Sedang berdoa?
Menunduk, menengadah, mengangkat tangan, membacakan doa-doa template? Yang mudah terbaca Tuhan, yang seperti biasa, tentang kesejahteraan, kesehatan, keberkahan, keselamatan, kebahagiaan, serta tunjangan?
Tak ayal, tidak hanya melalui wirid setelah fardhu. Doa-doa itu terpanjatkan melalui surah-surah al-Qur’an yang kita baca. Melalui imam-imam di surau.
Maa wadda’aka Rabbuka wa maa qalaa… [Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu.]
Rasanya surat Ad-Dhuha yang dibaca (meski tanpa disadari oleh pembacanya), seperti begitu dekat, seperti bergema, sesekali seakan berbisik pada telinga-telinga kaum beriman. Tidak saja surat tersebut ditujukan kepada Muhammad. Tuhan tetap ada, hingga zaman kiwari. Di mana meskipun kekacauan demi kekacauan terjadi, seakan-akan Ia tak ada. Tidak! Ia tetap ada, sekali-kali tidak meninggalkan kaum beriman. Ia Maha Melihat, Maha Mendengar.
Atau sesekali pada waktu fajar, imam-imam surau yang menerjang hujan pagi tak kunjung reda, dengan suara yang parau membacakan ayat terakhir dalam surah al-Qadr rakaat kedua shalat, “…salaamun hiya hattaa mathla’il fajr..” [Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.]
Petunjuk Dalam Mengarungi Zaman
Di tengah krisis pangan, sementara suasana Ramadan yang kian dekat, aparat plat merah menyiapkan bahan makanan cukup bagi masyarakat yang hendak berpuasa, menahan diri, namun tetap konsumtif. Ramadan adalah market, Ramadan yang tidak lagi menjadi bulan ladang amal, namun menjadi ladang cuan bagi sebagian banyak pihak.
Atau sesekali pada waktu Isya, imam-imam surau membacakan ayat terakhir dalam surah Quraisy rakaat kedua shalat, “…alladzi ath’amahum min ju’ wa amanahum min khauf.” (yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.)
Doa-doa melangit saban detik. Tertuju kepada-Nya tanpa filtrasi.
Shalat itu sendiri merupakan doa. Sebelum kita bacakan surah-surah pendek, orang-orang yang shalat membaca al-Fatihah, pembuka. kita baca setiap shalat. Minimal dua kali surah tersebut kita repetisi dalam satu kali shalat.
Karena begitu seringnya surat tersebut kita baca, apakah menjadi kian hambar, seolah-olah diri ini tidak lagi merasa sedang berdoa. Mengingat agung dan dalamnya kandungan surah ini sebagai Ummul Kitab.
Di dalamnya terdapat permohonan petunjuk dalam mengarungi zaman. Melampui batas ruang dan waktu. Barangkali terdapat suatu rahasia petunjuk yang urung Ia bukakan kepada hamba-Nya? Sehingga surah ini terus kita ulang-ulang tidak saja dalam shalat, bahkan pada setiap aktivitas umat muslim.
Di dalam salah satu ayat surah Al-Fatihah, “Ihdinaa as-shiraat al-mustaqiim…” (Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus).
Ihdina dalam Tafsir Al Azhar
Hamka katakan dalam tafsir Al-Azhar, “Inilah yang kita mohonkan dengan isti’anah kepada Allah, dengan berpedoman kepada al-Qur’an. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar hanya satu, tidak berbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, iqtishad (perekonomian), ijtima’ (kemasyarakatan), siasah (politik), dan sebagainya. Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya, jangan sampai kita menjadi “datuk segala iya” atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angina ke mana ia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma, “arang habis, besi binasa”.
Ihdinaa, Ya Rabb. Tunjukilah kami jalan rahasia-Mu. Ayat yang berkandung di dalamnya doa, kita baca sebagai permohonan bagi orang-orang yang gelisah, kita tujukan kepada Rabb-nya. Menghendaki agar tuhan berikan jalan terang untuk menghadapi peliknya persoalan hidup sebagai individu maupun sosial.
Ihdinaa, Ya tuhan. Tunjukilah kami jalan rahasia-Mu. Suatu jalan di balik teks suci yang masih kita simpan-Nya sebelum kita berikan-Nya kepada hamba-Nya yang memohon. Sebagai jalan rahasiamu, untuk kami cerap, membasahi dahaga-dahaga kemanusiaan yang lama menganga.
Ihdinaa, Ya tuhan. Ucap kata yang menanggung makna yang berbeda. Lafadz yang begitu berisi menanggung hasrat dan kebutuhan, membuat seorang hamba bersimpuh. Memohon. Doa-doa tidak menjadi template. Ia menjadi semacam narasi dialog bersama kekasihnya. “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Al-Qur’an (2): 186.
Editor : Akbar S