Pada 7 Desember 2017, terjadi sebuah fenomena yang mencengangkan. Program Google AlphaZero mengalahkan program Stockfish 8 dalam pertandingan catur. Stockfish 8 adalah juara catur komputer dunia 2016. Ia memiliki akses ke akumulasi pengalaman manusia dalam catur selama berabad-abad, ditambah puluhan tahun pengalaman komputer. Ia mampu menghitung 70 juta posisi catur per detik. Sementara, Google AlphaZero ‘hanya’ mampu menghitung 80 ribu posisi catur per detik, dan manusia penciptanya tidak pernah mengajarkan apapun kepadanya.
AlphaZero menggunakan prinsip pembelajaran mesin terbaru untuk belajar catur. Yaitu dengan cara melawan dirinya sendiri. Lama waktu yang dibutuhkan AlphaZero untuk belajar catur dari awal, bersiap melakukan pertandingan dengan Stockfish 8, dan mengembangkan strategi jeniusnya adalah 4 jam! Ya benar. Hanya 4 jam. Selama berabad-abad, catur dianggap sebagai salah satu puncak kemuliaan kecerdasan manusia. Namun, AlphaZero berubah dari tidak tahu sama sekali tentang catur dan menjadi master dunia hanya dalam waktu 4 jam, tanpa pembelajaran dari seorang manusia pun.
Lompatan artificial intelligence (kecerdasan buatan) dari waktu ke waktu memang selalu mencengangkan. Kehebatan AI dalam dunia catur hanyalah salah satu contoh kecil yang dituliskan oleh Harari dalam berbagai bukunya, khususnya Homo Deus & 21 Lessons.
Revolusi Infoteknologi & Bioteknologi
Kita pernah mengkhawatirkan bahwa akan terjadi gelombang pengangguran besar ketika revolusi industri. Faktanya, hal itu tidak pernah terjadi. Manusia memiliki setidaknya 2 kemampuan dasar, yaitu kemampuan fisik & kognisi. Mesin-mesin besar yang dikembangkan selama revolusi industri menggantikan banyak sekali pekerjaan manusia yang menggunakan fisik, seperti yang bisa kita lihat di pabrik-pabrik besar. Di sisi lain, manusia selalu menghasilkan banyak pekerjaan baru yang lebih menuntut kekuatan kognisi. Ribuan pekerjaan baru mulai muncul seperti progammer, desainer, operator mesin, pembuat robot, analis, dan masih banyak lagi.
AI adalah kemampuan kecerdasan robot, tidak sekedar kemampuan fisik. Lagi-lagi kita pantas untuk khawatir ketika kecerdasan buatan ini akan menggantikan pekerjaan manusia yang mengandalkan kecerdasan. Lantas, apa yang tersisa untuk dikerjakan oleh manusia?
Mobil Swa-kemudi
Misalnya, mobil swa-kemudi. Menurut data yang disampaikan Harari, setiap tahun 1,25 juta orang terbunuh oleh kecelakaan lalu lintas, dan lebih dari 90% disebabkan oleh kelalaian manusia: berkendara sambil meminum alkohol, menggunakan smartphone, mengantuk, atau melamun. Mobil swa-kemudi jelas akan menekan angka kecelakaan setidaknya karena 2 alasan: connectivity (konektivitas) dan updateability (pembaruan).
Jika ada 2 mobil dari arah berlawanan yang akan bertemu di sebuah persimpangan, mobil yang dikendalikan manusia sangat mungkin mengalami salah pengertian, perbedaan keinginan, hingga menimbulkan kecelakaan. Begitu pula dengan mobil yang melaju kencang sambil mengebut dan mendahului mobil lain, ini sangat riskan untuk terjadi kecelakaan.
Tetapi, mobil swa-kemudi bukanlah entitas majemuk yang masing-masing mobil memiliki kehendak sendiri. Jika ada 5 juta mobil swa-kemudi di Indonesia, 5 juta mobil itu adalah suatu algoritma besar yang tergabung menjadi satu. Seperti anggota tubuh yang memiliki satu otak. Sehingga ketika ada 2 mobil yang bertemu, kecil sekali kemungkinan salah satu menabrak yang lain. Apakah mungkin kedua kaki kita saling bertabrakan? Mungkin, tapi sangat kecil kemungkinannya.
****
Selain itu, mobil swa-kemudi juga dapat diperbarui dengan mudah. Ketika kementerian lalu lintas memperbarui peraturan lalu lintas, jutaan pengemudi di Indonesia tidak bisa secara langsung mengerti, melainkan harus dengan sosialisasi yang menghabiskan banyak waktu dan biaya. Tetapi dengan mobil swa-kemudi, masukkan saja kode untuk pembaruan peraturan ke dalam algoritma mereka, hanya butuh hitungan jam agar jutaan mobil itu akan patuh dengan peraturan yang baru. Tanpa kementerian harus sosialisasi kepada seorangpun.
Mobil swa-kemudi akan menghilangkan beberapa jenis pekerjaan seperti sopir, polisi lalu lintas, tukang parkir, dan penjaga simpang jalan yang belum ada lampu merahnya. Mobil swa-kemudi hanya contoh kecil. Masih banyak pekerjaan yang sangat mungkin terdisrupsi oleh kekuatan kecerdasan buatan seperti dokter, bankir, dan pengacara. Kekuatan dokter AI, bankir AI, dan pengacara AI ada pada konektivitas dan pembaruan.
Dokter manusia harus rajin-rajin membaca jurnal untuk mengetahui perkembangan dunia kedokteran, sedangkan dokter AI akan mampu mencerna perkembangan dunia kedokteran hanya dalam hitungan detik melalui bahasa pemrograman, dan seluruh dokter AI, baik di pelosok Sulawesi atau di London akan mendapatkan informasi yang sama. Maka, kita tidak pernah tahu seperti apa pasar kerja pada tahun 2050. Bahkan, seniman dan pemusik masuk daftar pekerjaan yang hilang ketika AI sudah mampu membaca emosi manusia, kemudian menuangkan emosinya kedalam lagu.
Agama dan Revolusi Infoteknologi
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganggap agama adalah bagian penting dalam hidupnya. Sayangnya, dewasa ini sepertinya revolusi infoteknologi dan bioteknologi tidak dipimpin oleh agama, melainkan sains. Berbeda ceritanya dengan era keemasan Islam pada masa Abbasiyah, dimana para ilmuwan adalah juga seorang agamawan yang salih. Maka, bagaimana agama, wa bil khusus Islam, menghadapi persoalan yang akan datang? Terutama ketika muncul kelas besar masyarakat yang sudah tidak relevan dan tidak memiliki pekerjaan?
Harari mengklasifikasikan 3 masalah antara agama dan revolusi teknologi. Pertama, masalah teknis. Masalah ini berbicara tentang bagaimana cara petani untuk mengantisipasi kekeringan misalnya. Atau bagaimana cara hidup manusia ketika tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dikerjakan. Dulu, di Eropa abad pertengahan, semua orang akan mengadu pada imam dan pendeta untuk semua masalahnya: terkena penyakit, gagal panen, perceraian, dan konflik. Namun, hari ini orang sakit akan pergi ke dokter, orang gagal panen akan mencari pupuk yang pas, dan orang cerai akan ke pengadilan. Namun, sebagian tetap sambil berdoa kepada Tuhan, meskipun tanpa bantuan agamawan.
Kedua, masalah kebijakan. Masalah ini berbicara tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Misalnya, apa yang harus dilakukan pemerintah agar ekonomi tetap stabil? Menurut Harari, sambil agak sedikit skeptis terhadap agama, ia mengatakan bahwa para agamawan hanya memberikan stempel sesuai agamanya terhadap apa yang dilakukan pemerintah. Misalnya, Khomeini di Iran mengeluarkan paket kebijakan liberal.
****
Maka, Khomeini akan mengatakan bahwa kebijakan itu seolah-olah telah digariskan Tuhan dalam Alquran 1400 tahun yang lalu. Harari mengatakan bahwa bukannya tidak ada ekonomi dalam Alquran, Weda, Injil, atau Talmud, hanya saja tidak mutakhir. Teori ekonomi mutakhir adalah ekonomi liberal atau ekonomi sosialis.
Baca juga: Farag Fouda: Menyoal Syariat & Khilafah
Ketiga, masalah identitas. Misalnya, haruskah anda peduli tentang masalah petani di sisi lain dunia, atau haruskah anda hanya peduli pada masalah masyarakat di suku atau negara anda saja? Pada abad ke-21, agama tidak menciptakan hujan, menyembuhkan penyakit, dan membuat bom. Tetapi agama menentukan siapa ‘kita’ dan siapa ‘mereka’. Siapa yang harus anda bantu dan siapa yang harus anda bom.
Harari, dalam bukunya 21 Lessons, menutup bab agama dengan menulis:
Sayangnya, semua ini benar-benar menjadikan agama tradisional sebagai bagian dari masalah kemanusiaan, bukan bagian dari obatnya. Agama masih memiliki banyak kekuatan politik, karena mereka dapat memperkuat identitas nasional bahkan memicu Perang Dunia Ketiga. Namun, ketika tiba saatnya untuk memecahkan alih-alih memicu masalah global abad ke-21, mereka tampaknya tidak menawarkan banyak hal.
Tentu kita tidak bisa mengamini apa yang dikatakan Harari 100%, apalagi ketika ia mereduksi fungsi agama. Justru, tantangan kita adalah bagaimana menjawab dinamika zaman yang begitu berat melalui Islam sebagai agama yang kita yakini kebenarannya. Jadi, bagaimana sebenarnya Islam menjawab tantangan ini? Sementara beberapa futurolog Islam seperti Sardar belum membahas sejauh ini. Tulisan ini murni berupa pertanyaan, alih-alih menggurui.