Musa adalah singkatan dari Muhammadiyah Salafi. Ia juga sering disebut dengan istilah “Mursal” yang merupakan kependekan dari Muhammadiyah rasa Salafi. Hilali Basya, mengutip Khaled Abou El-Fadl, mendefiniskan salafisme sebagai gerakan Islam yang mengharuskan pemeluknya untuk kembali ke Al-Qur’an dan hadis, serta menyandarkan tafsir-tafsir keduanya kepada pemahaman ulama salaf as-salih.
Pengertian dan Genealogi Salafisme
Menurut Madawi al-Rashed, tidak ada kesepakatan pasti mengenai siapa yang dimaksud dengan as-salaf as-shalih. Sebagian mengatakan bahwa as-salaf as-shalih adalah ulama-ulama yang hidup pada generasi pertama Islam, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. hidup. Sebagian memasukkan dua generasi selanjutnya atau yang dikenal dengan tabi’in dan tabi’u at-tabi’in.
Hal ini sering mengacu kepada hadis nabi yang mengatakan bahwa generasi terbaik Islam adalah generasinya atau generasi para sahabat. Mengingat definisi sahabat yang cukup masyhur adalah mereka yang bertemu nabi dan meninggal dalam keadaan Islam. Generasi terbaik setelah itu adalah generasi tepat setelahnya, yaitu para tabi’in. Kemudian generasi terbaik ketiga adalah generasi setelahnya, yaitu tabi’u at-tabi’in. Namun, meskipun secara bahasa, salaf diartikan dengan periode awal, dalam studi kontemporer salafisme sering diartikan dengan gerakan yang berakar pada ajaran Ibnu Taimiyah.
Abdul Mun’im Al-Hafni mendefinisikan kaum salaf dengan para sahabat nabi, tabi’in, tabi’u at-tabi’in, orang-orang yang hidup pada tiga generasi pertama, orang-orang yang mengikuti ulama empat mazhab, dan mengikuti imam-imam salaf lainnya. Sayangnya, ia tidak menjelaskan atau memberikan kriteria siapa saja ulama yang dimaksud dengan “ulama salaf” tersebut.
Lebih lanjut ia mengatakan:
“Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah termasuk tokoh-tokoh kelompok salafiyyah. Seorang salaf selalu mengembalikan setiap pendapatnya yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan ataupun muamalat kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Jika dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah terdapat dalil yang menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi, ia akan berpegang pada zahir dalil tersebut. Sebab, berpegang pada dalil semacam itu merupakan kekuatan, keyakinan, dan dalil yang kuat. Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang berbicara dengan lisan kaum salaf. Sikap keras dan fanatiknya dalam beragama dicontoh oleh orang-orang salafi setelahnya. Para pengikutnya sering menghujat sebagian ulama dan ahli hadis yang dianggap telah keluar dari jalur kaum salaf. Lalu, mereka menamakan orang-orang yang dihujatnya itu dengan sebutan Waqifiyyah atau Lafdhiyyah dan mereka menganggap sesat orang-orang tersebut.”
Abdul Mun’im Al-Hafni. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam. (Bandung: Grafindo) 1998. Hlm 534
Abdul Mun’im Al-Hafni melihat bahwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, salah seorang penerus tradisi salafi, telah bersikap secara keras dan berlebihan dibandingkan dengan ulama-ulama yang mereka ikuti. Mereka sering menganggap bodoh para ulama yang tidak sependapat dengan mereka. Bahkan, mereka menyakiti, mendustakan, dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan ulama lain.
Sejarah Awal Muhammadiyah
Beberapa ulama di Indonesia yang beririsan dengan gerakan salafisme ini antara lain Haji Rasul, ayah Buya Hamka, Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Muhammad Djamil Djambek. Haji Rasul dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah di Sumatra Barat. Haji Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Islam modern dan mengembangkan ajaran salafisme di Sumatra Barat juga. Ulama-ulama ini adalah murid dari Syaikh Achmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama kelahiran Sumatra Barat uang menjadi Imam dan Mufti Mazhab Syafii di Makkah yang juga menjadi guru bagi Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Tokoh-tokoh ini setidaknya memiliki dua konsentrasi utama. Pertama, mereka melakukan kritik terhadap tradisi agama yang mereka anggap sebagai bid’ah. Kedua, mereka mengembangkan pemikiran modern dalam hal muamalah duniawiah persis dengan definisi tajdid yang dikembangkan oleh Muhammadiyah belakangan.
Pada dasarnya, kemunculan Muhammadiyah dan Persis bisa dikatakan dengan pelembagaan gerakan salafisme di Indonesia. Kedua organisasi ini menyebarkan ajaran salafisme melalui media massa, dakwah, dan pendidikan. Slogan ar-ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali kepada Alquran da Assunnah) menempati posisi yang penting dalam basis gerakan kedua organisasi ini.
Haedar Nashir, dalam bukunya Gerakan Islam Syariat, mengakui bahwa Muhammadiyah adalah gerakan salafisme reformis. Muhammadiyah banyak diinspirasi oleh pemikiran dan gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Kiai Dahkan, Haji Rasul, dan Hamka dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran salafi.
Wajah Salafisme di Indonesia
Hal yang perlu dipahami adalah bahwa gerakan salafi tidak berwajah tunggal, melainkan bermacam-macam. Salafi sering diidentikkan dengan para pengikut Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Taimiyah, hingga Abdul Wahhab, yang mendapatkan stigma atau julukan dengan istilah “wahabi”. Perbedaan wahabi dengan salafi akhirnya menjadi sering tumpang tindih dan tidak jelas.
Menurut Khalid Abou El Fadl, wahabi menolak keanekaragaman tafsir agama serta menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama. Sedangkan salafi dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Salafi memiliki karakter progresif dan menerima modernitas. Mereka responsif terhadap isu-isu sosial, pendidikan, dan politik. Mereka lebih cenderung menampilkan reformasi pemikiran Islam daripada pemurnian ibadah dan akidah.
Berbeda dengan Khalid, Azyumardi Azra membagi salafisme menjadi salafisme klasik atau salafisme moderat dengan neo-salafisme atau salafisme radikal. Salafisme klasik tidak menampilkan intoleransi dan penolakan terhadap pemikiran modern, sedangkan neosalafisme bersifat intoleran dan tidak menerima atau tidak memberikan apresiasi terhadap pemikiran modern.
Madawi al-Rasheed juga membagi salafisme menjadi salafisme reformis-modernis dan salafisme revivalis. Menurut al-Rasheed, kemunculan salafisme reformis-modernis adalah karena perjumpaan Islam dengan peradaban modern serta keinginan untuk memajukan peradaban Islam. Sementara itu, salafisme revivalis adalah kelompok wahabi yang menekankan purifikasi akidah dan ibadah. Melalui klasifikasi dari Khaled, Azra, dan al-Rasheed, dapat kita ketahui di mana posisi Muhammadiyah berada.
Seiring berjalannya waktu, Muhammadiyah menjadi organisasi keagamaan yang cukup besar. Dalam hal ini, Ahmad Najib Burhani mencatat bahwa pada Muktamar Muhammadiyah 2005 di Malang, kubu koservatif dan fundamental di internal Muhammadiyah semakin menguat. Barangkali yang dimaksud Najib Burhani dalam bukunya yang berjudul Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme ini adalah kelompok yang oleh Rasheed disebut dengan salafisme revivalis, oleh Azra disebut dengan neo-salafisme, dan oleh Khalid disebut dengan wahabi.
Kubu ini sudah lama menjadi mayoritas di Muhammadiyah. Namun, Muktamar 2005 menjadi semacam gong yang mengafirmasi bahwa mereka mendominasi suara. Hal ini dibuktikan dengan absennya perempuan dalam tubuh PP Muhammadiyah, penggantian nama “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” menjadi “Majelis Tarjih” saja, dan keinginan untuk membubarkan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, atau minimal menghilangkan nama Muhammadiyah dari nama organisasi tersebut.
Selain Najib Burhani, Hilali Basya juga mengafirmasi pendapat yang menyebut bahwa wajah Muhammadiyah tidak lagi tunggal. Dalam buku Muhammadyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia: Perlawanan Cendekiawan Muhammadiyah terhadap Revivalisme Islam, ia menyebut bahwa banyak warga Muhammadiyah yang bersimpati bahkan berpartisipasi dalam gerakan Islam revivalis (wahabi/neo-salafisme).
Bagaimanapun, diakui atau tidak, salafisme dengan berbagai karakternya seperti puritan, moderat, bahkan progresif liberal dapat ditemukan dalam tubuh Muhammadiyah. Menurut Hilali Basya, Buya Syafii, Moeslim Abdurrahman, Amin Abdullah, Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Haedar Nashir dapat disebut sebagai sayap salafi moderat dan progresif yang ada di Muhammadiyah. Sehingga, sejatinya tokoh-tokoh inilah yang layak menjadi teladan bagi kader-kader Muhammadiyah dengan berbagai identitasnya yang begitu beragam.