Wabah pandemi Covid-19 di negeri ini memasuki masa-masa paling mengkhawatirkan. Bukan hanya masalah jumlah penderita baru yang semakin meningkat. Para pekerja medis yang ada di garda terdepan mulai bertumbangan. Dan yang paling rentan karena berinteraksi secara langsung dengan pasien. Salah satu penyebabnya karena alat pelindung diri (APD) pekerja medis terbatas.
Setelah kasus pandemi Covid-19 menyebar luas di Indonesia dan membuat masyarakat semakin khawatir sehingga mengakibatkan konsumsi terhadap masker dan hand sanitizer berlebihan. Kondisi ini membuat stok dua komoditas tersebut di pasaran sangat menipis.
Diperparah lagi dengan oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi seperti ini dengan menimbun masker dan hand sanitizer. Kemudian dijual kembali dengan harga yang sangat fantastis. Tidak berhenti disitu harga pangan juga ikut dipermainkan.
Lebih mirisnya lagi terkadang ada juga tenaga medis yang memakai jas hujan sebagai alternatif di tengah sulitnya jumlah APD yang terbatas. Mengingat penyebaran virus yang berasal dari wuhan ini mulai merambah ke seluruh pelosok negeri.
Kenaikan yang Signifikan
Termasuk tempat penulis sendiri, Lamongan. secara mengejutkan menjadi daerah ketiga penyebaran pandemi Covid-19 terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya dan Sidoarjo. Dalam data yang dihimpun oleh Pemprov Jatim per 3 April yang diupdate setiap harinya.
10 orang dalam konfirmasi positif, 40 orang PDP, dan 190 orang dalam ODP. Sedangkan pada tanggal 2 April masih dalam data Pemprov Jatim, terdapat 170 orang dalam ODP, 26 PDP, dan 0 konfirmasi positif.
Baca Juga: Coronavirus Mengajarkan Bahwa Bumi adalah Masjid
Data yang dihimpun Pemprov Jatim ini mengejutkan semua pihak. Ditambah panik salah satu pasien PDP meninggal di RS Soegiri Lamongan pada pukul 13.00. Setelah ditelusuri rekam jejak pasien ternyata pernah berada di daerah zona merah, yaitu Bandung.
Walaupun belum dinyatakan positif virus Covid-19, proses pemakaman jenazah pasien dilakukan sebagaimana standar penanganan pemakaman jenazah pasien positif Covid-19. Seluruh petugas yang terlibat terlihat juga memakai APD sesuai prosedur.
Keresahan Masyarakat
Dengan adanya permintaan yang semakin tinggi membuat persedian bahan-bahan pangan, masker dan APD semakin menipis. Mengakibatkan keresahan masyarakat terutama bagi masyarakat menengah ke bawah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebelumnya bahan pangan dan APD mengalami kenaikan harga yang lebih tinggi lagi. Sebaiknya, seharusnya pemerintah bisa mengambil langkah untuk menindak tegas oknum-oknum nakal yang mengambil kesempatan ini.
Begitu pula masyarakat jangan mengabil tindakan yang gegabah dengan memborong sembako. Sehingga persediaan tetap stabil dan tidak mengalami kelangkaan. Masyarakat seharusnya cerdas dan tenang untuk membeli barang secukupnya.
Kegelisahan Tenaga Medis
Data terbaru Ikatan Dokter Indonesia mengorfirmasi ada 18 dokter yang meninggal dunia karena Covid-19. Bisa dibilang karena faktor tertular ketika menangani pandemi Covid-19 atau faktor lain. Apalagi virus ini sangat berbahaya bagi yang mempunyai penyakit pendahulu. Akhirnya IDI membuat aturan internal demi mencegah lebih banyak ahli kesehatan yang tumbang karena pandemi Covid-19.
Salah satunya meminta pasien penyakit lain tak perlu konsultasi langsung di rumah sakit jika kondisi kesehatan belum mendesak. Proyeksi melonjaknya jumlah kasus positif Covid-19 ini dikhawatirkan tak mampu diantisipasi oleh sistem kesehatan yang ada di dalam negeri. Alasanya, Indonesia masih kekurangan banyak dokter spesialis yang bisa menangani pasien jika terjadi lonjakan kasus.
Baca Juga: Tahun 2020 Menjadi Nuqthatul Intilaq (Titik Tolak) Globalisasi NU
Kekhawatiran tenaga medis bukan tanpa alasan. Dengan terbatasnya APD ibarat berperang sudah mengerti kelemahan namun tetap bertempur. Entah, seberapa besar resiko yang harus diambil para tenaga medis.
Kita patut mengapresiasi para tenaga medis yang sampai saat ini masih berjuang menjadi pelayan terbaik para pasien. Dengan menerapkan himbauan untuk tetap stay at home, serta pembatasan sosial sudah menjadi suatu balas budi kita terhadap para tenaga medis. Ketika penyedia layanan kesehatan jatuh sakit atau meninggal karena terinfeksi Covid-19. Lantas siapa lagi yang akan memberikan perawatan atau menangani pasien Covid-19.
Langkah Pemerintah
Pemerintahpun, tak tinggal diam seluruh aktivitas yang dinilai mengumpulkan massa akan dibubarkan lewat tangan kananya, polisi. Suatu ketika saya melihat berita di salah satu stasiun televisi. Warga desa yang menyelenggarakan acara resepsi pernikahan terpaksa ditunda dan didatangi secara langsung oleh polisi setelah mendapatkan peringatan.
Bahkan terbaru, Kapolsek Kembangan, Jakarta Barat, Kompol Fahrul Sudiana dipecat dari jabatanya lantaran dianggap melakukan tindakan indisipliner. Pasalnya, ia tetap menggelar resepsi pernikahanya. Padahal Kapolri telah menghimbau telah melarang adanya segala bentuk keramaian termasuk pesta pernikahan.
Pada intinya, dalam suasana penyebaran pandemi Covid-19 yang tidak terkendali ini, kita mesti sami’na wa atha’na dengan ketetapan yang berwenang, yakni pemerintah. Tetapi dengan catatan pemerintah harus transparan dengan data penyebaran pandemi Covid-19. Pemerintah tidak boleh menutupi data Covid-19 dengan alasan apapun.
Ini Soal Pandemik Bukan Fatalistik
Larangan berkegiatan di luar rumah juga berlaku untuk umat beragama. Sementara waktu, umat beragama harus menahan diri untuk tidak beribadah di masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya. Dengan mengedepankan sikap menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan kebaikan.
Meminjam istilah Prof Dr Biyanto, wakil Sekretaris PWM Jatim, bahwa dalam situasi wabah penyakit yang demikian pandemik, jangan ada pikiran fatalistik. Mereka yang fatalistik ini selalu menyatakan bahwa hidup, mati, sehat, dan sakit merupakan takdir tuhan.
Hukum Allah menentukan bahwa seseorang akan sakit jika tidak membiasakan hidup sehat. Sebaliknya, kondisi sehat yang dialami seseorang tidak berarti tanpa ikhtiar. Mereka yang sehat pastilah orang yang menjaga dirinya dari bahaya terserang penyakit.
Kebijakan Pemerintah Belum Menyentuh Aspek Kesadaran
Di sisi lain, banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah belum terlalu menyentuh pada aspek kesadaran warga. Andaikan pemerintah dan aparat keamanan diberi wewenang menindak, tentu seluruh tempat berkumpulnya massa dalam jumlah banyak langsung ditutup.
Fakta di lapangan setelah aparat datang memberi himbauan agar membubarkan diri, tidak lama kemudian situasi kembali seperti semula. Kejadian ini sering tejadi di tempat nongkrong pemuda.
Sebenarnya strategi pemerintah adalah menjaga yang sehat agar tidak tertular dari yang terinfeksi Covid-19. Karena itulah penyebaranya harus diputus. Namun, kembali kepada kesadaran diri untuk Stay at Home tampak belum efektif. Dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit tak henti-hentinya pentingnya mengkampanyekan gerakan mencuci tangan dengan benar.
Baca Juga: Titik Temu Teologi Islam dan Sains Modern
Menghindari kontak lansgung dengan mereka yang sakit dan mengalami gejala infeksi Covid-19. Serta menjaga asupan makanan dengan gizi dan nutrsi untuk mempertahankan kekebalan tubuh. Semua itu demi kepentingan bersama untuk menghindari resiko tertular Covid-19.
Akhirnya Indonesia jatuh dalam titik posisi dilema karena antara mejatuhkan kebijakan lockdown atau tetap social distancing. Jawabanya adalah bukan kedua kebijakan itu, melainkan kesadaran kita untuk saling membantu satu sama lain. Kita taat pada aturan pemerintah untuk tetap menerapkan Social Distancing untuk memutus rantai penyebaran pandemi tersebut.