Pembaca kalimahsawa.id yang budiman. Tulisan ini merupakan ijtihad lanjutan opinisaya yang dimuat Qureta pada tanggal 22 Juni 2019 dengan judul “NU-Muhammadiyah dalam Pusaran Konflik Batin”.
Jika pembaca budiman mengikuti media online tersebut, pasti saudara menemukan kisah teman saya yang kecewa berat pada perbedaan identitas NU-Muhammadiyah yang terpupuk di bumi Indonesia. Berangkat dari pikiran dan perasaan teman saya dahulu itulah, maka tulisan ini adalah hasil perenungan kembali kesadaran beragama dalam bingkai keindonesiaan yang semakin menggairahkan.
Apalagi Menko PMK sempat mengusulkan kepada Menteri Agama untuk mengeluarkan fatwa orang kaya menikahi orang miskin. Dengan tujuan pemerintah serius mengurangi kesenjangan ekonomi dan menekan angka kemiskinan dalam masyarakat.
Terjadi Kesenjangan Ekonomi
Terlebih, gadis pujaan hati kali ini yakin tanpa ragu menerima cinta dari sebuah perbedaan latar belakang entitas organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Maka siapa lagi selain teman saya saat ini yang perasaannya paling berbahagia mendengar niat baik pemerintah di balik perbedaan NU-Muhammadiyah?
Yusuf Hasyim (1929-2007) anak Hadratussyaikh Hasyim Asy’arie, pendiri NU, dan paman dari KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat, mungkin seorang yang ikut berbahagia mendengar jalinan asmara anak cucu Adam itu dengan nuansa keindonesiaan.
Baca Juga: Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru
Mengingat ulama dan politisi inilah yang mengusulkan rangkap keanggotaan NU-Muhammadiyah sepanjang dekade 1980-an di berbagai forum pengajian dan diskusi publik. Maka bukan tanpa alasan jika saya melebih-lebihkan gagasan KH. Yusuf Hasyim ini bagi persatuan umat Islam di tanah air.
Bayangpun, tatkala rezim Orde Baru berkuasa dengan tangan besi menutup kran-kran demokrasi bagi kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi. Ide KH. Yusuf Hasyim soal pernikahan silang antar aktivis Pemuda Muhammadiyah dan Fatayat NU bisa jadi bak api dalam sekam. Bagaimana tidak?
Sejarah Asas Tunggal Pancasila
Dalam situasi NU-Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila seiring dengan gejolak internal kedua organisasi Islam tersebut dapat mempengaruhi stabilitas politik nasional. Ijtihad KH. Yusuf Hasyim di tengah-tengah pemaksaan ideologi totalitarianisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu. Ide rangkap keanggotaan NU-Muhammadiyah sangat mungkin dapat diartikan penguasa sebagai bahaya yang terjadi sewaktu-waktu, atau kejahatan yang dilakukan secara diam-diam.
Terutama penerimaan asas tunggal secara sosiologis yang terjadi begitu alot pada Muktamar Muhammadiyah ke-41 tahun 1985 di Surakarta. Sebagian besar anggota Muhammadiyah menolak Pancasila dicantumkan dalam Anggaran Dasar (AD) dengan alasan kelak mempengaruhi prinsip gerakan Islam.
****
Sehingga KH. AR. Fakhruddin perlu mengeluarkan pernyataan cerdas “politik helm” demi mengurangi perang saraf antara pemerintah dan Muhammadiyah.
Maka ide dasar KH. Yusuf Hasyim ini penting ditempatkan pada situasi pecah belah yang direkayasa rezim Orde Baru. Meskipun NU sendiri juga mengalami ketegangan yang sama dalam hal menerima asas tunggal Pancasila di bawah tekanan politik Orde Baru.
Sampai para Kiai NU harus memeras otak guna menemukan konstruksi pemikiran yang memuaskan secara fiqih dan politik. Bahkan penerimaan asas tunggal pun akhirnya menyingkirkan KH Yusuf Hasyim dan Imron Rosyadi sebagai politisi NU di PPP yang dianggap radikal oleh Orde Baru.
Baca Juga: Merespon Pandemi, Muhammadiyah adalah Teladan Terbaik
Terlebih cerita NU mundur dari gelanggang politik yang diputuskan pada Muktamar 1984 di Situbondo menjadi semakin menegangkan. Maka, gagasan otentik rangkap keanggotaan NU-Muhammadiyah adalah kerja ijtihad KH. Yusuf Hasyim dalam bingkai keindonesiaan yang bernafas ukhuwah Islamiyyah.
Ukhuwah Islamiyyah
Sebagaimana kita tahu pernikahan dalam Islam mempunyai nilai sakral yang tak tergantikan oleh nilai profan yang sekular. Pernikahan silang antar aktivis Pemuda Muhammadiyah dan Fatayat NU yang diusulkan KH. Yusuf Hasyim adalah cara pandang baru membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Sebab, siapa lagi yang hendak membantah tujuan organisasi Islam terbesar ini demi mencapai kualitas iman masyarakat Indonesia?
Kelompok-kelompok konservatif dan fanatik yang mengusung bendera khilafah Islamiyyah, sangat mungkin membantah tujuan NU-Muhammadiyah dalam kaitannya membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sehingga tak kurang aksi-aksi kelompok ini mengganggu proses demokratisasi dalam kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Bahkan seringkali tanpa ampun menggunakan cara-cara kekerasan menghakimi pendapat seseorang yang tidak sesuai dengan sikap dan pandangan keagamaannya.
Tantangan Kebangsaan
Memang, resiko hidup di alam pluralistik rasanya sulit melepaskan penyeragaman pikiran seperti model Orde Baru. Kecuali bagi organisasi Islam sekelas NU-Muhammadiyah bersatu melawan wacana tunggal negara Islam yang dipropagandakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Jika NU-Muhammadiyah malas melakukan kerja ijtihad untuk menangkal tindakan-tindakan intoleran serta terorisme, saya pikir bukan hanya resiko dan ancaman yang kita hadapi di masa depan dalam bingkai keindonesiaan.
Baca Juga: Kedekatan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan Presiden Soekarno
Kenyataan lebih pahitnya mungkin kita memporak-porandakan barisan yang sudah teratur seperti bangunan yang tersusun kokoh (QS. As-Saff ayat 4), justru dikoyak-koyak kebodohan umat Islam sendiri demi menegakkan negara khilafah.
Sungguh, jangan memandang sebelah mata kerja ijtihad yang dilakukan KH. Yusuf Hasyim dalam membangun ukhuwah Islamiyyah melalui pernikahan silang antar aktivis Muhammadiyah dan NU. Jika, pemimpin-pemimpin teras organisasi Islam terbesar ini belum mampu membangun aliansi strategis nasional dalam bingkai keindonesiaan yang lebih bersatu. Mungkin begitu.
Editor: Dartim I.R.