Oleh: Abimanyu Tri Wardana
“Ketuhanan Yang Maha Esa” itulah bunyi sila pertama Pancasila yang merupakan dasar negara sekaligus pedoman hidup berbangsa rakyat Indonesia. Ditegaskan oleh Mohammad Hatta bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pemimpin dari empat sila lainnya. Dalam sila pertama Pancasila ini pulalah terkandung nilai interreligius.
Kelahiran Pancasila
Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia merupakan ideologi yang tidak lahir pada ruang hampa. Pancasila lahir dari rahim kesepakatan luhur antara semua golongan yang menjadi pribumi Indonesia. Karena kemerdekaan Indonesia diraih bukan hanya berkat perjuangan umat Islam, melainkan juga berkat perjuangan agama dan suku-suku lainnya.
Karena itu, pertimbangan bahwa Indonesia secara geografis merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke yang menggambarkan perbedaan dari setiap suku, ras, dan agama. Hal inilah menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu. Sehingga sila pertama dalam catatan sejarah terjadi beberapa kali revisi.
Ketuhanan Yang maha Esa, pertama kali dicetuskan bersamaan sila-sila lainnya oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, pada sidang BPUPKI pertama 1 Juni 1945. Selanjutnya, dibentuk panitia sembilan untuk merumuskan kembali Pancasila.
Menurut Hatta, pada 22 Juni 1945 rumusan hasil dari panitia sembilan itu diserahkan ke BPUPKI dan diberi nama “Piagam Jakarta”. Namun ada sejumlah perubahan pada sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Sampai dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta. Dengan menghapus tujuh kata itu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini. Dengan sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Baca Juga: Tafsir Pancasila Menurut Buya HAMKA
Indonesia Dalam Konteks Keberagamaan
Indonesia dalam konteks keberagamaan, sesuai sila pertama Pancasila bisa merujuk pada sebuah model interreligius. Meminjam pandangan Achmad Munjid, dosen Studi Agama dari Universitas Gadjah Mada, model interreligius menuntut kesediaan seseorang untuk membuka diri dan menghargai pandangan agama lain, dengan cara mendialogkan perspektif agama yang dipelajari dengan perspektif agama yang dianut secara bergantian.
Dalam proses dialog tersebut, masing-masing agama dapat dikaji melalui proses dialektis ‘melihat’ dan ‘dilihat’, ‘berbicara’ dan ‘mendengar’, ‘internalisasi’ dan ‘klarifikasi’, secara bergantian. Dengan demikian model interreligius dapat mengurangi stigma atau pandangan negatif terhadap agama lain.
Bukan Bertujuan Persamaan Esensial
Model interreligius tidak bertujuan untuk mencari persamaan esensial dari semua agama, yang berujung pada kesimpulan bahwa, “semua agama itu pada intinya sama”. Sama-sama mengajarkan kebaikan maupun sama-sama memiliki satu konsep tertentu mengenai “Tuhan” betapa pun teologinya bisa jadi berbeda-beda.
Pandangan seperti itu dikemukakan oleh kalangan esensialis. Huston Smith dalam bukunya The Wolrd Religions misalnya. Ia mengatakan bahwa semua agama menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ia mengibaratkan “kesatuan esensial agama-agama” dengan gunung. Meskipun berangkat dari sisi yang berbeda, umat beragama menuju satu puncak yang sama.
Pandangan esensialisme ini kemudian mendapatkan kritikan oleh Stephen Prothero dalam bukunya God is Not One. Menurutnya, meskipun memiliki tujuan yang baik, yakni untuk menjembatani dialog guna meredam konflik antar umat beragama. Pandangan esensialis terhadap agama ini justru menghindarkan seseorang dari memahami keunikan tiap agama, dan lebih buruk dari itu, kadang membuat satu agama tertentu diteropong melalui konstruksi teologis agama lain yang lebih besar atau mendominasi.
Prothero menyebut pandangan esensialis semacam ini dengan “pretend pluralism”, pandangan yang justru menutup mata terhadap partikularitas setiap agama. Jadi, kita harus mula-mula memahami agama-agama dari perspektif masing-masing agama itu sendiri.
Dalam nada yang retoris, Prothero mempertanyakan: “jika benar bahwa semua agama menuju satu puncak yang sama”, bagaimana dengan agama-agama yang tidak mengenal konsep tentang Tuhan, seperti Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme? Sikap toleransi antarumat beragama ini meniscayakan pada dirinya akan adanya perbedaan, sebab jika semua agama sama, manakah yang harus ditoleransi?
Menyoal Injil Bahasa Minang
Menyoal Injil bahasa Minang yang mencuat beberapa hari lalu, merupakan suatu lanjutan dari sekian banyak episode konflik laten antar dua agama wahyu yakni Islam dan Kristen. Konteks pada persoalan ini adalah agama Kristen telah membuat Injil berbahasa Minang versi digital yang kemudian menuai banyak penolakan oleh komunitas masyarakat Minangkabau dan pemerintah setempat karena tidak sesuai dengan falsafah daerah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Memang tidak dipungkiri mayoritas masyarakat minangkabau adalah beragama Muslim, namun perlu kita sadari bahwa disana juga ada minoritas yang diakui oleh negara dan dijamin kelangsungan hidup beragamanya (Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945). Maka dari itu, tidak elok jika hanya melihat dari satu sudut pandang persoalan. Baiknya ialah lakukan proses dialektis, internalisasi dan klarifikasi.
Baca Juga: Pancasila dan Egoisme Beragama
Pandangan Sila Pertama Dalam Bernegara
Pandangan sila pertama dalam bernegara bukan menyamakan tiap agama dan meleburnya menjadi suatu kepercayaan baru. Interreligius berarti bersedia untuk tidak menggunakan kacamata dari agama sendiri dalam menilai agama lain.
Ini bukan untuk merelatifkan agama, apalagi untuk mendangkalkan iman, melainkan untuk membuat agama-agama yang dipelajari berbicara melalui perspektifnya sendiri. Sebab, satu hal dasar yang pertama-tama harus disadari ialah bahwa agama-agama mempunyai keunikan dan partikularitasnya masing-masing. Dan terpenting keberagaman sejatinya adalah anugerah terindah bagi Indonesia.
Editor : Sifa Lutfiyani Atiqoh