Malang, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA. sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Independen dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi pembicara di seminar pra Muhktamar yang dihelat di Universitas Muhamamdiyah Malang (UMM) pada Sabtu (8/2/2020).
Ruhaini menjadi pembuka sesi kedua acara dengan tema Manhaj Islam Berkemajuan Perspektif HAM. Menurut Ruhaini, Muhammadiyah dan NU, juga Sarekat Islam, bermula dari etnoreligius yang kemudian membuat transformasi kehidupan. “Dari situ muncul satu masyarakat Islam modern yang menjadi landasan nation state,” katanya.
Menurut Ruhaini, organisasi-organisasi modern tersebut yang turut membentuk masyarakat modern Islam di negeri ini termasuk NU yang selama ini dikategorikan pengamat sebagai kelompok tradisional. “Ada proses modernisasi Islam di Indonesia yang melahirkan dua organisasi besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. NU tidak pernah saya sebut sebagai organisasi tradisional. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern,” tegasnya.
Baca Juga: Bangunan Masjid di Atas Lahan Yang Belum Mendapatkan Izin, Bolehkan Sholat di Dalamnya?
Konsep Islam di Indonesia, juga Malaysia, yang menganut moderasi inilah yang membuat mudah berinteraksi atau bersinggungan dengan HAM. Di tengah pertentangan antara Declaration of Human Right dan The Universal Islamic of Human Right, Ruhaini menemukan benang merahnya.
“Persoalannya bukan Islam bertentangan dengan Barat. Barat mendekati hak asasi dengan fundamentalisme sekuler, sedangkan Islam mendekati hak asasi dengan fundamentalisme Islam,” ujarnya. “Maka, diperlukanlah moderasi itu agar mencapai titik temu,” tegasnya.
Pada seminar ini pula, Ruhaini menyinggung tentang poligami. “Bagi saya, poligami bukan ajaran Islam. Karena praktik poligami sudah ada sejak zaman Eropa sebelum Islam datang ke sana,” katanya. Lantas, ajaran Islam yang seperti apa? “Proses memanusiakan dalam poligami itulah ajaran Islam. Konsep sakinah mawadah warahmah itu menutup pintu poligami bagi Muhammadiyah,” tandasnya.
ilustrasi: umm1964