Masa transisi dari siswa ke mahasiswa adalah sebuah dinamika dalam memutuskan perkara ketika berada di bangku sekolah. Khususnya bagi pelajar menengah ke atas, atau lebih pasnya disebut sebagai masa SMA. Pada semula hanya menganut gagasan dan perkataan seorang guru.
Tetapi ketika menjadi mahasiswa baru secara tidak langsung akan membuat paradigma yang baru lagi untuk kehidupan di kampus.
Semasa SMA di ujung periode akhir atau bisa disebut sebagai kelas dua belas, maka akan di suguhkan dengan tiga kata kunci untuk menentukan kehidupan selanjutnya ketika keluar dari sekolahan.
Tiga kata kunci itu adalah menjadi mahasiswa, kerja dan nikah. Nikah bagi yang mampu baik finansial dan biologisnya. Sedangkan kerja bagi yang ingin menjadi kapitalisme atau timbulnya faktor ekonomi yang kurang.
Sedangkan menjadi mahasiswa adalah suatu impian dan dambaan bagi seseorang untuk melanjutkan karir pendidikannya.
Sebuah kalimat dari mbak nana (Najwa Shihab) yang pernah ia katakan “sebuah keberuntungan seorang yang tamat dari SMA kemudian ia melanjutkan pendidikannya menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa tidaklah mudah sebab hanya di miliki oleh sebagian orang saja. Sehingga seorang tadi hendaklah bekerja dan berikhtiar semaksimal mungkin agar menjadi mahasiswa yang aktif dan cerdas”.
Kultur Ketika Menjadi Siswa Yang Harus Diubah Ketika Menjadi Mahasiswa
Budaya dan adat berpikir dari SMA adalah suatu yang tidak dapat diubah secara mutlak. Sebab daya berfikir seseorang sangatlah berbeda. Jika di ibaratkan, maka sebuah gelas tidak akan dapat di isi oleh air sebab air yang harus di isikan tidaklah dicari.
Sama halnya dengan sebuah ilmu atau sebuah informasi, jika ia tidak di dapatkan maka ia tidak dapat memenuhi otak. Sebab otak hanya akan merekam dan menginngat sebuah informasi jika informasi itu difahami dan di kaji lebih dalam.
Bahkan untuk mengubah akhlak seseorang saja diperlukan usaha yang cukup. Tidak hanya bermodal omongan saja, tapi aksinya juga dibutuhkan untuk dapat menarik sehingga mereka pun akan berasumsi baik kepada kita dengan memberikan feed back terbaiknya. Atau bahkan ia akan berkorban materi demi bisa mengubah orang lain.
Tidak hanya itu saja, akan tetapi paradigma mahasiswa sebenarnya adalah bagaimana ia menjadi manusia yang aktif, cakap, kritis dan bisa menjadi sosok teladan. ini merupakan problem yang belum dipahami dan diketahui oleh kebanyakan mahasiswa baru.
Maka mengesampingkan berbagai hal yang tidak berhubungan dengan perkuliahan hendaknya di jauhkan atau ditinggalkan terlebih dahulu demi mencari sebuah kesuksesan.
Mahasiswa Dan Ideologi Humanisme
Mahasiswa adalah siswa lanjutan dari masa pelajar untuk menjadi dewasa. Dalam proses menjadi dewasa bukan perihal tentang bertambahnya ukuran tubuh atau bertambahnya berat badan. Akan tetapi menjadi dewasa juga akan menyangkut pautkan cara berpikir secara bijak dan menjadikan diri agar bisa berpikir kritis.
Bermodal kreatif dan inovatif akan menciptakan dinamika berfikir kritis dan dinamis. Dan kedua hal ini harus di tanamkan dalam sosok mahasiswa baru. Jika tidak, maka salah satu dari keduannya (berkreatif dan inovatif) hendaklah menjadi sokongan terhadap ideologi humanisme.
Di mana rasa kemanusiaan akan ditumbuhkan melalui humanisasi. Aspek kemanusiaan juga berkaitan dengan menajalin kekerabatan antar mahasiswa baru yang masih canggung satu sama lain. Dan alasan dasarnya adalah malu karena belum kenal.
Sungguh ini adalah alasan klasik yang haru diubah dengan berideologi humanisasi. Ber-humanisasi adalah cara untuk merekatkan hubungan satu dengan yang lain agar menjadi mahasiswa yang satu tujuan, terutama bagi kalangan mahasiswa baru.
Ideologi humanisme ini sangatlah cocok untuk kalangan mahasiswa baru dalam menjalin rasa kekeluargaan yang solid. Tanpa adannya ideologi humanisme ini maka problematika di kalangan intern mahasiswa baru sendiri akan berantakan dan akan menimbulkan berbagai golongan melalui pihak-pihak tertentu dengan opini dan ideologi yang disuguhkan.
Humanisme sendiri adalah social man yang berarti menjalin rasa sosial antar manusia satu dengan yang lain sehingga timbul simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak agar mereka satu tujuan dan satu nahkoda serta satu ideologi yang tidak goyah.
Pada penerapannya humanisme sendiri tidak berpihak untuk masyarakat saja, akan tetapi lebih tepatnya bagi tiap-tiap manusia yang menjalin interaksi. Kebanyakan manusia sendiri dalam menjalin komunikasi satu dengan lainnya sangatlah kurang disebabkan oleh rasa ego yang sangat tinggi.
Editor: Rahmat Rusma