Terus terang, saya kurang sepaham dengan pemikiran tentang negara Islam, Khilafah. Konsepsi yang sampai saat ini masih dipromosikan. Sebagai sebuah diskursus boleh saja. Namun, melihat konteks dunia modern, rasanya cukup sulit mewujudkan ide semacam itu.
Misalnya. Khilafah meniscayakan satu imperium tunggal bagi negara-negara Islam di seluruh dunia. Sedangkan, melihat bentuk negara bangsa yang menjadi model dunia modern, rasanya cukup sulit mewujudkan satu imperium tunggal itu.
Kita bisa paham. Mengapa ide semacam negara khilafah terus-menerus berpromosi. Misalnya, ada harapan terwujudnya keadilan yang lebih tinggi. Selain itu, juga menjamurnya ketidakadilan dalam struktur politik dunia modern. Karena itu, persoalan yang yang lebih mendasar sebetunya adalah masalah keadilan. Bukan masalah jika ingin membentuk negara apa atau bagaimana cara bernegara.
Meski sebuah negara menganut demokrasi, jika mampu mewujudkan keadilan yang tinggi, itu menjadi pilihan yang baik. Sebaliknya, meski secara formal menganut khilafah, jika keadilan tidak terwujud dengan baik, kita perlu melakukan evaluasi.
Kebesaran Islam Masa Lalu
Saya harus adil dengan menyebutkan bahwa, praktik kekhilafahan Islam telah memiliki pengalaman sejarah yang cukup baik. Sejak Nabi Muhammad memimpin umat Islam, dan kemudian dilanjutkan oleh para Khulafa Arrasyidun, lalu kekhilafahan Bani Umayyah, selanjutnya Kekhilafahan Bani Abbasyiyah. Dan masih banyak imperium Islam lain setelahnya .
Sebagian besar imperium itu telah menggoreskan catatan sejarah yang baik. Baik dalam menghasilkan peradaban, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dunia mengakui kemegahan itu. Lalu, kebangkitan dunia Eropa menawarkan budaya politik yang berbeda. Dalam konteks politik dan cara bernegara, mereka menyebutnya demokrasi. Bentuknya bermacam-macam.
Budaya politik baru itu sedikit banyak membentuk tatanan dunia modern. Dan ketika, penerapan demokrasi itu dalam penilaiannya kurang efektif dalam mewujudkan keadilan, maka muncul pemikiran untuk mengulang kembali kejayaan masa lalu itu dalam konteks dunia modern.
Tingkat Kebahagiaan di Dunia Demokrasi
Hari-hari ini, kebahagiaan diukur dengan metode tertentu untuk melihat tingkat kebahagiaan. Dan negara-negara seperti Finlandia, Denmark, Swiss atau juga Belanda sering menempati urutan atas dalam survei semacam itu. Yang cukup mencengangkan, negara-negara tersebut tidak memakai sistem politik khilafah. Namun, mereka bahagia.
Artinya, mereka bisa menghadirkan keadilan yang tinggi. Meski bukan negara agama, namun tentu mereka memiliki kebebasan untuk beragama. Dan itu menjadi salah satu faktor tingginya angka kebahagiaan mereka.
Untuk kasus Indonesia, apakah masih perlu untuk mendirikan negara Islam? Yang artinya demokrasi harus melakukan amandemen menjadi kekhilafahan. Atau Indonesia akan menjadi bagian dari imperium kekhilafahan yang terpusat? Ataukah cukup dengan negara Islami? Negara Islam berbeda dengan negara Islami. Negara Islam dalam hal ini adalah kekhilafahan. Yang artinya, secara detail mengikuti model khilafah masa lalu.
Namun, negara Islami lebih luwes. Apapun sistem politik yang dianut sebuah negara, yang penting nilai-nilai Islam hadir di situ. Nilai-nilai Islam dalam konteks ini seperti kedamaian, kemakmuran, keamanan, hak beragama yang tinggi, dan seterusnya. Dalam satu kata, terwujudnya keadilan yang tinggi.
Jika harus mendirikan negara khilafah, Indonesia masih sangat jauh dari itu. Karena sudah sejak awal kita menganut demokrasi. Mengubah sistem politik secara paksa berujung inkonstitusional, sebuah langkah yang sangat tidak tepat. Sedangkan, mengubah bentuk dan sistem negara secara konstitusional artinya mengubah konstitusi. Dan kita tidak bisa melihat kemungkinan ini bisa terwujud.
Modal Mewujudkan Negara Islami
Namun, jika mewujudkan negara Islami, tampaknya kita telah memiliki modal cukup banyak dan penting untuk menuju itu. Seperti mayoritas penduduk yang beragama Islam, ini modal penting. Dukungan umat Islam yang berjumlah besar memiliki arti tersendiri.
Dan kita juga telah menempatkan konsep ketuhanan di sila pertama. Yang artinya, kita telah menjadikan ketuhanan sebagai salah satu filosofi utama dalam bernegara. Yang artinya, sejak awal kita menghendaki masyarakat yang religius.
Di dalam undang-undang dasar, kita juga telah mengakui hak beragama dan berkepercayaan bagi setiap warga negara. Yang artinya, hak umat Islam sebagai umat yang beragama benar-benar dijamin oleh konstitusi, harus dilindungi. Begitu juga agama-agama lain.
Pada regulasi setingkat Undang-undang juga demikian. Kita banyak memiliki undang-undang bernuansa Islami. Seperti undang-undang perkawinan, wakaf, dan berbagai regulasi di bawahnya yang bernuansa Islami. Yang artinya, nilai-nilai Islami sudah menjadi bagian penting di negara ini.
Begitu juga badan peradilan. Kita memiliki badan peradilan agama. Di mana badan peradilan agama ini menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung, yang secara khusus menangani persoalan orang-orang Islam. Ini adalah modal penting.
Di Aceh, selain peradilan Islam, banyak regulasi bernuansa Islam dalam lingkup pidana yang regulasinya disebut Qanun. Qanun adalah upaya menerjemahkan nilai-nilai islami di ruang publik.
Yang tidak kalah penting adalah adanya organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua organisasi Islam besar yang terakui oleh dunia internasional. Ini juga modal luas biasa.
Bahkan secara khusus, negara pancasila oleh Muhammadiyah disebut Darul Ahdi Wa Syahadah. Sebuah negara sebagai tempat perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua.
Kedua organisasi ini, baik Muhammadiyah atau NU, memiliki pengikut yang banyak di seluruh Indonesia. Artinya, jika dua organisasi ini saja berkonsolidasi untuk mewujudkan negara Islami, itu ide yang cukup realistis.
Negara Islami dalam Demokrasi
Selain itu, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga punya posisi penting dalam banyak hal. Seperti mengkonsolidasikan umat Islam dalam hal-hal tertentu. Fatwa MUI sangat didengar oleh masyarakat Islam Indonesia.
Beberapa hal yang saya sebutkan di atas adalah modal penting untuk mewujudkan negara Islami. Negara bahagia, makmur, aman, damai, sejahtera serta religius. Sehingga, tanpa khilafah, Indonesia sebetulnya mampu mewujudkan itu.
Lalu, bagaimana eksistensi negara Islami dalam konteks demokrasi di Indonesia? Tentu kita tidak perlu mengatakan demokrasi religius atau bahkan demokrasi lslam. Lebih penting mengutamakan substansi dari pada bentuk. Biarlah kita menyebut sistem politik kita dengan demokrasi. Namun, nilai-nilai Islam yang universal harus hadir di situ. Seperti keadilan untuk semua, makmur, aman, damai, berkecukupan, terhormat, bermartabat, religius, sejahtera dan seterusnya. Kita lebih merindukan itu. Dan yang paling penting, kita telah memiliki modal yang cukup untuk itu.
Editor : Izzul Khaq