Kebangkrutan etika moral di abad 21 ini ditandai dengan dominasi penguasa korup, bandit ekonomi, candu popularitas, neokolonialisme dan ketidakadilan yang menjadi fenomena umum dimana-mana. Masyarakat sengaja dididik untuk tetap diam dan tunduk pada penguasa serta dirancang sedemikian rupa agar penindasan tidak terlalu nampak (Invisible Hand Enemy) di alam bawah sadar mereka.
Ini berbeda dengan progresif, seperti Hasan Hanafi, Ali Shariati, Ashgar Ali, Farid Esack dan mereka yang menyadari penindasan wajah baru. Mereka menuntut revolusi pemikiran dan keadilan sosial atas nama kemanusiaan yang mengindahkan kesadaran kolektif dan praktis mereka yang beriman untuk mengutuk keras bentuk-bentuk eksploitasi, penindasan, dan kesombongan kekuasaan yang disebut juga dengan teologi pembebasan.
Berangkat dari teologi pembebasan, Farid Esack menjelma menjadi intelektual-aktivis antiapartheid. Apartheid sendiri merupakan politik diskriminasi warna kulit yang diterapkan Afrika Selatan. Atas dasar tanggung jawabnya sebagai seorang yang beriman, Farid Esack menafsirkan teks-teks al-Qur’an sebagai bagian terpenting dalam teologi islam. Dengan kata lain, dia mendiskusikan bagaimana teks Illahi itu mesti ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi pendorong spirit anti penindasan.
Mengenal Lebih Dekat Farid Esack
Farid Esack dilahirkan pada tahun 1958 di pinggir Cape Town, tepatnya di Wymberg dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama dengan lima anaknya yang lain di Wymberg. Sepeninggal sang ayah, dia bersama saudara kandungnya yang lain dan saudara seibunya, hidup terlunta-lunta di Bounteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang kulit hitam dan berwarna. Dalam bukunya, Qur’an Liberation and Pluralism, Farid Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikirannya di kemudian hari.
Di tengah keterhimpitan hidup, Farid Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas kaki dan buku-buku yang memadai. Namun demikian, di atas segalanya tidak ada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarganya selain saat dia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan. Suatu kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Farid Esack yang kemudian meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata; surga, neraka, dan lain lain.
Bagi Farid Esack, teologi yang terlalu mengurusi urusan Tuhan, sementara urusan Tuhan adalah Dzat yang tidak perlu diurus dan dibela adalah teologi mubadzir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Dia meyakini bahwa teologi harus di praksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makhluk-Nya, demikian menurut Farid Esack maka kita telah sama saja dengan mengabdi kepada Tuhan.
Geneologi Keilmuan Farid Esack
Farid Esack menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bounteheuwel, Afrika Selatan di tengah kesulitan yang mendera hebat. Pada waktu itu, dia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen. Selama tahun 1973-1981, dia menghabiskan waktunya untuk mengikuti scholarship di Pakistan, sambil mengajar di St. pattrich High School, Karachi.
Pada tahun yang sama, dia belajar pendidikan teologi di Jaamia Arabia Islamia, Jamia Alima, Jamia Abu Bakr Karachi Pakistan, sampai kemudian mendapat gelar sebagai seorang teolog Islam. Sekembalinya Farid Esack, di tengah aktivitas sosial keagamaannya yang penuh risiko menentang kekuasaan apartheid di Afrika Selatan, ia kemudian melanjutkan studinya di Inggris.
Dia menerima gelar Ph.D. dari Universitas Brimingham, Inggris di bidang Tafsir Alquran selama setahun antara 1994-1995. Ia adalah peneliti Hermeneutika Biblika di Philosophische Theologische Hochschule, Sankt Georgen, Frankfurt, Jerman. Sekembalinya dari Eropa, Farid pernah tercatat sebagai associate profesor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan.
Sampai saat ini, Farid Esack telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya adalah Qur’an Liberation and Pluralism (1996), On Being A Muslim: Finding A Religious Path in the World Today (1999), dan An Introduction to the Quran (2002), yang semuanya diterbitkan di Oxford, Inggris. Esack mengagumi dan mengidolakan Abu Dzarr Al-Ghifari, bapak sosialisme Islam. Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Farid Esack selanjutnya yang bersahaja.
Perlawanan Farid Esack terhadap Rezim Apartheid
Farid Esack terlibat aktif dalam kegiatan sosial-keagaman di Afrika Selatan. Kekejaman rezim apartheid yang rasis terhadap orang lain di Afrika Selatan semakin meyakinkannya dengan gerakan kemanusiaan yang mempromosikan keadilan dan perdamaian dalam semangat solidaritas agama. Kerana itu pada 1984-1989 ia diangkat menjadi koordinator nasional gerakan Call of Islam. Kemudian The United Democratic Front, The Organisation of people Againts Sexim dan The Cape Againts Racism.
Karena bakat menulisnya yang luar biasa, ia menuangkan berbagai gagasan dan pemikirannya pada tulisan yang tersebar dalam koran dan majalah di Afrika Selatan. Hasilnya, dia menjadi karakter pusat aktivis muslim yang berjuang untuk kebebasan rakyat tanpa memandang agama, budaya , dan ras menuju negara Afrika Selatan yang baru.
Di Afrika Selatan pasca apartheid, kaum minoritas seperti Hindu, Yahudi, dan Muslim mendapatkan hak yang sama dengan kelompok kulit hitam mayoritas, dan juga kelompok kulit putih. Dalam konteks kebangsaan, Farid Esack selalu menegaskan perlunya sebuah upaya bersama yang sifatnya melintas agama, antar etnis, dan antar kelompok untuk sama-sama melawan penindasan, kedzaliman, kesewenang-wenangan, dan kejahatan kemanusiaan.
Hubungan erat antara teks Al-Qur’an dengan realita menjadi spektrum yang memicu Farid Esack untuk memikirkan kembali teks Al-Qur’an yang di kontekstualisasikan dengan realitas Afrika Selatan dalam perjuangannya untuk membebaskan yang tertindas oleh rezim apartheid. Perjuangan Farid Esack dalam melawan rezim apartheid di Afrika Selatan sekaligus menjadi bukti bahwa, baginya Al-Quran adalah teks pembebasan dan tafsir progresif yang harus selalu disuarakan.
Editor: Anisa Kurniarahman