Pada 1979, anak-anak di Indonesia mendapat bacaan berjudul Alam Semesta. Buku tipis memuat gambar dan keterangan mudah dimengerti anak-anak.
Semula, buku terbit dalam bahasa Inggris oleh Mcdonald Education. Penjelasan tentang Bumi cukup ringkas dan 5: “Bumi yang kita diami berbentuk bulat. Di bawah tanah yang kita injak terdapat lapisan batu. Inti Bumi panas sekali.
Bagian dalam Bumi jauh lebih panas daripada bagian luarnya. Manusia, hewan, dan tumbuhan hidup di luar itu. Bagian itu disebut kerak Bumi.” Anak-anak belajar Bumi. Pada masa bertumbuh, pengetahuan tentang Bumi bertambah. Kita menduga bertambah masalah dan sesalan.
Pada abad XXI, Bumi makin merana. Beragam keluhan diungkap para penghuni Bumi. Konon, rusak dan sengsara akibat ulah manusia. Kondisi terbaru Bumi justru memberi kesan-kesan “kematian” ketimbang “kehidupan”. Kita menduga masalah-masalah itu tak terlalu cepat diajarkan kepada anak-anak agar mereka tetap mau membentuk masa depan: cerah dan bahagia.
Kita lanjutkan membuka buku berjudul Masa Depan Bumi (1995) memuat tulisan-tulisan Lester R Brown, Alan Thein Durning, Chistoper F, HF French, Jodi L Jacobson, dan lain-lain. Kita membaca beragam keprihatian dari abad XX.
Lester menerangkan: “Pertumbuhan ekonomi yang cepat, kemerosotan lingkungan hidup, dan semakin parahnya kemiskinan sedang menguat satu sama lain dalam satu spiral ke bawah di banyak negara.” Bumi sedang merana. Lakon di Bumi, lakon bergelimang duka. Usaha selamat dilakukan melalui pelbagai forum dan kebijakan internasional. Mereka ingin Bumi tetap menjadi tempat “terbaik” dan “terindah” untuk hidup.
Orang-orang berpikir Bumi dipastikan menemukan seribu masalah: energi, pohon, polusi, air bersih, mesin, peternakan, dan lain-lain. Konon, prihatin atas nasib Bumi menimbulkan sengketa mengecap salah dan argumentasi antara negara-negara maju dan negara-negara miskin. Mereka memiliki bukti-bukti untuk saling menekan agar membuat kebijakan-kebijakan menggunakan anggaran besar demi Bumi.
Di sekolah, murid-murid belajar Bumi masih melulu sains. Mereka berhadapan buku-buku pelajaran. Murid-murid rajin membaca buku-buku sastra perlahan mengetahui isu-isu kerusakan atau penghancuran Bumi.
Mereka bakal mengubah sikap dan ulah saat mengetahui Bumi merana akibat kerakusan, nuklir, impian kemakmuran, perang, industri, dan lain-lain. Bumi memang tema besar tapi pengajaran agak sulit melampaui ilmu geografi, ilmu pengetahuan alam, dan ekologi.
Ikhtiar besar dilakukan melalui pembuatan buku, film, poster, dan lagu. Kaum anak dan remaja diajak menginsafi Bumi. Segala kerusakan itu dosa-dosa pendahulu, tak perlu ditambah atau dilanjutkan. Pembuatan atau pemilikan masa depan mendapat keraguan akibat harus “membenahi” atau “mengobati” Bumi.
Kerja berat biasa mengabarkan “sia-sia”. Masa depan kadang sudah “ditamatkan” dulu. Pada abad XXI, pengajaran dan propaganda keselamatan Bumi tampak gencar tapi memuncak dalam airmata saja.
Di buku berjudul Menggadaikan Bumi (1999) susunan Bruce Rich, terbaca konflik dan manipulasi dalam isu-isu kehutanan. Gerakan melindungi atau melestarikan hutan di negara-negara berkembang dalam sengketa kepentingan politik dan modal.
Para penguasa dan pemilik modal itu berada di negara-negara maju: memberi instruksi dan kutukan. Kita mengerti siasat “menggadaikan” terjadi dengan beragam kompensasi dan sanksi. Bumi dalam permainan kotor orang-orang mengatasnamakan kehidupan bersama atau alam semesta.
Di sekolah, daftar kebohongan dan kejahatan atas Bumi kadang belum perlu diajarkan. Para murid selalu diajak mengenang masa silam saat Bumi itu indah, subur, elok, dan mulia. Bumi dalam dongeng atau gambar lama memang memberi bujukan imajinasi kebaikan, kemakmuran, dan kebahagiaan.
Pada masa berbeda, Bumi sulit diloloskan dari tema-tema kenestapaan. Di sekolah, murid-murid masih saja menggambar Bumi indah dan menulis puisi atau cerita berharapan Bumi mendapat berkah Tuhan.
Kita membuka lembaran-lembaran buku berjudul Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi (2008) dengan editor Sunarko dan Eddy K. Buku bergambar tangan membawa Bumi. Pemandangan indah saat Bumi makin hancur. Dosa-dosa merusak Bumi bakal mendapat balasan Tuhan. Penjelasan Bumi berpijak iman atau pengejawantahan ajaran agama-agama dalam tragedi Bumi abad XXI.
Kritik disampaikan Hadisumarta: “Orang modern layak bangga atas hasil kemajuan manusia dalam menguasai, menggarap, dan memanfaatkan planet Bumi kita ini sebagai ‘oikos’ atau tempat tinggal penduduk dunia kita ini.
Ternyata, ilmu pengetahuan manusia dan perbuatan selanjutnya memang menunjukkan kemajuan luar biasa tapi sekaligus kemunduran di aneka bidang kehidupan. Maka, timbullah krisis ekologi.” Kesalahan-kesalahan manusia sengaja melawan kehendak Tuhan. Alam semesta sebagai ciptaan Tuhan justru dijadikan “lahan” manusia membesarkan dosa.
Gerakan-gerakan bersama oleh pemerintah, komunitas, jamaah, atau individu kadang memberi bujukan mengurangi dosa-dosa. Bumi itu tanggung jawab terlalu besar saat dosa-dosa warisan masih memberikan dampak-dampak buruk.
Bumi masih berada di mitologi (lawas) dan puisi (baru) tapi kita tetap mengetahui Bumi bertambah merana. Kita ikut berdosa sambil menghindari penambahan kehancuran. Bumi jangan menjadi diksi dalam puisi terburuk menjelang kiamat. Begitu.
Penulis: Bandung Mawardi (Pengelola Bilik Literasi)