Covid-19 telah menyerang seluruh aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial dan budaya. Menurut pengamatan penulis ada yang menarik selama kasus Covid-19 terjadi di Indonesia. Kejadian menarik tersebut bukan soal gonjang-ganjing kebijakan pemerintah atau ketakutan masyarakat yang cenderung menyebabkan psikosomatis. Namun lebih kepada nampaknya budaya yang berubah dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Kita sempat digegerkan dengan ulah youtuber yang melakukan prank terhadap waria di Bandung hanya untuk membuat konten Youtube atau meningkatkan viewers mereka. Alhasil youtuber tersebut ditangkap oleh polisi dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kejadian yang menimpa youtuber tersebut harusnya mampu menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak mengulang perbuatan yang sama. Namun di sela-sela masa idul adha kembali terjadi kasus serupa yang dilakukan oleh Youtuber asal Palembang, dengan dalih membagi daging kurban. Mereka mengisi kantong plastik dengan sampah yang dibagikan ke warga sekitar.
Kejadian tersebut seolah-olah mengkoyak hati kita untuk ikut berempati kepada korban prank ditengah kesusahan ekonomi yang terjadi akibat Covid-19. Kita merasa bahwa kasus tersebut tidak sepatutnya terjadi di Indonesia yang dikenal sebagai negara yang memiliki budaya kolektif serta nilai-nilai sopan santun didalam masyarakat.
Proses Simbolis Menurut Kuntowijoyo
Fenomena perubahan budaya tersebut menggambarkan bahwa kita telah terpapar oleh budaya industrialisasi. Menurut Kuntowijoyo, masyarakat industri mengalami suatu masalah mendasar yaitu bagaimana cara mereka memahami dunianya (proses simbolis). Masyarakat industri telah mengarahkan manusia pada budaya individual komersil dimana segala sesuatu bermuara pada moneytization.
Kuntowijoyo menerangkan bahwa proses simbolis terdiri dari 3 elemen yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya. Lembaga budaya adalah lembaga yang berperan dalam pengembangan budaya. Dalam masyarakat industri lembaga budaya yang dominan adalah pasar. Pasar yang mengatur bagaimana budaya itu harus dibentuk sesuai dengan keinginan pasar sehingga segala sesuatu harus bermuara pada keinginan pasar.
Isi budaya adalah makna yang terkandung dalam suatu budaya. Karena muara dari budaya industri adalah keinginan pasar maka isi dari budaya tersebut berupa kapitalisme. Dimana individu saling bersaing bebas untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan mereka. Efek budaya adalah dampak yang terjadi akibat budaya yang berlaku dalam masyaraka.
baca juga “Islam Kita Bersama” ala Gus Dur
Dampak dari efek budaya industrialisasi adalah munculnya kebingungan pada jiwa manusia. Manusia mulai kehilangan esensi mereka dan cenderung mengarah kepada manusia-manusia mekanistik. Orientasi manusia bukanlah mencari substansi namun lebih kepada penguangan sosial dimana segala sesuatu dilakukan untuk mendapat uang.
Kasus Ferdinan Paleka serta Edo Putra adalah contoh kecil dari bahaya budaya industri.
Menurut Kuntowijoyo, budaya industri memunculkan berbagai masalah. Pertama, adalah universalisme budaya atau situasi dimana masyarakat dunia tidak memiliki perbedaan budaya dan menghilangnya nilai-nilai luhur dalam budaya lokal. Kedua, adalah individualism atau melunturnya budaya kolektif masyarakat sehingga hilangnya nilai-nilai empati dan gotong royong.
Ketiga, dehumanisasi atau munculnya rasa tidak berdaya dan tidak bermakna diakibatkan oleh penyusutan sifat manusiawi menjadi pencari keuntungan semata-mata. Terakhir, keempat adalah tertutupnya kelas sosial. Dengan sistem kerja yang terbentuk saat ini sangat sulit bagi buruh (kelas bawah) untuk menjadi ekonom kelas atas. Sehingga yang kaya tetap akan langgeng dengan kekayaannya dan yang miskin akan tetap miskin.
Solusi Alternatif dalam Menghadapi Problematika Masyarakat Industri
Untuk menghadapi dan menangani dampak sosial yang terjadi akibat industrialisasi maka kita harus mengganti sumber pengembangan budaya yang ada ditengah masyarakat. Kuntowijoyo merumuskan gagasan tentang Masjid sebagai lembaga budaya. Gagasan ini memiliki spirit untuk menjadikan masjid sebagai pusat budaya dan peradaban, dari masjid gagasan-gagasan diciptakan, pola-pola dan sistem bermasyarakat (muamalah) disusun agar mampu menggeser pola moneytization kearah substance.
Ditengah hilangnya rasa atau makna sebagai seorang manusia, maka agama dengan segala nilai yang melekat didalamnya menjadi salah satu asupan berharga bagi jiwa, dan dari sinilah maka kekuatan agama akan kembali dilirik oleh manusia setelah sekian lama hilang selama masa revolusi industri. Masjid dijadikan sebagai pusat membentuk budaya komunal, internalisasi nilai-nilai agama dan menciptakan kekuatan ekonomi sehingga setiap gerakan manusia sejatinya akan mengarah pada gerakan berbasis nilai bukan hanya sekedar orientasi pribadi semata.
Masjid sebagai Lembaga Budaya
Menjadikan masjid sebagai lembaga budaya juga sangat kontekstual dengan keadaan saat ini. Dimana pada masa pandemi ini maka pembelajaran di sekolah tidak dapat dilakukan tatap muka karena protokoler covid yang harus dijalankan. Dalam kejenuhan dan berbagai masalah yang mengiringi pembelajaran jaran kajuh (PJJ) maka masjid dapat mengambil peran. Komunitas masyarakat desa agaknya bisa menjadikan masjid sebagai basis membangun pembelajaran desa.
Pendampingan dan transfer ilmu dapat dilakukan dengan kelompok kecil berbasis masjid, TPA-TPA tidak lagi hanya mengajarkan ilmu tentang pembelajaran Al-Quran namun juga membuka tangan untuk mengkaji ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh anak-anak. Semangat kolektif untuk menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan berbasis komunitas akan menjadikan masjid kembali ramai tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan akhirat namun juga dunia. Harapannya dengan menjadikan masjid sebagai lembaga budaya maka akan menghasilkan manusia-manusia aktual bukan manusia-manusia simbolis.
ilustrasi: blogkulo.com