Pada tanggal 11 Maret, PBNU mengadakan peluncuran buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) karya KH Yahya Cholil Staquf. Kegiatan ini diadakan di Aula lt. 8 Gedung PBNU, Jakarta Pusat. Dalam peluncuran itu, Kiai Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa buku ini berbicara tentang 2 hal pokok. Hal pertama yang disampaikan dalam buku ini adalah dalam rangka memaknai kelahiran dan keberadaan NU.
Kiai Yahya mencoba melakukan rekonstruksi konteks kelahiran NU. “Kenapa NU dilahrikan dan apa kira-kira yang menjadi wawasan dari para muassis (pendiri) Nahdlatul Ulama. Bertahun-tahun saya bergulat secara mental tentang banyak hal yang misterius tentang NU. Namanya sendiri itu bertahun-tahu bagi saya misterius, kenapa harus Nahdlatul Ulama?” ujarnya.
Pergulatan Kiai Yahya Mencari Bentuk Peradaban Baru
Kiai Yahya bercerita bahwa setelah bertahun-tahun, ia sampai pada satu gambaran bahwa kelahiran NU sebenarnya terkait dengan konteks yang luas, menyangkut perubahan berskala peradaban yang terjadi pada waktu itu. Bahwa para muassis ini lahir bertepatan dengan berakhirnya satu era peradaban yang telah tumbuh selama 1300 tahun sejarah Islam, yang puncaknya ada pada Turki Utsmani, dan kemudian runtuh begitu saja pasca perang dunia pertama. Dan ini tidak hanya menyangkut Islam saja, tapi juga memicu perubahan peradaban seluruh umat manusia.
Menurut Kiai Yahya, NU yang didirikan pada tahun 1926 ini bertepatan dengan perang dunia pertama yang berakhir pada tahun 1918 dengan kekalahan Turki Utsmani. Dan Turki Utsmani kemudian bubar tahun 1924. Seluruh konstruksi peradaban yang berumur ribuan tahun runtuh begitu saja. Dan Islam harus menghadapi perubahan yang tidak seorang pun tahu akan berubah menjadi seperti apa.
Bahkan sampai hari ini setelah hampir 100 tahun, sebagaimana yang dipaparkan oleh Kiai Yahya, orang masih belum tahu kedepan peradaban Islam ini akan seperti apa. Para muassis ini mendirikan NU untuk menyongsong peradaban baru.
Sekalipun orang belum tahu akan seperti apa peradaban Islam kedepan, tapi tetap harus dirintis, karena konstruksi peradaban lama sudah runtuh. 1300 tahun sejarah Islam mengembangkan suatu model kontruksi peradaban tertentu, dan akhirnya runtuh. Sehingga dunia berubah begitu drastis.
Kenapa jam’iyyah ini diberikan nama “Nahdlatul Ulama”? Menurut Kiai Yahya, hal itu disebabkan karena pertanyaannya adalah ketika peradaban berubah sama sekali, bagaimana sikap Islam menghadapi perubahan itu. Karena yang ditanyakan adalah sikap Islam, maka yang harus menjawab tidak lain tidak bukan adalah ulama. Sehingga diberi nama Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, ini adalah jam’iyyah yang digunakan untuk merintis tanggapan terhadap perubahan peradaban.
Positioning Nahdlatul Ulama
Kiai Yahya menegaskan bahwa NU tidak boleh dipahami sebagai firqoh. “Ini juga karena keyakinan saya terhadap karakter para pendiri. Tidak mungkin NU didirikan hanya untuk menjadi firqoh. Saya juga menolak anggapan bahwa NU didirikan untuk menanggapi kesuksesan wahabisme. Terlalu kecil”, tegasnya.
baca juga: Meneropong Masa Depan Peta Politik Islam
Hal itu disebabkan karena jika NU didirikan hanya menanggapi Wahabi, berarti NU telah menjadi firqoh yang melawan firqoh lain. Padahal menjadi firqoh dilarang dalam Islam. Maka, NU didirikan untuk menanggapi sesuatu yang lebih besar, yaitu peradaban, dimana sampai sekarang belum ada orang yang tahu bentuk final peradaban Islam akan seperti apa. Maka, menurut Kiai Yahya, NU tidak boleh merasa menjadi saingan dari yang lain. Tidak pantas misalnya NU merasa saingan dengan Muhammadiyah, FPI, HTI, wahabi, dan lain-lain.
Dengan kacamata ini, NU tidak bisa melihat kelompok yang dianggap radikal dan teroris ini sebagai musuh, karena mereka juga sedang mencari bentuk peradaban. Konstruksi peradaban Islam ini sudah runtuh, dan orang sedang mencari-cari bentuk yang baru. Termasuk teroris dan radikalis juga sedang mencari. Menurut ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kiai Yahya, sedang berusaha membawa kembali Islam ke masa lalu, ke zaman khilafah.
Apakah hal tersebut ada dalilnya? Menurut Kiai Yahya, ada banyak. Ada banyak dalil untuk membawa Islam kembali ke zaman khilafah. “Tapi persoalannya kemudian kalau dipaksa untuk kembali kesana, tidak ada ujung yang masuk akal selain keruntuhan seluruh dunia. Karena semua negara harus kembali ke zaman khilafah. Perang Suriah saja tidak selesai-selesai. Rebutan Libya juga tidak selesai, konflik Irak tidak selesai, bagaimana semua negara akan bubar dan kembali ke khilafah?” tegas Kiai Yahya.
Ini menjadi hal yang tidak masuk akal. Maka, tugas umat Islam adalah mencari. Namun, Kiai Yahya berpesan agar kita bergulat bersama-sama, termasuk dengan peradaban yang lain. NU hari ini sudah mulai dilihat oleh dunia sebagai rujukan yang masuk akal untuk peradaban dunia. Karena NU ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan peradaban baru bagi umat manusia yang lebih mulia. Peradaban yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, berdasarkan akhlakul karimah, dan penghargaan atas kesetaraan hak dan martabat antar manusia.
Konsolidasi Jamaah & Mendirikan Basis Sosial Politik
Menurut Kiai Yahya, untuk merintis peradaban ini, para muassis kemudian memperjuangkan 2 hal. Pertama, melakukan konsolidasi jamaah/komunitas untuk merawat nilai-nilai luhur. Kedua, ikut serta memperjuangkan berdirinya NKRI, sebagai basis sosial politik, untuk ikut serta dalam pergulatan antar bangsa. Karena tidak mungkin membuat peradaban sendiri di Jombang.
Peradaban yang dibangun harus menjadi peradaban dunia, sehingga harus bergulat bersama bangsa lain. Sedangkan tidak ada cara untuk bergulat dengan bangsa lain selain dengan mendirikan negara. Hal ini memiliki banyak konsekuensi, termasuk tentang gestur NU.
baca juga: Said Aqil: Cara Memperlakukan Jenazah Covid-19
Selama ini NU terkesan sebagai golongan yang bertabrakan dengan banyak kelompok lain. Ini adalah positioning yang tidak tepat dari NU. Kiai Yahya menegaskan bahwa NU ini adalah panji-panji peradaban, sehingga Muhammadiyah bukanlah pesaing NU, FPI, HTI, teroris, & radikalis bukan pesaing NU.
Justru NU harus bertanggungjawab untuk mengkonsolidasikan semuanya, agar masuk dalam pergulatan yang lebih positif untuk merintis peradaban baru. Bersama-sama dengan semua, dengan perdaban Barat, dengan peradaban Kristen di Eropa, dengan Yahudi, dengan peradaban Hindu di India dan anak benua Asia Selatan, dan lain sebagainya.
reporter: Yusuf R Yanuri