Memaafkan adalah pakaian yang mensucikan diri bagi pemberinya, melupakan segala kepahitan yang ada di belakang dan mencoba mengkonversi rasa sakit tersebut menjadi effort yang lebih untuk menata masa depan. Mereka yang mampu melakukannya adalah orang yang telah mengosongkan hati dari egoisme, bersedia mengalah dan menyingkirkan keinginan untuk menampilkan kebesaran diri dan mempercayai bahwa hukuman bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan.
Dunia psikologi mengenal pemberian maaf (forgiveness) sebagai hasil dari proses mental yang rumit serta memerlukan waktu yang cukup panjang. Pemaafan tersebut terbentuk melalui keterkaitan antara aspek kognitif, afektif dan perilaku, korban akan cenderung mengevaluasi kembali (re-appraisal) pelaku ataupun peristiwa yang telah membuat luka di hatinya. Dalam proses re-appraisal tersebut korban akan mengganti semua ingatan tentang residu sakit hati menjadi suatu dorongan motivasi yang positif.
Tujuannya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif (subjective well being). Karena menyimpan dendam ibarat kita menaruh racun di dalam mulut kita sendiri namun kita menginginkan orang lain yang mati karenanya. Lewis B. Smedes (2007) membagi proses forgiveness dalam empat tahap yaitu;
(1) Membalut sakit hati, pada tahap ini individu akan mencoba mengobati rasa sakit atas suatu peristiwa yang terjadi dengan cara mematikan sumber sakit tersebut.
baca juga Bahtiar Effendy: Pembuka Jalan Baru Islam |
(2) Meredakan kebencian, pada tahap ini individu akan mencoba menerima peristiwa yang telah menyakitkannya tersebut dengan cara memahami kenapa pelaku melakukan kesalahan pada dirinya sehingga memunculkan peristiwa yang menyakitkan.
(3) Upaya penyembuhan diri, sesungguhnya jalan termudah dalam penyembuhan diri adalah melupakan kesalahan pelaku dari ingatan. Pemaafan telah diberikan dan orientasi masa depan mulai dibangun dengan melepaskan masa lalu yang telah menyakitinya.
(4) Rekonsiliasi atau berjalan bersama, pada tahap ini individu telah mampu memaafkan segala kesalahan pelaku dan bersedia cerita kehidupannya tetap bersinggungan dengan pelaku.
Agar dapat mencapai tahap terakhir dalam pemberian maaf tersebut maka kedua belah pihak (pelaku dan korban) harus memiliki ketulusan hati yang dalam dan hal itu memerlukan waktu yang cukup panjang tergantung dari seberapa dalam mereka memaknai rasa sakit yang telah tercipta.
***
Mengusahakan terbentuknya karakter pemberian maaf sangat penting dalam hubungan bemasyarakat, apalagi konteks budaya saat ini lebih mengedepankan hukuman atau balas dendam dalam mencari makna adil dari suatu tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dendam ataupun hukuman tersebut berupa laporan ke polisi, ujaran kebencian atau bahkan main hakim sendiri, padahal jika kita telisik lebih dalam, memaafkan dapat memberikan energi yang positif bagi pelaku maupun korban sehingga mampu mewujudkan harmoni sosial.
Masyarakat Jawa sebagai suatu masyarakat yang memiliki prinsip dasar dalam menjaga keselarasan hidup bermasyarakat yaitu rukun dan hormat mengenal istilah mengko mundhak kuwalat (jangan melakukan sesuatu yang buruk nanti akibatnya akan kembali ke kita). Kebanyakan dari kita cenderung melupakan semua orang yang salah akan mengharapkan pengampunan daripada hukuman demikian juga dengan kita pribadi.
baca juga Humanisme Indonesia |
Tentu kita tidak mau jikalau hukuman menimpa kita sebagai pelaku dalam suatu peristiwa kesalahan. Oleh karena itu pemberian maaf tergolong dalam kekuatan karakter (character strength) yang mengarahkan seseorang pada perilaku yang positif, menganggap bahwa setiap manusia pasti akan melakukan kesalahan dan pemaafan adalah cara yang mulia untuk kita berdamai dengan diri sendiri dan orang lain.
Masyarakat Jawa memandang pemberian maaf sebagai manifestasi dari sikap welas asih (kasih sayang) terhadap sesame manusia sehingga mampu mewujudkan nuansa guyub rukun dan lembah manah (saling menghargai). Pandangan tersebut terciri dalam kalimat Jawa yang terkenal“Sura Dira Jayadiningrat, Lebur Dening Pangastuti” atau dapat diartikan segala sifat keras hati, picik dan angkara murka bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
Orang Jawa menyebut para pemberi maaf dengan ungkapan jembar segarane (luas samudranya) yang berarti orang yang ikhlas menerima apapun keburukan yang menimpa dirinya, mereka telah mampu melapangkan dadanya dan menghindarkan segala gangguan-gangguan yang dapat muncul dalam hubungannya dengan manusia sehingga memiliki hati yang damai.
***
Jika peristiwa yang menyakitkan pada masa lalu tersebut dianggap sebagai suatu kehilangan ataupun musibah maka masyarakat Jawa memiliki filosofi yang menarik, yaitu datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan (jangan marah bila musibah menimpa diri dan jangan sedih bila kehilangan sesuatu).
Yang sudah biarlah sudah dan mencari potensi positif yang dapat dilakukan adalah cara terbaik untuk menghargai diri sendiri dengan memunculkan sikap memaafkan dalam karakter akan mampu membuat kita tidak mudah blaming others. Sehingga kita mampu mengelola emosi dan hidup “woles” dengan memfokuskan diri pada usaha-usaha yang lebih positif dan produktif dan tujuannya adalah untuk memperindah keindahan dunia.