Kalimahsawa.id – Gus Yahya, sapaan akrab Yahya Cholil Staquf, bercerita bahwa Islam Nusantara dijadikan tema pada Muktamar NU pada tahun 2015. Tetapi, terminologi Islam Nusantara sama sekali tidak disebut dalam berbagai hasilnya. Tidak ada diskusi sedikitpun mengenai Islam Nusantara di dalam Muktamar NU 2015 tersebut.
Islam Nusantara
Ia menyebut beberapa tahun yang lalu lembaga Bahtsul Masail NU mengadakan lokakarya mengenai Islam Nusantara selama 3 hari. Saat ia diminta membuka, ia sampaikan bahwa lokakarya seperti ini tidak perlu. “Kita tidak perlu membuat definisi tentang Islam Nusantara. Biarkan orang menikmatinya dengan cara-cara masing-masing”, ujarnya.
Hal ini ia sampaikan dalam Simposium Nasional Islam Nusantara yang diadakan oleh Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Acara yang bertajuk “Islam Nusantara dan Tantangan Global” ini diselenggarakan di Gedung PBNU pada Sabtu – Minggu (8-9/2).
Menurutnya, Islam Nusantara tidak perlu didakwahkan, karena itu adalah realitas kehidupan masyarakat. Yang didakwahkan adalah nilai-nilai keislaman, sedangkan Islam Nusantara bukan nilai-nilai. NU sejak awal mengangkat wacana itu sebagai strategi komunikasi.
Ia menyebut tidak akan ada Islam Nusantara jika tidak ada radikalisme. Masyarakat sedang menghadapi realitas dimana orang-orang terdidik yang bergabung dengan HTI dan ISIS. Maka, ada sesuatu yang harus dicari, yaitu sebab kenapa mereka bisa ikut bergabung dengan gerakan radikalisme.
Seorang pakar radikalisme, sebagaimana yang dikutip oleh Gus Yahya, mengatakan bahwa tidak ada variabel yang konsisten, yang membuat orang bisa bergabung dengan gerakan radikalisme. Satu-satunya variabel yang konsisten hanyalah Islam. Orang-orang yang saling berkonflik di Timur Tengah semuanya adalah orang Islam.
Tawaran Wacana Nahdlatul Ulama
Khatib ‘Aam PBNU ini mengatakan bahwa NU sudah melahirkan wacana-wacana untuk menawarkan beberapa wacana untuk menyelesaikan masalah. Pada bulan Februari 2019, di Munas, NU sudah menemukan 4 kunci permasalahan peradaban. Salah satunya adalah tentang kedudukan orang “kafir” sebagai warga negara. Menurut Munas NU tersebut, definisi kafir tidak lagi relevan di dalam negara bangsa modern.
Menurutnya, sebagian umat Islam melakukan demonstrasi untuk mencegah pembangunan gereja karena mereka menganggap gereja adalah tempat ibadah orang-orang kafir. Orang-orang Rohingya dipersekusi karena orang-orang Rohingya dianggap kafir oleh pemerintah China. Maka tembok ini harus diruntuhkan.
“Kita juga menolak khilafah dengan kerangka teologis yang jelas. Kita menolak dibenturkannya syariat Islam dengan hukum negara. Kita menolak untuk ikut serta di dalam konflik yang terjadi, tetapi mewajibkan perjuangan perdamaian. Ini semua adalah pandangan yang baru. Tetapi, kita berani karena kita memiliki cara memahami realitas secara lengkap”, tegasnya.
Alam Pikiran Konflik yang Telah Mapan
Menurutnya, semua realitas yang terjadi ini adalah sisa dari sejarah panjang konflik antar agama, yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun, yang membuat konflik itu sendiri menjadi sebuah kemapanan. Dan itu dimanifestasikan di dalam semua lini, termasuk fatwa-fatwa keagamaan.
Turki Utsmani tidak pernah berhenti perang melawan Eropa selama ratusan tahun, dan ini mengendap di dalam alam pikiran muslim maupun non-muslim. Inggris menandatangani perjanjian Balfour dan Amerika melakukan agresi ke Irak juga karena dipengaruhi oleh alam pikiran konflik yang telah mapan.
baca juga: Yahya Cholil Staquf: Masih Relevankah NU?
Gus Yahya menyebut kalau hal ini diteruskan, maka tidak ada masa depan bagi peradaban global melainkan hanya keruntuhan bersama. Maka, referensi perdamaian yang utama adalah kebutuhan bersama akan masa depan. Bukan romantisme masa lalu. Karena yang ada pada masa lalu adalah permusuhan, kemarahan, dendam, dan kegagalan. Mari kita bicara tentang masa depan.
“Yang kita butuhkan adalah perubahan alam pikiran dari seluruh pihak, tidak hanya umat Islam saja. Tidak adil jika hanya umat Islam yang disalahkan, tapi tidak bicara tentang bagaimana alam pikiran Barat”, jelasnya.
reporter: Yusuf R Y