Kalimahsawa.id – Tajdid adalah hal yang semakin diperlukan dewasa ini. Hal tersebut dikarenakan terjadi kemunduran pemikiran umat di tengah-tengah era modern. Selain mundur dalam pemikiran, umat Islam juga mundur dalam hal dakwah. Prof. Amin Abdullah mengutip Rektor Al-Azhar Kairo yang menyebut bahwa dakwah umat Islam justru diwarnai oleh ta’asshub, kebencian, permusuhan, dan esktremisme.
Umat Islam, menurut Amin Abdullah, terjebak dalam lower order of thinking skill, tidak tekun membaca buku, tidak tekun membaca reaitas, bersifat mono disiplin, dan tidak melakukan telaah yang mendalam terhadap segala sesuatu. Sejak tahun 1990an ada badai conservative turn yang melandai seluruh dunia. Hal tersebut ia sampaikan dalam Webinar Series Kajian Al-Islam & Kemuhammadiyahan yang digelar oleh BPSDM Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jumat (30/7).
Menurutnya, internet turut memainkan peran penting dalam memfasilitasi percepatan komunikasi kelompok konsevatif Islam sehingga lebih terkoneksi dan menyebar secara luas. Maka, umat Islam perlu melakukan tajdid yang berlandaskan teologi.
“Al-Azhar baru berpikir tentang pembaharuan pemikiran Islam, mendirikan Pusat Studi baru bernama Markaz Al-Azhar Li Turots wa Tajdid. Ini sama dengan tema Muhammadiyah, tajdid. Setelah seribu tahun, Al-Azhar baru mulai. Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad yang lalu,” ujar Amin Abdullah.
Tajdid memiliki tiga wilayah, yaitu purifikasi, dinamisasi, dan keterkaitan antara purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi, menurut Amin Abdullah, adalah cara berpikir manusia di era pra-scientific. Wilayah ini berbicara tentang TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Churafat). Perbedaan antara dukun dan dokter, dan lain-lain.
Sementara itu, dinamisasi berbicara dalam aspek modernitas duniawiyah. Media sosial adalah cermin budaya modern. Namun, jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya, ia justru bisa mendegradasi human value. Dalam hal ini ada tantangan human dignity yang cukup berat. Apakah seseorang bisa melihat orang lain sebagai teman, atau justru lawan. Ada persoalan bullying, kesetaraan gender, national state, persamaan di hadapan hukum, dan lain-lain.
“Sayangnya ada ketercampuran wilayah purifikasi dan dinamisasi. Ini rumit. Pola pikir kalam dan fikih tidak bisa sinkron dengan pola pikir sosial kemasyarakatan, kenegaraan, dan kemanusiaan universal. Biasanya pola pikir historis (sosial) kalah dengan pola pikir normatif (kalam dan fikih),” imbuhnya.
Tantangan tajdid yang lain adalah pemahaman keagamaan dan keislaman yang sempit. Ada kelompok-kelompok yang menyatakan dirinya sebagai al-firqoh an-najiyah sambil menyalahkan kelompok lain dan kelompok yang mabuk agama. Amin Abdullah menyayangkan terjadinya tabrakan antara hal-hal yang normatif dalam hal aga dengan hal-hal historis. Menurutnya, jika tabrakan ini tidak bisa dikendalikan, maka akan muncul violent ekstremism.
Menyegarkan konsepsi tajdid berarti membangun ar-ru’yah al-kulliyah. Pandangan Islam berkemajuan yang utuh, terintegrasi, dan komprehensif, bukan dikotomi antara purifikasi dan dinamisasi. Harus ada visi peradaban. Ia menyebut bahwa visi peradaban adalah pandangan dunia keislaman yang utuh, integratif, dan komprehensif. Utuh berarti mengandung unsur purifikasi dan dinamisasi.
Umat Islam, menurut Amin Abdullah, membutuhkan epistemologi keilmuan yang kuat, landasan moral yang kuat, dan membangun tanggungjawab sosial. Umat Islam juga perlu membedakan antara Islam dan penafsiran Islam. Islam bersifat absolut, namun pemikiran Islam bersifat relatif.
Ia menyebut bahwa umat Islam memiliki 6 trend pemikiran kontemporer. 6 tren tersebut antara lain the legalist-tradisionalis, the theological puritants, the political islamist, the islamists extremist, the secular muslim, dan the progressive ijtihadists. Ia menyebut bahwa ia berada dalam kelompok the progressive ijtihadists. Menurut Amin, Muhammadiyah juga masuk ke dalam kelompok ijtihad progresif tersebut.
Reporter: Yusuf