Dampak wabah virus Covid-19 yang telah menjadi pandemi global, menambah catatan buruk bagi dunia sains, dan musibah ini benar-benar menjadi sesuatu yang tak disangka-sangka tentang apa yang akan terjadi di 2020 ini.
Sebuah keadaan yang memaksa kita sama-sama untuk menerima, tapi berbeda dengan cara menyikapinya. khususnya di wilayah umat Islam, varian masyarakat muslim menjadi semakin jelas, mana yang bersikap jabariyyah (fatalis) dan mana yang terlalu qodariyyah (progresif).
Jabariyyah, ia akan terus berpijak pada ranah teologis, dengan memegang prinsip “segala apa yang terjadi semua adalah kehendak-Nya, tidak ada yang perlu ditakutkan, meski itu terjadi pada kita, berarti sudah menjadi takdirnya”.
Narasi Pencerahan
Sekilas memang benar, tapi dalam aspek memaknai takdir dan praktek mereka semua fatal, sebagaimana kasus yang baru saja terjadi di Masjid Jami Jakarta, dalam rangka dakwah, ratusan jamaah diisolasi, karena diantaranya ada yang positif terkena Corona.
Menyikapi hal itu, perlunya kita membangun narasi untuk memberi pencerahan pada umat bahwa setiap keadaan tidak bias selalu disikapi seluruhnya dengan pandangan keagamaan. Sebab persoalan covid 19 ini adalah persoalan sains. Bagaimana asal muasal virus. Lalu bagaimana virus itu menular dan penanganan yang harus dilakukan, semua ada ilmunya.
Baca Juga: Merawat Alam, Bersahabat Dengan Lingkungan
Tetapi dari kedua hal tersebut bukan berarti terpisah sepenuhnya, ada titik temu khususnya antara yang bersifat fisik seperti sains dan metafisik seperti teologi Islam yang akan menjadi bahasan dalam tulisan ini, merupakan upaya mendamaikan pandangan untuk tidak terlalu bersikap fatalis atau determinis, di mana menerima prinsip-prinsip sains juga merupakan tindakan yang Islami.
Sains Modern adalah Warisan Peradaban Islam
Ada sebuah asumsi implisit yang mengatakan “sains” adalah sains modern. Meskipun asumsi yang sudah umum tersebut tidak selalu dibenarkan. Dalam kasus demikian, kita harus mencapai consensus mengenai definisi sains modern serta mulai kapan sains menjadi modern.
Sains modern secara singkat merupakan suatu bagian tahapan perkembangan kehidupan manusia yang hadir di masa kini melalui berbagai metodologi yang selalu dikembangkan atau biasa disebut metode ilmiah. Lalu mulai kapan ia menjadi modern?
Metode ilmiah sebagai karakteristik cara kerja sains yang digariskan di atas, sebenarnya telah dilakukakan sejak masa kejayaan Islam abad pertengahan. Para saintis muslim seperti Ibn al-Haytham (965-1040 M), Al-Biruni (973-1037 M), Ibn Sina (980-1037 M) kenyataannya sangat menekankan eksperimentasi dan observasi dalam cara kerja dan pengembangan sains mereka.
Metode Ilmiah Berkembang di Eropa
Doktrin metode ilmiah tersebut kemudian pindah dan berkembang di Eropa dan menemukan momentumnya pada masa renaissance. Khususnya pada revolusi Nicolaus Copernicus (1473-1543M) dan Galilio Galilei (1564-1642) M).
Ditambah lagi dengan temuan baru, seperti hukum pergerakan planet oleh Johannes Kepler (1571-1630 M), deskripsi dunia mekanik oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Teori fisika Isaac Newton (1642-1727M), teori evolusi oleh Charles Darwin (1809-1882M), dan teori relativitas oleh Albert Einstein (1879-1955M).
Para tokoh ini menggunakan metode eskperimen, metode induksi, yang diajarkan dalam sains di masa kejayaan Islam untuk mengamati alam semesta dan kemudian menciptakan teori baru sampai saat ini.
Karena itu, Ziauddin Sardar seorang ilmuwan muslim menyatakan bahwa dari Dunia Islamlah Eropa belajar melakukan penalaran logis, belajar melakukan eksperimen. Menemukan ide-ide dalam dunia Sains, seperti kedokteran dan menemukan kembali filsafat Yunani. Sebagian besar komponen dalam biologi, fisika, astronomi, mekanika, optik, kimia dan lainnya yang menjadi pondasi ilmiah Eropa adalah berasal dari “Islam”. (Guessoum 2011, 75).
Titik Temu dengan Teologi Islam
Nidhal Guessoum dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Islam dan Sains Modern” dibalik isi buku yang kaya akan pengetahuan tentang pergolakan sains kekinian. Ia mengulas beberapa titik temu antara teologi Islam dan sains modern, setidaknya ada dua hal yang menjadi landasan berlanjut, yakni Argumen Rancangan dan Prinsip Antropik.
Baca Juga: Apakah Sains dan Agama Bisa Didamaikan?
Secara sederhana argument rancangan yang ditulis Ibn Rusyd dalam Fashl Al-Maqal, adalah sebuah metode pendekatan atau upaya untuk mempelajari wujud yang ada. Kemudian merenungkannya sebagai petunjuk bagi keberadaan sang pencipta. Dengan kata lain, semakin kita mengetahui bagian-bagian dari wujud tersebut, maka semakin sempurna pula pengetahuan kita tentang sang pencipta tersebut.
Maksudnya, keadaan alam semesta yang sangat teratur ini bisa menjadi sarana yang lebih ampuh untuk mendapat pengetahuan tentang Tuhan, dibandingkan sebatas keyakinan ilahiah semata.
Lebih lanjut, Ibn Rusyd mengemukakan bahwa argument rancangan di atas lebih sejalan dengan kebijaksanaan Tuhan dibandingkan teologi Asy’ari. Yang menganggap Tuhan sebagai pengatur laksana seorang dalang atas kejadian dan peristiwa di dunia. Menurutnya, konsepsi Asy’ari tersebut dalam praktiknya sama saja dengan mengingkari kebijaksanaan Tuhan.
Oleh karena itu, argument rancangan sudah seharusnya dijadikan salah satu pilar inti untuk melihat setiap kejadian apa yang terjadi di dunia. Tidak melulu di pandang dari sudut keagamaan tetapi melalui pendekatan sains. Yakni pendekatan yang menekankan akal dan bertolak belakang dengan pendekatan teologis wahyu yang lebih mengedepankan keyakinan, penerimaan, dan otoritas keagamaan.
Apakah Alam Semesta Diciptakan untuk Manusia?
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah arah dari maksud prinsip antropik. George V. Coyne, seorang astronom Amerika Serikat, menekankan bahwa prinsip antropik adalah “titik temu yang menggairahkan antara teologi dan Sains”. Dan juga sorang filsuf muslim kontemporer Ja’far Syaikh Idris yang juga berminat terhadap wacana seputar titik temu sains dan teologi Islam, memiliki pandangan serupa.
Idris berpijak pada gagasan Ibnu Rusyd yang menegaskan dua hal, pertama, segala yang maujud selaras dengan manusia. Dan kedua, keselarasan ini hanya bisa terjadi karena kehendak sesosok pelaku yang menginginkan demikian. Malam dan siang, matahari dan bulan, dan semua benda berada di tempatnya untuk kepentingan manusia.
Keberadaan kita dan segala hal di muka bumi terpelihara karena tatanan dan rancangan yang telah ditetapkan pencipta. Bila satu saja pindah atau diberi posisi, dimensi atau kecepatan selain ditetapkanTuhan, segala makhluk di bumi ini tidak akan maujud.
Tidakkah Kamu Perhatikan
Kemudian diperkuat dengan ayat Al-Quran. “Tidakkah kamu perhatikan, sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan di bumi serta menyempurnakan nikmat-Nya lahir dan batin untukmu” (Q.S. Lukman [31]: 20)
Mengenai hal tersebut, Nidhal memosisikan manusia tepat di pusat pandangan kehidupan: manusia bukan hanya tujuan dari keseluruhan penciptaan. Melainkan segala sesuatu memang telah diciptakan dan dibuat “tunduk” (Musakhhar) kepadanya.
Baca Juga: Imam Al-Ghazali: Dari Intelektualisme Hingga Spiritualisme
Jadi, sebanyak apa kejadian yang terjadi di dunia, sebanyak itu pula jalan yang bisa ditempuh menuju pada-Nya. Semua solusi tidak melulu melalui keagamaan. Adanya argument rancangan dan prinsip antropik menjadikan kita lebih memaknai. Bisa jadi karena keadaan sekarang, berpegang teguh pada prinsip-prinsip sains itu lebih Islami.