Seperti umumnya mahasiswa rantau, pulang menjadi tradisi wajib setiap memasuki awal bulan Ramadan. Memastikan santap sahur bersama dikampung halaman dengan orang-orang terkasih adalah kemewahan yang tidak boleh terlewatkan.
Sebagai mahasiswa dengan latar akademik pendidikan agama Islam memberikan semacam beban moril yang lebih berat, terlebih ditengah masyarakat kita dianggap serba tahu’ terkait perkara-perkara agama.
Ini seperti ujian terbuka dalam universitas kehidupan yang semakin menggugah kesadaran bahwa bertanggung jawab secara kompetensi gelar akademik adalah keharusan. Meski tentu dalam beberapa hal saya sering disclaimer dan terbuka untuk sesuatu yang memang saya belum ketahui. Nda tau juga saya pak/bu… hahaha
Menjelang waktu isya di beranda masjid saya di bisikilah oleh sepupu yang kebetulan panitia meminta kesediaan mengisi ceramah taraweh, refleks saya senyum dan ketawa tipis-tipis sambal berfikir bagaimana caranya supaya yang lain saja bukannya menyiapkan apa kira-kira poin subtantif yang penting untuk disampaikan sebagai materi ceramah.
Dan akhirnya dengan segala keterbatasan saya mengisi ceramah taraweh yang beberapa poinnya akan saya tulis di sini. Fyi, ini cukup traumatik karena pernah beberapa tahun silam di interupsi oleh salah satu jamaah (ibu saya sendiri) dan di minta berhenti. Sudami dulu nak, lain kalipi lagi… (kurang lebih bahasanya begitu), kejadiannya sekitar tahun 2013 atau 2014. Sangat memorable hahaha
Membuka dengan Do’a Malaikat Jibril as.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. Kurang lebihnya begini, pernah suatu waktu Malaikat Jibril datang dan menyampaikan tiga do’a dan langsung di sambut oleh Rasulullah Saw. dengan Amiin…Amiin…Amiin. Lalu para sahabat bertanya apakah yang sedang di aminkan oleh Rasulullah.
Salah satu do’a yang di aminkan itu adalah “Celakalah, celakalah ummatmu Muhammad yang berkesempatan bertemu dengan bulan Ramadan tapi dia sama sekali tidak mendapatkan ampunan dari Allah Swt.” Dalam Riwayat yang lain (HR.Muslim) Rasululullah Saw. Bersabda “Barangsiapa yang bertemu bulan Ramadan kemudian berlalu begitu saja dan dia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt. Maka celaka dia, celakalah dia!”
Ramadan adalah lautan magfirah (ampunan) yang sungguh merupakan kerugian amat besar ketika tidak memaksimalkan diri untuk memperoleh magfirah-Nya. Tempaan Ramadan harusnya menjadikan kita pribadi yang semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ilallah) dengan amalan-amalan yang meperkokoh fitrah kita sebagai hamba –abdillah- (QS.51:56).
Ketika Ramadan dalam makna etimologisnya adalah membakar (ramida, ar-ramad). Sedang perintah puasa sebagai ibadah istimewa di dalamnya dalam makna etimologinya adalah menahan (shiyam, shaum).
Maka api Spirit Ramadan yang harus senatiasa kita kobar dan rawat-aktualkan adalah dengan menjadikannya madrasah ruhani sebagai sarana dalam mendidik diri mengeliminir dan menundukan syahwat biologis kita (bashariyun) dan segala bentuk penguasan yang buruk (fujur) menuju fitrah kemanusian kita yang otentik (insaniyah-taqwa).
Semangat amaliyah Ramadan adalah fastabiq al-khaerat (berlomba-lomba dalam kebajikan), mengupayakan dengan daya optimal kebajikan-kebajikan (‘amalun shalihah) dengan kualitas yang ahsanu ‘amala.
Kiranya yang ingin kita capai bukan sebatas kenikmatan spiritual individualistik saja tetapi spritualitas yang mengkristal menjadi kebermanfaatan dan berorientasi kepada kemaslahatan sosial. Boleh jadi kata ‘celaka’ yang di maksud Jibri as.
Dalam Riwayat di atas adalah mereka yang hanya tenggelam dalam ritus personal tetapi abai menangkap nilai pembebasan Ramadan dalam melatih empati social kita sebagai bentuk holistic dari spritualitas yang harus kita gali kedalamannya sehingga mengalir-deraskan magfirah (ampunan) dalam balutan Rahman-Rahim-Nya.
Dari ibadah ritual ke ibadah sosial
Kita mengimani bahwa setiap syariat yang di perintahkan utamanya yang pokok dalam agama. Tidak hanya berdiri sebagai sesuatu yang vertical-ilahiyah atau semerta bentuk hubungan kepada Tuhan semata (habluminallah). Tetapi secara bersamaan wujud relasi ilahiyah itu mengandung nilai yang seimbang (balance) dengan hubungan horizontal kita kepada sesama makhluk (habluminannas, habluminal ‘alamin).
Perintah puasa misalnya, secara umum adalah aktifitas menahan diri dari perbuatan yang berupa syahwat perut dan kemaluan serta hal-hal yang membatalkannya sesuai yang di tetapkan syariat sampai waktu yang telah di tentukan (QS.02:187).
Pada saat yang sama kita seperti di perintahkan untuk membaca perintah puasa ini melampaui teksnya (bayani). Pesan pastinya tentu saja bagaimana puasa ini melatih sensitivitas sosial kepada yang berkekurangan. Puasa adalah ritus yang mengarahkan keberpihakan kita secara moril kepada sesama yang membutuhkan (dhuafa).
Kita juga melihat bahwa adapun orang-orang yang dalam kondisi tertentu memenuhi persyaratan tidak berpuasa (sakit, uzur dan lainnya). Maka selalu ada dispensasi dan punishment yang diberikan pun adalah sanksi-sanksi yang punya kebermanfaatan sosial secara langsung seperti membayar fidyah keorang miskin atau memberi makan orang-orang lapar.
Itulah mungkin yang di maksud oleh Ali Syariati dalam bukunya islam dan sosialisme bahwa ritus puasa adalah bagaimana belajar menjadi orang miskin dan belajar kelaparan. Belajar setara dan merasakan saat tak punya.
seperti halnya puasa, ibadah primer yang lain tentu mengandung dimensi social (habluminannas) yang tak kalah kuat. Ketika Allah Swt. memerintahkan shalat maka sesungguhnya itu adalah perisai yang idealnya menjadi tameng untuk kita terhindar dari hal-hal yang merusak -diri dan kehidupan social- (tan-haa ‘anil-fahsyaai wal-mungkar) dan segala bentuk penyebab patologi social yang lain (QS.29:45).
Zakat pun demikian, sebuah konsep pemeratan dan distribusi keadilan yang islam tawarkan untuk menjawab ketimpangan social dan ekonomi. Satu dari kompleksnya problem kemanusiaan yang kita hadapi.
Pengamalan nilai-nilai ‘ubudiyah harus mulai menaikkelaskan dari sesuatu yang sifatnya ritus-formil menjadi praksis-sosial. Dimana pancaran cahaya dimensi esoteric (batiniah) dari ibadah yang dilakukan menjadi navigator sekaligus stimulator segala tindakan eksoterik (lahiriah) kita sehingga menghasilkan kehidupan yang saling mengasihi, menebar kedamaian, kebermanfaatan, membantu sesama yang membutuhkan, dan tidak memberi ruang sedikitpun kepada apapun yang merusak keharmonisan social kemanusian.
Dengan ini derajat kehambaan kita pacu untuk selalu bergerak maju menuju kesempurnaan kemanusiaan (insan kamil) sebagai fitrah dari kesempurnaan penciptaan (ahsanu taqwin). Dan menghidarkan diri dari segala bentuk yang menjerumuskan kita kepada kerendahan dan kehinaan kehidupan (asfala safilin). Khairunnas anfauhum linnas, Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat kepada yang lain (HR.Ahmad).
Merebut Mahkota Taqwa
Seringkali kita mendengar pengandaian bulan Ramadan sebagai bulan kompetisi untuk mengejar predikat taqwa. Lewat mimbar-mimbar masjid provokasi kabaikan itu tersampaikan sehingga hasrat beramal semakin terpacu demi mendapatkan predikat muttaqien (QS.02:183).
Dalam banyak hal Ramadan memang kadang menyuguhkan fenomena kekagetan spiritual. Tentu saja ini hal yang positif tetapi problem selanjutnya kadang menyisakan durabilitas spiritual yang lemah. Boleh jadi penyebabnya ada pada kualitas pengayaan amaliyah kita yang rendah sehingga nafas konsistensi pengamalan Ramadan kita juga tidak berkelanjutan (sustainable).
Dalam kamus keagamaannya, Prof. Quraish shihab menerjemahkan taqwa sebagai upaya menjaga diri dari segala yang membahayakan (bentuk Masdar dari ittaqa-yattaqi). Beliau melanjutkan bahwa taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt. Dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya.
Taqwa dalam analogi al-qur’an di sebut sebagai pakaian (libaasut-taqwaa, QS.07:26). Sementara dalam salah satu kajian, Sukidi (Intelektual Muda Muhammadiyah) menyebut taqwa sebagai upaya pendayagunaan akal secara optimal.
Ramadan adalah momentum yang paling tepat untuk merajut Kembali fitrah taqwa dalam diri melalui amaliyah-amaliyah (‘amalun shaliha). Amalan dengan kualitas paling terbaik (ahsanu ‘amala). Apa yang kita miliki itu sebagai upaya totalitas (kaffah) dalam mengaktualkan kehambaan kita kepada Allah Swt.
Sehingga nilai Ramadan ini menjadi pakaian ketaqwaan yang memproteksi kita dari apapun yang menjerumuskan kita keluar dari fitrah penciptaan sebagai khalifatullah (QS.02:30) dan Abdullah (QS.51:56). Karena sesungguhnya mental ibadah dari madrasah ruhani bernama Ramadan ini tidak hanya berakhir dalam hitungan hari saja.
Tetapi memiliki kontiniuitas (istiqamah), menjadi habitus dan kita sama-sama mengharap Ridha-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-Nya yang muttaqien. Amiin.
Editor: Rahmat