melalui akal budi manusia yang juga merupakan anugerah karunia-Nya. Dengan filsafat pula dapat memberikan pembenaran (justifikasi) logis atas ajaran-ajaran Islam. Hal ini lah yang membuat Prof. Musa Asy’ari dengan yakin mengatakan filsafat merupakan sunnah nabi dalam berpikir.

Iqbal pun menginginkan hal yang sama, bahkan Majid Fakhry berpendapat bahwa filsafat Iqbal merupakan satu-satunya usaha paling penting yang berupaya menginterpretasikan Islam dalam term modern. Ia juga mewarisi cara-cara filsafat barat dalam rangka menegaskan pandangan dunia Islam. Secara esensial filsafatnya bertujuan bukan untuk mengakui keunggulan dan validitas filsafat barat, tapi mencari keselarasan yang esensial dengan misi Islam. (Majid Fakhry, 1983: 477)

Menguji Ajaran Agama dengan Filsafat

Baginya, ajaran agama dapat diajukan dua macam pengujian untuk membuktikan kebenarannya. Pertama, pengujian intelektual, yaitu pemahaman kritis tanpa praduga terhadap ajaran-ajaran agama. Kedua, pengujian pragmatis, yaitu dengan melihat akibat-akibat dari ajaran agama dalam kehidupan nyata (Iqbal, 1951:27).

Dalam rangka pengujian itu, di satu sisi merupakan upaya mengajak umat menjauhi sikap dan keyakinan dogmatis serta taqlid buta. Di sisi yang berbeda merupakan koreksi Iqbal terhadap pemahaman-pemahaman rasional yang kering dari nuansa spiritual yang semarak terjadi di dunia Barat.

Begitu piawainya seorang Iqbal dalam mengemukakan pertemuan dua hal yang diintegrasikan. Ajaran-ajaran agama dipahami dan diuji kebenarannya dengan filsafat, tetapi upaya itu dilakukan di bawah bimbingan agama. Dengan demikian pemahaman Iqbal tentang filsafat dan agama relatif komprehensif. Artinya, filsafat tidak hanya dipahami semata-mata humanistik-fungsional yang (mungkin) berujung Tuhan tidak lagi diperlukan.

Begitupun agama tidak pula hanya sekedar mistis atau sebatas dogma, norma, dan ritual hingga kebanyakan orang cenderung enggan terjun dalam kehidupan sosial. Muhammad Iqbal membuktikan dengan pemikirannya jika filsafat dan agama itu bisa selaras. Ia menawarkan pendekatan ini agar semua potensi yang ada dalam diri manusia teraktualisasikan sesuai porsi dan proporsinya.

Editor: Anisa Kurniarahman

Tags: AgamafilsafatMuhammad Iqbal
Previous Post

Paham Aswaja: Mengakhiri Intoleran hingga ke Akarnya

Next Post

Al-Juwaini, Imam Besar Makkah dan Madinah

Ali Yazid Hamdani

Ali Yazid Hamdani

Next Post
Filsafat Al juwaini

Al-Juwaini, Imam Besar Makkah dan Madinah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Islam adalah agama yang universal. Artinya segala sesuatu yang diatur dalam syariat Islam itu bukan hanya di tujukan untuk orang-orang muslim

    Tanya Jawab Agama: Islam Rahmatan lil ‘Alamin

    921 shares
    Share 368 Tweet 230
  • Gerakan Pembaruan Sultan Mahmud II

    666 shares
    Share 266 Tweet 167
  • Kerumitan Dunia

    263 shares
    Share 105 Tweet 66
  • Piagam Madinah (صحيفة المدينة)

    244 shares
    Share 98 Tweet 61
  • Adab Salam Terhadap Pemeluk Agama Lain

    163 shares
    Share 65 Tweet 41
indonesia

Ajaran Islam Lebih Dari Sekedar Toleran

April 6, 2021
pancasila dalam timbangan syariat

Pergulatan Umat di Indonesia: Negara Agama vs Negara Sipil

Maret 30, 2021
Nikah Sirri di Masa Pandemi, Solusi atau Alibi?

Nikah Sirri di Masa Pandemi, Solusi atau Alibi?

Maret 29, 2021
  • Tentang Kalimahsawa.id
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Kirim Tulisan

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

No Result
View All Result
  • Report
  • Video
  • Narasi
    • Esai
    • Cerpen
    • Sosok
  • Ulûm ad-Dîn
    • Akhlak
    • Tafsir
    • Filsafat
    • Ibadah
  • Risalah
    • Khutbah
    • Doa
    • Kata Bersama
    • Muslimah

© 2020 Kalimahsawa.ID - Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist