Polemik penghentian pembahasan RUU TNI kembali mengemuka bertepatan dengan HUT TNI pada 5 Oktober 2024. Sebagai akademisi hukum, saya menekankan perlunya analisis mendalam yang mempertimbangkan aspek hukum, supremasi sipil, serta data dan aturan yang relevan. Kajian ini harus memperhatikan standar demokrasi internasional untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan, guna menjaga keseimbangan antara otoritas sipil dan militer. Rekomendasi berbasis bukti sangat penting untuk memastikan legislasi ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Menurut Pasal 22A UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pembentukan atau revisi undang-undang harus berlandaskan pada kebutuhan hukum yang nyata dan mendesak. Dalam konteks RUU TNI, masih diperdebatkan apakah ada masalah hukum signifikan yang mengharuskan revisi terhadap aturan yang ada, seperti UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Data empiris terkait pelaksanaan peran TNI dalam sektor pertahanan menunjukkan tidak adanya urgensi mendesak untuk perubahan, mengingat ketentuan yang ada sudah mengatur tugas pokok dan fungsi TNI dengan baik.
Sistem hukum Indonesia mengedepankan prinsip supremasi sipil atas militer, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945. Perubahan yang memberikan kewenangan lebih kepada militer dalam urusan non-militer berpotensi menimbulkan risiko inkonstitusionalitas. Data dari berbagai negara yang mengalami dominasi militer atas sipil menunjukkan kemunduran demokrasi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, rekomendasi hukum adalah meninjau secara hati-hati setiap usulan yang memperlebar peran TNI di luar bidang pertahanan, karena hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi dan tata negara modern.
Proses legislasi di Indonesia harus bersifat partisipatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan laporan dari masyarakat sipil dan akademisi, pembahasan RUU TNI dinilai kurang melibatkan pemangku kepentingan secara memadai, seperti akademisi, LSM, dan ahli hukum tata negara. Pembentukan undang-undang yang transparan dan inklusif merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam konteks ini, rekomendasi adalah untuk menghentikan sementara pembahasan hingga dilakukan kajian lebih mendalam dan melibatkan lebih banyak pihak terkait.
Penambahan wewenang TNI di luar ranah militer, seperti dalam urusan sipil atau penegakan hukum, dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan antara militer dan sipil serta berisiko penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah negara-negara dengan peran militer yang luas di ranah sipil, seperti beberapa negara di Amerika Latin, menunjukkan bahwa hal ini dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia dan melemahnya kontrol sipil. Oleh karena itu, rekomendasi hukum adalah membatasi secara ketat peran TNI dalam ranah pertahanan nasional, sesuai dengan mandat konstitusi.
Untuk memperkaya argumen hukum ini, perlu dilakukan perbandingan dengan negara-negara lain serta pandangan para pakar hukum Barat terkait kontrol sipil atas militer.
- Amerika Serikat
Supremasi sipil atas militer adalah prinsip dasar yang tercermin dalam Konstitusi AS dan diimplementasikan melalui berbagai kebijakan. Presiden sebagai panglima tertinggi dipilih dari kalangan sipil, dan militer tidak diizinkan ikut serta dalam politik atau penegakan hukum sipil. Menurut Samuel Huntington dalam bukunya The Soldier and the State, keseimbangan antara kontrol sipil dan peran militer adalah pilar stabilitas demokrasi AS. Huntington berpendapat bahwa pelibatan militer di luar tugas pertahanan menimbulkan risiko besar terhadap kebebasan sipil. - Turki
Turki merupakan contoh negara yang selama beberapa dekade menghadapi dominasi militer atas pemerintah sipil. Reformasi yang dilakukan di bawah pemerintahan AKP telah memperkuat kontrol sipil, membatasi militer hanya pada tugas pertahanan. Menurut ahli hukum internasional Erik Jan Zürcher, tantangan utama dalam transisi demokrasi adalah memastikan militer tetap tunduk pada otoritas sipil untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. - Brasil
Brasil mengalami pemerintahan junta militer dari 1960-an hingga 1980-an, di mana militer mengambil peran aktif dalam pemerintahan dan penegakan hukum. Pengalaman ini mengajarkan bahwa kekuasaan militer yang terlalu luas merusak demokrasi dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, reformasi demokrasi di Brasil pasca-1985 sangat menekankan pembatasan kekuasaan militer dan penguatan institusi sipil. Analisis ini didukung oleh karya Thomas Bruneau, yang menyatakan bahwa supremasi sipil harus menjadi norma untuk mencegah kembalinya otoritarianisme militer.
Pendapat Pakar Barat
Pakar seperti Peter Feaver dan Richard H. Kohn dari Amerika Serikat menekankan pentingnya garis tegas antara otoritas sipil dan peran militer. Mereka mencatat bahwa keterlibatan militer yang berlebihan dalam urusan sipil dapat mengurangi akuntabilitas publik dan mengancam hak-hak individu. Kohn dalam artikelnya The Erosion of Civilian Controlmenggarisbawahi bahwa pelanggaran kontrol sipil berpotensi melemahkan demokrasi.
Berdasarkan analisis di atas, saya merekomendasikan:
- Menyesuaikan RUU TNI dengan standar internasional tentang kontrol sipil, seperti yang diterapkan di AS, Turki, dan Brasil.
- Mengacu pada pandangan pakar seperti Samuel Huntington, Peter Feaver, dan Richard H. Kohn, yang menyarankan pembatasan peran militer di ranah sipil demi menjaga demokrasi.
- Menghentikan pembahasan RUU TNI sampai dilakukan kajian akademis yang lebih mendalam, melibatkan ahli hukum, akademisi, dan masyarakat sipil.
- Mempertahankan supremasi sipil dan memastikan TNI tetap fokus pada tugas pertahanan nasional sesuai dengan UUD 1945.
- Melakukan revisi terbatas jika diperlukan, namun tetap dalam kerangka transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas.
Oleh: Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam, Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
Pengurus Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU Jawa Tengah