Pemilihan Serentak 9 Desember 2020 memberikan kesempatan kepada warga masyarakat di 270 daerah untuk memilih langsung kepala daerahnya. Ratusan bakal calon Gubernur, Bupati dan Walikota sudah bersiap-siap untuk mengikuti kontestasi demokrasi lokal.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi; politisi, pengusaha, selebriti dan tak ketinggalan putra presiden serta putri wakil presiden. Sedari sekarang publik mesti mencermati rekam jejak dan sepak terjang para kandidat agar mempunyai bekal yang memadai sehingga bisa menentukan pilihan secara rasional.
Masyarakat berharap pemimpin yang terpilih adalah sosok yang mempunyai kompetensi dan integritas untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Jika berkaca dari hasil pilkada sebelumnya tidak sedikit kepala daerah yang terpilih kinerjanya tak seperti yang diharapkan.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2020 jumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebanyak 143 orang. Alih-alih bisa mendatangkan kemashlahatan bagi masyarakat malah menambah daftar panjang koruptor di tanah air.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merefleksikan demokrasi yang menjunjung kedaulatan di tangan rakyat. Pilkada langsung bisa menjadi indikator pengukuran partisipasi serta pemahaman politik masyarakat. Konstituen juga akan lebih mengenal calon pemimpin beserta visi dan misinya.
Sebaliknya kelemahan sistem pilkada langsung antara lain menyedotkan anggaran yang besar. Membuka ruang terjadinya praktik politik uang sehingga cost politic menjadi sangat besar yang mesti dikeluarkan oleh para kandidat. Dampaknya bisa memicu praktik korupsi disaat menjabat untuk mengembalikan modal pencalonan.
Sistem pemilihan langsung membutuhkan kerja keras dari pasangan calon kepala daerah untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Banyak cara dilakukan agar sosoknya dikenal luas oleh masyarakat sebanyak-banyaknya. Sehingga tidak heran jika partai politik memilih jalan pintas dengan mengusung public figur atau selebritas yang sudah populer.
Tiga Faktor Kandidat
Sejumlah konsultan politik menyebutkan tiga faktor yang harus dimiliki oleh kandidat kepala daerah agar dapat memenangkan pemilihan, yaitu;
Popularitas, adalah tingkat keterkenalan seorang figur di mata masyarakat. Popularitas seorang figur merupakan modal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian publik. Popularitas tersebut nantinya akan dapat mendongkrak elektabilitas figur tersebut dengan membangun pencitraan, baik secara langsung di masyarakat maupun melalui berbagai media massa.
Akseptabiltas, adalah tingkat penerimaan/kesukaan pemilih terhadap calon. Banyaknya aspek yang menjadi pertimbangkan publik untuk menilai dan menerima kandidat karena harus melalui proses berfikir bagi para pemilih. Diantaranya adalah kualitas, kompetensi, integritas, profesionalitas, personalitas, perilaku, prestasi, reputasi, kepemimpinan, visi dan lain-lain. Secara keseluruhan, tahap akseptabilitas menjadi moment krusial (paling penting) bagi kesuksesan calon.
Elektabilitas, adalah tingkat keterpilihan atau ketertarikan publik dalam memilih sesuatu, baik itu seorang figur, lembaga atau partai dimana informasi tersebut didapatkan dari hasil berbagai survei. Secara umum untuk meningkatkan elektabilitas seorang kandidat maka harus populer dan memenuhi kriteria keterpilihan, misalnya dikenal baik oleh masyarakat luas, terbukti memiliki kinerja yang baik, mempunyai prestasi di bidang tertentu dan memiliki rekam jejak yang positif di bidangnya.
Ketiga faktor tersebut merupakan panduan bagi para calon kepala daerah yang ingin sukses dalam pemilihan. Hasil survei biasanya menjadi alat ukur untuk mengetahui sejauhmana peluangnya meraih kemenangan. Strategi kampanye dan pencitraan tak bisa dilepaskan untuk membangun persepsi positif ditengah masyarakat.
Mencari Pemimpin yang Layak
Lantas, bagiamana masyarakat mencari sosok yang layak dipilih sebagai pemimpin daerah?
Semua orang tentu sepakat bahwa seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang dermawan. Dengan kedermawanan tersebut seorang pemimpin akan memiliki integritas yang tinggi dan disegani oleh masyarakat di sekelilingnya. Bagaimana cara mengetahui bahwa seorang calon kepala daerah adalah sosok yang dermawan?
Jawaban yang paling obyektif adalah bertanya kepada para tetangga di sekitar tempat tinggal sang kandidat dalam keseharian. Kedermawanan yang genuine bukan pencitraan yang direkayasa demi meraih simpati publik. Sifat dermawan tercermin dari spontanitas dan kebiasaan yang dilakukan untuk membantu sesama. Orang yang dermawan selalu ringan tangan tergerak hati untuk memberi tanpa diminta.
Dermawan tanpa Pencitraan
Ciri-ciri orang yang memiliki sifat dermawan ia selalu menyayangi siapa pun; rela berkorban untuk menolong manusia; tidak sombong ketika memiliki harta melimpah; selalu menggunakan hartanya untuk kebaikan dan mendahulukan kepentingan umum. Seorang dermawan yang terpilih sebagai kepala daerah berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dan menjadi motor penggerak masyarakat untuk menjalankan kepemimpinan secara efektif dan efisien.
Proses demokrasi yang bergulir dalam pemilihan kepala daerah semestinya menjadi ajang kompetisi kebaikan. Sosok-sosok dermawan yang masih tersimpan ditengah masyarakat harus didorong untuk memimpin daerah agar dapat mensejahterakan rakyat. Publik dan partai politik harus berani memutus mata rantai oligarki dan dinasti politik yang hanya menjadikan kekuasaan sebagai alat menumpuk kekayaan diri dan kelompoknya.
Bercermin dari Khalifah Abu Bakar As-Shidiq selalu berkata, “Aku adalah manusia biasa dan bukan manusia terbaik di antara kamu. Apabila kalian melihat perbuatanku benar, ikutilah aku. Tapi, bila kalian melihat perbuatanku salah, maka perbaikilah.” Kita menyadari pemimpin itu bukan malaikat, melainkan manusia biasa yang tak pernah luput dari salah. Menjadi pemimpin daerah harus peka dan sensitif terhadap suara hati warganya. Kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kemaslahatan umat harus diperbaiki demi perkembangan dan kemajuan daerahnya.
Sebaliknya, masyarakat juga harus bisa bersikap adil terhadap pemimpinnya. Kerja yang baik serta keberhasilan yang menyertainya harus diakui dan diapresiasi. Rakyat tidak menutup mata atas kerja baik pemimpinnya. Sebaliknya, pemimpin yang kinerjanya kurang baik harus diingatkan dan diberi masukan untuk perbaikan. Bukan malah memuja dan mendewakannya secara membabi buta karena pemimpin juga manusia biasa.
Singkatnya, pemimpin yang baik akan lahir dari masyarakat yang baik, yang memberikan suaranya dengan niat tulus ikhlas bukan karena politik iming-iming. Kita berharap siapapun yang terpilih dalam pilkada dapat menjadi pemimpin dermawan yang selalu mencintai warganya dan dicintai oleh rakyatnya.
Editor: Yusuf