Kalimahsawa.id – Convey Indonesia pada tahun 2019 mengeluarkan hasil penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian yang dikeluarkan pada tahun 2018 ini berjudul “Api dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z”. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Penelitian ini mengkonfirmasi adanya penguatan terhadap radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara sikap, responden yang memiliki kecenderungan pandangan keagamaan radikal sebanyak 58,5%, sedangkan yang memiliki pandangan keagamaan intoleran sebanyak 51,1%.
Sedangkan secara perilaku, mereka cenderung toleran eksternal (62,9%) daripadan toleran internal (33,2%). Ini menunjukkan bahwa pelajar dan mahasiswa lebih toleran terhadap pemeluk agama lain daripada terhadap umta Islam yang berbeda aliran, paham keagamaan, dan kelompok. Terutama terhadap kelompok minoritas sepert Syiah dan Ahmadiyah.
Faktor Pertama: Pendidikan Agama Islam
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat intoleransi dan radikalisme responden. Yaitu model pembelajaran mata pelajaran dan mata kuliah Pendidikan Agama Islam, akses internet sebagai sumber pengetahuan agama, dan persepsi tentang kinerja pemerintah.
Sebanyak 48,95% pelajar dan mahasiswa mengaku bahwa Pendidikan Agama Islam mengajarkan kepada mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Kuota materi ukhuwah islamiyah yang diharapkan mampu memberikan nilai toleran terhadap peserta didik hanya diberikan sebanyak 3,82%. Mereka tidak setuju jika tujuan PAI adalah untuk bersikap toleran terhadap Ahmadiyah (13,18%) dan Syiah (14,47%).
Dalam penelitian ini tertulis, “Penekanan yang besar pada materi tentang keimanan, ketakwaan dan ibadah membatasi waktu guru untuk memasukkan materi keberagaman dan toleransi. Hal itu terkonfirmasi berdasarkan persepsi guru (91,20%) yang menyatakan bahwa siswa dan mahasiswa merasa keimanan dan ketakwaan mereka semakin bertambah setelah mendapatkan mata pelajaran PAI. Betul bahwa materi PAI memuat bab yang mengajarkan tasamuh (toleransi). Namun porsinya masih jauh jika dibandingkan dengan materi keimanan, ketakwaan, dan ibadah”.
Faktor Kedua: Akses Terhadap Internet
Sebanyak 50,89% mengaku bahwa internet adalah sumber utama pengetahuan agama mereka. Sedangkan dari orang-orang yang menggunakan internet untuk mengakses pengetahuan agama tersebut, 59,5% diantaranya mendapatkan paham agama yang radikal dan intoleran dari apa yang mereka akses.
Menurut penelitian ini, internet memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran radikalisme dan intoleransi. Sehingga, pelajar dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet lebih bersikap moderat. Padahal, sebanyak 84,94% pelajar dan mahasiswa memiliki akses internet. Apalagi di era belajar secara daring seperti ini semua peserta didik diharuskan untuk memiliki akses terhadap internet.
Situs-situs yang dalam penelitian ini dikategorikan dengan radikal, yang paling banyak diakses adalah eramuslim.com, hidayatullah.com, voa-islam.com, dan arrahmah.com. Tokoh-tokoh agama yang paling populer secara berturut-turut adalah Mamah Dedeh, Yusuf Mansur, Aa Gym, Zakir Naik, Hanan Attaki, Arifin Ilham, dan Khalid Basalamah.
Zakir Naik dan Khalid Basalamah, menurut penelitian ini, adalah dua tokoh yang sering menyampaikan paham radikal. Adapun tokoh-tokoh agama yang berpaham moderat seperti Quraish Shihab, Buya Syafii, Gus Mus, Said Aqil, Gus Yahya, dan Haedar Nashir tidak masuk kedalam tokoh yang populer di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Faktor Ketiga: Kinerja Pemerintah dan Persepsi Terhadap Konsep Negara
Sebanyak 91,23% setuju jika syariat Islam perlu diterapkan dalam bernegara, dan sebanyak 61,92% memiliki pemahaman bahwa kekhalifahan merupakan bentuk pemerintahan yang diakui dalam ajaran Islam. Adapun dalam persepsi terhadap kinerja pemerintah, 52,29% menyatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini sangat parah, terutama karena kesenjangan ekonomi yang begitu tinggi. Sebanyak 69,8% menyatakan bahwa hukum belum ditegakkan secara adil.
Walaupun penerimaan terhadap formalisasi syariat Islam dan kekhalifahan sangat tinggi, namun loyalitas pelajar dan mahasiswa terhadap konsep-konsep kenegaraan masih tinggi. Sebanyak 90,16% masih menyetujui bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sebanyak 85% setuju bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Dan 80,74% tidak setuju jika pemerintah dikatakan sebagai kafir dan thaghut.
Rekomendasi
Dari penelitian ini dapat kita lihat bahwa Pendidikan Agama Islam memberikan porsi yang sangat sedikit terhadap pendidikan keberagaman, kemajemukan, dan toleransi. Sehingga, perlu dikembangkan literasi keagamaan dan pendidikan lintas iman. Selain itu perlu diajarkan kepada siswa praktik-praktik pengalaman keberagaman dan mengatasi masalah bersama antar siswa lintas iman. Dalam hal ini negara harus turut mengembangkan pendidikan keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif.
baca juga: Mengenang 119 Tahun Sang Proklamator: Soekarno dan Pemikirannya
Guru dan dosen juga harus diberikan pemahaman tentang wawasan kebangsaan, keislaman, dan keindonesiaan dalam berbagai program. Hal ini diperlukan agar guru dan dosen dapat menjadi agen penyebaran wajah Islam yang toleran. Bahwa Pendidikan Agama Islam tidak hanya mendidik siswa agar taat beragama, tetapi juga menyiapkan siswa agar menjadi warga negara yang baik, yang memahami nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kebebasan.
Penelitian ini juga memberikan rekomendasi agar Ormas Islam mainstream yang moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah agar lebih aktif memproduksi dan mengkampanyekan konten-konten Islam yang memuat pesan perdamaian dan nilai-nilai toleransi dengan kemasan yang lebih populer. Sehingga, hal ini akan mengurangi tingkat radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
reporter: Yusuf R Y