Mengawali tahun 2022, telah kita ketahui kasus yang cukup membuat gempar di negara kita adalah berkenaan tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yakni kasus soal perseorangan bernama Arman Achsan pemilik ide tentang Ojol vs PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB), perusahaan induk dari Gojek. Bersamaan dengan itu juga terdapat kasus mirip yang lain, yakni tentang Hologramisasi pita cukai rokok, Feybe Fince Goni vs PT Pura Nusapersada.
Mengingat maraknya kasus pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) baik di dunia nyata maupun maya. Maka Koalisi Masyarakat Pejuang Hak Kekayaan Intelektual (Komphein) ini ada, dan bisa jadi merupakan komunitas pertama di Indonesia yang memiliki fokus untuk melakukan perlawanan atas pelanggaran HaKI yang terjadi di Indonesia, terkhusus bagi mereka sosok individu yang memiliki karya cipta, namun karya ciptanya di akuisisi oleh perusahaan besar tanpa minta izin dan tidak memberikan hak yang seharusnya di berikan pada pencipta sedikitpun
Kabar Buruk tentang Maraknya Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia
Perlindungan atas HaKI di Indonesia nampaknya masih belum menjadi konsensus nasional yang bersifat solid. Kondisi ini bisa dilihat dari fakta hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC), yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan peringkat pertama pelanggar HaKI di Asia, bahkan hal ini juga diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM, bahwa pemahaman masyarakat Indonesia mengenai HaKI masih sangat minim
Terlihat dari kasus-kasus pelanggaran HaKI yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2015 sampai 2021, terdapat penanganan 1.184 perkara pelanggaran HaKI, dengan 958 kasus yang diantaranya di tangani Polri. Sebanyak 658 perkara terkait dengan merek, 243 kasus tentang hak cipta yang terjadi di tubuh negara ini
Terlebih dalam dunia maya, berdasarkan siaran pers No. 07/HM/KOMINFO/01/2020 yang terbit pada tahun 2020 lalu, kementerian Kominfo telah melakukan pemblokiran ribuan konten bajakan demi melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia
Bahkan dalam siaran pers tersebut tertulis sepanjang tahun 2017 hingga 2019, tercatat telah ada 1745 situs dan konten dengan kategori pelanggaran HaKI yang sudah di blokir oleh Kementerian Kominfo, dan jika mau di telisik lebih lanjut pasti lebih banyak lagi untuk mencatat berbagai pelanggaran HaKI dalam tulisan kali ini
Dengan begitu, banyaknya problem pelanggaran HaKI di atas, justru perlu adanya gerakan reaksi sebagaimana yang telah dilakukan Komphein dan justru komunitas seperti ini perlu diperbanyak untuk melakukan edukasi dan gerakan perlawanan atas perusahaan atau perkumpulan orang yang maling karya cipta orang lain yang itu justru telah menodai HAM
Kesalahpahaman yang Sering Terjadi Atas Hak Kekayaan Intelektual
Indonesia adalah negara hukum, begitupun tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) memiliki landasan hukumnya sendiri, dari pengertian dasar di UU No 19 Tahun 2002, jenis-jenisnya sampai pada konsekuensi apabila melanggar HAKI pun tertuang di dalam UU Republik Indonesia, atau bisa saya sarankan bisa dilihat secara lengkap edukasi tentang Haki di akun instagram Komphein @komphein_
Adapun kesalahpahaman yang sering terjadi dalam kasus HaKI adalah tentang banyaknya masyarakat yang mengira bahwa Hak Cipta, dan Hak Paten itu sama. Meskipun sama-sama memberikan perlindungan atas karya cipta, apabila di telisik lebih lanjut kedua hal ini sebenarnya berbeda dan bahkan memiliki landasan hukumnya sendiri-sendiri.
Hak Cipta memiliki landasan hukum dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014, yang menjelaskan bahwa hak cipta itu bersifat melekat secara otomatis ketika pencipta membuat ciptaannya yang bisa berupa karya tulis, tanpa perlu mendaftarkan ciptaan tersebut, kemudian di dalamnya melekat dua jenis Hak, yakni Hak Moral yang terus melekat tanpa batas waktu, dan Hak Ekonomi, yang bisa dialihkan kepemilikan, tergantung keputusan pencipta karya,
Tentang Hak Paten juga memiliki landasan hukumnya di UU No. 13 tahun 2016, di dalam UU tersebut menjelaskan bahwa Hak Paten adalah Hak yang diberikan oleh Negara yang sifatnya eksklusif dan materil, yang diaktualisasikan lebih spesifik pada bidang teknologi berupa produk atau proses beserta pengembangannya
Lebih lanjut tentang masa berlaku perlindungan Hak Cipta berlaku Seumur Hidup dan 70 Tahun setelahnya, adapun Hak Paten memiliki masa berlaku perlindungan yakni 10-20 Tahun
Perjuangan Awal dan Harus Menang
Kasus yang saat ini Komphein kawal adalah perseorangan vs korporasi besa , yakni tentang hologramisasi pita cukai tembakau rokok, antara PT Pura Nusapersada yang telah melakukan eksploitasi keuntungan hasil karya cipta yang dimiliki oleh Ibu Feybe Fince Goni selama puluhan tahun itu juga memiliki gagal paham atas Hak Cipta dan Hak Paten, yang mana Ibu Feybe menuntut Hak Cipta, tapi PT Pura berdalih berlindung di balik Hak Paten, yang bahkan Hak Paten nya itu sudah kadaluwarsa
Hasil karya cipta tentang hologramisasi Pita Cukai Rokok ini telah menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara, bahkan mencapai 96%. Kenapa bisa begitu? Sebab, hologram yang ada pada pita cukai rokok inilah yang berfungsi menjadi security paper untuk menghindari pemalsuan dan penggunaan ulang rokok tersebut.
Namun mirisnya alat yang digunakan untuk membasmi rokok ilegal ini justru secara tidak langsung menjadi ilegal, karena sang pemilik hak cipta atas hologramisasi ini belum pernah memberi izin dan tidak diberi royalti sama sekali selama 20 an tahun lebih, dan semua royalti yang mencapai puluhan triliun ini dinikmati sendiri oleh PT Pura Nusapersada sebagai pemroduksi hologram pita cukai rokok.
Maka atas pelanggaran yang telah terjadi puluhan tahun tersebut, dan secara terlihat nyata telah melanggar HaKI dan bisa dibilang telah melakukan pelanggaran HAM, Komphein sebagai aliansi masyarakat yang memperjuangkan HaKI sudah menjadi kewajiban untuk menegakkan keadilan sampai menang, sampai terberinya hak-hak yang telah di eksploitasi oleh PT Pura Nusa Persada untuk diberikan kepada Ibu Feybe sebagai pemilik Hak Cipta
Kiranya juga memang sudah seharusnya masyarakat Indonesia juga peduli atas kejadian pelanggaran HaKI ini, sebab Pancasila sebagai landasan falsafah negara juga menegaskan dalam sila ke 2, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus adil dan harus beradab, jangan sampai dengan di biarkan terus menerus yang justru telah menodai nilai kemanusiaan, dan kita menjelma menjadi masyarakat yang tidak beradab