Dalam QS An-Nur Ayat 35, Allah SWT berfirman:
الله نور السموات والأرض، مثل نوره كمشكاة فيها مصباح، المصباح فى زجاجة، الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة زيتونة لا شرقية ولا غربية، يكاد زيتها يضيئ ولو لم تمسسه نار، نور على نور، يهدى الله لنوره من يشاء، ويضرب الله الأمثال للناس والله بكل شيئ عليم
“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula dibarat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Penafsiran Quraish Shihab
Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Logika Agama tepatnya pada bab Ath-thoriq Al-isyroqy (Jalur Pencerahan Batin), beliau menuturkan dengan mengutip penafsiran para sufi yang menurut beliau cukup rasional. Beliau melanjutkan penuturannya, bahwasanya para sufi itu menafsirkan ayat tersebut dengan membagi isi kandungannya menjadi 3 hal, yaitu Al-Misykat (sebuah celah yang tak tertembus), Al-Mishbah (pelita besar), dan Az-zujajah (kaca).
Lalu 3 hal tersebut disamakan dengan 3 hal dalam diri orang beriman. Yaitu Al-Misykat yang disamakan dengan jasad, Az-Zujajah yang disamakan dengan kalbu, dan Al-Mishbah yang disamakan dengan cahaya.
Maksud persamaan 3 hal itu begini, jasad (Al-Misykat) orang beriman menampung kalbunya (Az-Zujajah) sedangkan didalam kalbu tersebut terdapat cahaya (Al-Mishbah), yang berkat cahaya itu akan terhindar aneka kegelapan dalam kalbu orang beriman itu.
Adapun kalbu yang didalamnya terdapat cahaya itu, menurut Quraish Shihab bahan bakar penerangannya dengan zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun barat. Zaitun inilah yang dimaknai para sufi sebagai tuntunan Allah dalam Al-Quran dan dijelaskan Rosul SAW dalam hadisnya.
Dengan demikian maka kalbu yang terhindar dari aneka kegelapan adalah kalbu yang senantiasa mengikuti tuntunan Allah dalam Al-Quran dan Rosul SAW dalam Al-Hadis.
Sebaliknya jika kalbu itu ingkar dari tuntunan Allah dan Rosul SAW maka aneka kegelapan akan menyelimutinya. Masih pada bab Ath-Thoriq Al-Isyroqy.
Prof. Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya bahwa jalan untuk meraih kalbu yang senantiasa mengikuti Allah dan Rosul SAW dinamai para sufi dengan Assir Ilallah (Jalan Menuju Allah), atau dinamai juga dengan Ath-Thoriq Al-Isyroqy (Jalur Pencerahan Batin), atau bisa disingkat Thoriqot. Para sufi menjelaskan bahwa saat melakukan thoriqot haruslah melalui rukun-rukunnya, antara lain:
‘Uzlah/Menyendiri
Memang dipahami sekilas makna menyendiri adalah menjadikan diri sendiri dalam keadaan tidak bersama siapapun, atau bisa juga bermakna meninggalkan segala hiruk-pikuk aktivitas sosial.
Namun bukan pemaknaan seperti itu yang dimaksud para pakar sufi, menyendiri disini maknanya adalah meninggalkan segala hiruk-pikuk kehidupan yang dapat berakibat dosa tanpa meninggalkan hiruk-pikuk aktivitas sosial.
Maksudnya begini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ketika meninggalkan segala dinamika kehidupan yang dapat berakibat dosa maka di saat bersamaan haruslah berada ditengah-tengah dinamika kehidupan itu untuk membimbing manusia agar menuju jalan yang diridhoi Allah dan Rosulnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hijr 94:
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”.
Dalam sebuah hadis Rosul SAW bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar menghadapi gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka” (H.R. Ahmad)
Kedua nash tersebut menunjukkan keharusan bagi setiap mukmin untuk meninggalkan perbuatan dosa namun di saat bersamaan juga harus menyampaikan ajaran dan tuntunan. Serta juga menunjukkan nahwa mukmin yang bergaul di tengah-tengah dinamika kehidupan manusia itu lebih mulia dari mukmin yang tidak bergaul.
Dan tidak bisa dipungkiri memang terdapat saat-saat dimana seorang mukmin benar-benar menyendiri dari segala hiruk-pikuk dinamika kehidupan.
Yaitu saat-saat berdzikir dan melantunkan wirid-wirid dengan menyebut asma Allah disertai dengan merendahkan diri dan meningkatkan rasa takut terhadap keagungan dan kebesarannya. Saat-saat seperti itulah yang disebut sebagai dzikir khofiy berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf : 205.
As-Sukut/Diam
Diam yang dimaksud disini adalah diamnya lisan dari segala ucapan yang tidak berguna. Seorang hamba yang melakukan thoriqot hendaknya berucap untuk hal-hal yang berguna saja. Memang diam yang dimaksud di sini sifatnya umum.
Namun yang jelas, seorang hamba yang bersungguh-sungguh menjalani thoriqot ia pasti akan mempertimbangkan dahulu segala hal yang akan diucapkannya, apakah ucapan itu akan menimbulkan maslahah atau malah sebaliknya akan menimbulkan masalah.
Selain itu berucap yang baik dan bermanfaat juga termasuk tanda keimanan seorang hamba, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja” (H.R. Bukhori dan Muslim)
Jika manusia berucap maka pastilah tidak lepas dari peran lidah sebab lidah adalah satu-satunya alat untuk berucap. Nabi SAW pernah menjelaskan tentang bahaya lidah, dalam sebuah riwayat dinyatakan nabi pernah mengilustrasikan bahwa “Anggota tubuh manusia setiap pagi mengingatkan lidah bahwa: “Berhati-hatilah, karena kami berkaitan erat denganmu. Kalau engkau baik, kami akan selamat, dan kalau engkau menyimpang, kami terikut menyimpang”. (H.R. At-Tirmidzi melalui Abu Sa’id Al-Khudri).
Begitu juga para ulama’ telah mengingatkan tentang bahaya lidah, seperti berbicara bertele-tele tanpa manfaat, berbohong, memuji dan mencela tanpa dasar, dan lain-lain.
Seorang hamba yang selalu mempertimbangkan dahulu apa saja yang akan diucapkannya secara otomatis dia telah menyadari bagaimana bahayanya lidah, sehingga tiada yang diucapkannya kecuali hanya kebaikan dan kebermanfaatan.
Selain diam yang sifatnya umum, ada juga diam yang sifatnya khusus dan mutlak. Yaitu diam ketika mendengar ayat-ayat Quran, zikir-zikir tertentu, dan khutbah jumat maka diam disini sifatnya khusus dan mutlak.
Para ulama’ juga menekankan diam dalam majlis jika terdapat seseorang yang dinilai lebih berpengetahuan dan lebih berwenang sedang menyampaikan ilmu dalam majlis itu, dalam keadaan seperti itu hendaklah seorang hamba diam kecuali telah datang kepadanya kesempatan untuk menyampaikan.
Al-Juu’/Lapar
Ada 2 nafsu yang paling sering menggoda manusia, yaitu nafsu makan dan seks. Namun yang akan dibahas di sini hanyalah nafsu makan. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Tiada satu wadah yang dipenuhkan oleh putra adam lebih buruk daripada perut.
Cukuplah buat putra-putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun dia harus (memenuhkan perutnya), maka sepertiga buat makanan, sepertiga buat air dan sepertiganya (sisanya) buat pernafasannya” (H.R. At-tirmidzi).
Hadis diatas menunjukkan bahwa memenuhi perut dengan menuruti nafsu makan terus-menerus bukanlah sesuatu yang dianjurkan, bahkan perut telah dinyatakan sebagai seburuk-buruknya wadah untuk dipenuhi.
Sehingga patutlah jika orang yang menuruti nafsu makannya terus-menerus dikonotasikan sebagai orang yang terlena dengan nafsunya serta lalai dengan hatinya.
Lapar, imbuh Quraish Shihab adalah resiko dari menahan nafsu makan, adapun lapar dalam rukun thoriqot adalah lapar karena menahan nafsu makan sebagai wujud melatih kalbu agar senantiasa mengikuti Allah dan Rosulnya.
Sebaliknya jika nafsu makan terus dituruti maka akan berdampak pada tertutupnya kalbu. Tentunya lapar di sini bukan berarti meninggalkan semua kebutuhan makan, tapi memenuhi kebutuhan makan tanpa melampaui batas berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf : 31.
Dalam syariat juga telah diajarkan bagaimana menjaga diri dari nafsu makan berlebihan, yaitu dengan puasa. Namun bukan puasa sepanjang masa yang dimaksud, karena itu terlarang.
Akan tetapi yang dimaksud adalah puasa sunah seperti puasa Senin-Kamis dan puasa Daud, ataupun puasa wajib seperti puasa Ramadhan.
As-Sahur/Bangun Malam
Al-Quran telah memerintahkan langsung kepada Nabi SAW untuk bangun malam, itu berarti perintah itu juga ditujukan kepada seluruh umat Nabi SAW. Al-Quran memerintahkan bangun malam dalam waktu yang cukup lama, atau setengahnya, atau bisa juga lebih sedikit dari setengahnya, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-Muzammil 1-3:
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! (1) Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil (2) (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu (3)”.
Menurut Quraish Shihab, berdasarkan nash diatas maka yang dimaksud bangun malam di sini adalah untuk beribadah kepada Allah seperti sholat malam, berdo’a, dan beristighfar. Dalam salah satu hadis disebutkan keutamaan bangun malam untuk beribadah kepada Allah :
“Tuhan kita turun setiap malam ke langit dunia pada sisa sepertiga malam terakhir, dan berfirman: “Siapa yang akan berdo’a kepadaku agar kukabulkan do’anya? Siapa yang akan bermohon kepadaku agar kupenuhi permohonannya? Siapa yang beristighfar agar kuampuni dia?” (H.R. Bukhari. Muslim, dan lain-lain).
Mereka yang benar-benar telah mengamalkan thoriqot ini niscaya akan mencapai derajat ‘arif, atau dalam istilah lain disebut ‘irfan. Yaitu derajat yang cara pendekatan diri kepada Allah didasari oleh cinta, bukan sekedar takut kepada siksanya ataupun mengharap anugerahnya.
Menurut Ibnu Sina, terdapat beberapa jenis hamba Allah berdasarkan sifat ibadahnya, antara lain: Pertama adalah zahid, yaitu seorang yang meninggalkan kelezatan duniawi dengan harapan akan memperoleh kelezatan ukhrowi.
Seorang zahid sebenarnya ingin menikmati kelezatan duniawi namun dengan hati yang berat dia meninggalkan kelezatan duniawi itu dengan harap memperoleh kelezatan ukhrowi nantinya.
Kedua adalah ‘abid, yaitu seorang yang tekun beribadah. Ia berharap dari tekunnya dia beribadah akan mendapatkan pahala dari Allah dan terhindar dari siksanya. Ketiga adalah ‘arif, yaitu seorang yang jiwa raganya hanya mengarah kepada Allah semata.
Seorang ‘arif beribadah bukan untuk mendapatkan pahala dan terhindar dari siksanya melainkan semata-mata ingin mengarahkan jiwa raganya kepada Allah.
Seorang ‘arif meninggalkan kelezatan duniawi bukan karena ia berharap akan memperoleh kelezatan ukhrowi nantinya, melainkan semata-mata karena untuk menundukkan nafsunya sehingga jiwa raganya akan mencapai puncak ketenangan dan kelezatan saat mendekat kepada Allah.
Demikian pemahaman saya mengenai apa yang sudah disampaikan Prof. Quraish Shihab dalam salah satu bukunya, semoga bisa menjadi manfaat bagi para pembaca baik di bulan ramadhan ini mapun di luar bulan ramadhan nantinya.
Editor: Yusuf
Saya butuh artikel seperti hal yang diatas tolong berikan info seperti Artikel diatas dengan JUDUL : Hikmah Di Balik QS An-Nur Ayat 35 Menurut Quraish Shihab