Pada hari Senin (1/6), Yayasan Cahaya Guru mengadakan diskusi dengan pembicara utama Prof. Yudi Latif. Diskusi ini mengangkat tema “Pancasila Dalam Laku Pendidikan”.
Memahami Kedirian
Yudi Latif mengatakan masyarakat harus memahami the self (kedirian), bahwa kedirian itu bersifat ganda. Ada yang bersifat personal dan publik. Setiap pribadi adalah istimewa, setiap pribadi memiliki keistimewaan masing-masing, dan memiliki kodratnya masing-masing. Oleh karena itu setiap pribadi juga punya karakter yang khas. Hanya saja perlu diperhatikan bagaimana supaya pengembangan kompetensi pribadi ini bisa produktif.
Menurut Yudi ada prasyarat-prasyarat pengembangan yang sifatnya personal. Yaitu dimulai dengan memberikan satu fondasi bagi pembentukan karakter personal yang baik, dan itu cenderung universal. Apapun bakat dan kecerdasan seseorang, ia tetap memerlukan sikap disiplin, ketekunan, rajin, jujur, pengendalian diri, dan lain-lain. dan itu adalah fondasi yang harus diselesaikan pada tingkat yang sangat dini. Maka sebenarnya pada tingkat pendidikan dasar belum terlalu perlu pendidikan pancasila.
Dalam hal ini, didalam pendidikan yang terbatas infrastrukturnya pembentukan karakter personal biasanya justru berarti positif. Karena itu bukan hanya sekedar teori yang diajarkan tetapi sudah diamalkan dalam pergulatan hidup. Biasanya orang-orang yang sulit bersekolah karena ekonomi, secara tidak langsung kesulitan hidupnya itu menempa karakter hidupnya.
“Saya juga mengalami itu. Dulu waktu SMP saya jalan kaki sejauh 11 km. Karena hal itu pencarian ilmu itu begitu susah, namun sekaligus membangun karakter personal tidak pernah menyerah. Keterbatasan justru memberikan peluang. Tidak selamanya keterbatasan melahirkan peserta didik yang tidak bermutu”, ujarnya.
Yudi menyebut apalagi kalau dalam kesulitan itu guru-gurunya juga kreatif memanfaatkan potensi alam, bahwa seluruh dunia sebenarnya adalah sekolah yang bisa kita olah untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.
Public Self – Private Self
Adapun kedirian yang bersifat public self (kedirian publik), menurut Yudi Latif, masyarakat saling terhubung menjadi warga negara yang baik. Pada ranah inilah Pancasila beroperasi. Public self dan private self ini bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan.
Biasanya, orang yang punya private self yang baik, cenderung menjadi warga negara yang baik juga. Namun bisa juga pribadinya baik, menjadi warga negara yang kurang baik. Sehingga baik secara personal saja tidak cukup, melainkan juga harus memainkan satu budaya kolektif yang juga memungkinkan adanya kesamaan-kesamaan mindset yang memungkinkan urusan-urusan publik bisa diselesaikan.
Yudi berpesan kepada peserta diskusi agar tidak mengajarkan nilai karakter dari satu sudut mata pelajaran saja. Karakter harus masuk kedalam seluruh wilayah kurikulum. Ketika orang mulai belajar komputer, disitu ada nilai misalnya jagan sampai pesan yang sifatnya pribadi disebarkan secara luas misalnya. Ketika anak-anak sekarang menggunakan gadget, itu dimulai dari pendidikan nilai, bahwa gadget ini harus dijadikan sarana untuk kebaikan.
Jangan sampai mereka menggunakan teknologi yang tinggi namun justru merendahkan daya nalar dengan hal-hal yang sifatnya tidak produktif, misalnya dengan ujaran kebencian. Ketika kita mengajarkan matematika juga ada nilai karakternya. Jadi, urusan nilai ini adalah urusan semua mata pelajaran, bukan hanya monopoli pendidikan pancasila saja. Maka tugas pendidikan karakter adalah tugas semua guru.
Capability Approach in Education
Yudi Latif mengenalkan konsep pendekatan kapabilitas dalam pendidikan yang disebut capability approach in education. Bahwa dunia pendidikan itu selain harus menumbuhkan kapasitas dasar, tetapi juga harus berfungsi efektif secara riil dalam kehidupan. Maka evaluasi-evaluasi pendidikan akan berubah sama sekali. Tidak hanya dilihat dari skor ujian tetapi dilihat dari keberfungsiannya dalam kehidupan. Apakah orang-orang yang sudah dididik dalam dunia pendidikan tadi, ketika terjun di kehidupan, sudah menjadi manusia yang baik. Ujian sesungguhnya ada di fungsi.
Agar pembekalan kapabilitas dan keberfungsiannya itu sesuai didalam masyarakat, Yudi menawarkan alternatif berupa tata kelola yang benar. Pribadi yang baik kalau mendapati tata kelola atau tatanan sosial yang kacau balau, bisa menjadi buruk.
“Kenapa orang Indonesia yang hobinya melanggar lalu lintas itu ketika berada di Singapura juga menjadi warga yang mudah diatur? Ketika naik haji di Makkah juga mudah diatur. Tetapi begitu pulang ke Jakarta kembali melanggar lalu lintas. Bahkan, orang Singapura yang tadinya teratur, ketika berada di Indonesia, juga bisa jadi berperilaku seperti orang Indonesia”, ujarnya.
Tata kelola mempengaruhi apa yang sudah ditanamkan di sekolah. Maka, konsekuensi pada dunia pendidikan adalah bahwa peserta didik harus dilatih soal tata kelola publik. Mereka harus dilatih kalau ada problem-problem seperti ini jalan keluarnya seperti apa. Harus ada simulasi-simulasi penyelesaian problem yang riil. Sehingga pelatihan-pelatihan organisasi menjadi penting karena berfungsi di kehidupan.
Yudi memberikan contoh betapa pemerintah kesulitan untuk mendorong supaya pegawai bisa datang lebih cepat, kerja lebih produktif, dan pulang lebih lama. Tetapi singapura begitu mudah menjalankan hal itu. Pemerintah singapura misalnya memberlakukan biaya transportasi sebelum jam 8 pagi diturunkan 50%. Dengan begitu pegawai di Singapura dengan sukarela akan berangkat lebih pagi.
Sebaliknya kalau ingin menahan pegawai agar lebih lama di kantor, biaya transportasi setelah jam 5 sore diturunkan 50%. Sehingga mereka akan dengan senang hati pulang sore hari.
Baca juga: Pradana Boy: Islam Berkemajuan ala Buya Syafii
“Itu adalah bukti kecakapan tata kelola mampu mempengaruhi kepribadian. Maka, belajar organisasi itu bukan sekedar ornamen dalam dunia pendidikan. Apalagi kalau organisasi terhubung dengan problem-problem konkret dalam masyarakat. Moralitas itu memerlukan institusi. Kalau tanpa institusi yang baik, anak yang sudah dididik dengan baik ujungnya juga akan tidak baik.
Reporter: Yusuf R Y